Agni membuka pintu kamarnya perlahan. Ia melangkah keluar dengan hati-hati, sempat menoleh ke kamar di sebelahnya. Selama menginap, Bude Ratmi dan Dena tidur di kamar Bumi, sementara Dicky menempati kasur lipat yang diletakkan di perpustakaan Sagara.
Kayaknya Bude sama Dena masih tidur... Bagus, pikirnya lega.
Siang itu, setelah Sagara dan sahabat-sahabatnya pergi, Agni memutuskan untuk kembali mencoba membuat macaron—sesuatu yang terus tertunda karena berbagai gangguan hari-hari sebelumnya. Ia membawa bahan-bahan kue yang sudah ia keluarkan dari kulkas tadi dan menyusunnya di atas meja makan. Lalu, ia mulai bekerja.
Menimbang bahan.
Mencampur tepung almond dan gula halus.
Mengocok putih telur sampai kaku.
Mengaduk perlahan hingga teksturnya pas.
Semua berjalan lancar. Presisi. Tenang. Nyaris sempurna.
Sampai tiba-tiba terdengar suara langkah mendekat.
“Lagi bikin apa, Ni?”
Suara itu membuat Agni tersentak. Tangannya yang sedang memindahkan adonan ke plastik piping mendadak kaku. Ia menoleh dengan cepat.
Dicky berdiri di dekat meja makan.
Dan seketika, tangan Agni terasa dingin.
Dicky tersenyum. Senyum yang bagi orang lain mungkin terlihat ramah. Namun bagi Agni, senyum itu seperti menunjukkan niat yang tidak baik—niat kotor.
Agni menarik napas pelan. “Bikin kue, Mas,” jawab Agni singkat. Ia memalingkan wajahnya, berusaha untuk mengacuhkannya saja dan fokus pada cetakan macaronnya.
Dari sudut matanya ia melihat Dicky mengangguk kecil. Lalu perlahan, Dicky bergerak mendekat. Dekat. Semakin dekat. Hingga Agni tanpa sadar menggenggam plastik pipingnya terlalu keras dan membuat cetakan macaron yang keluar menjadi berantakan.
Agni mendecak kesal. Ia buru-buru mengambil spatula untuk menyerok adonan yang tercetak tidak sempurna itu. Sementara itu Dicky kini berdiri di sebelahnya, terlihat seolah tertarik dengan macaron yang tercetak di atas loyang.
“Campuran adonannya kelihatan bagus ya,” komentarnya melihat sisa adonan di baskom.
Agni tidak mempedulikannya, ia mulai berkonsentrasi mencetak adonan macaron lagi. Namun perlahan Agni sadar, Dicky bergerak semakin dekat hingga Agni bisa mencium samar bau rokok dan parfum maskulin murahan yang menempel di tubuhnya.
Lalu tiba-tiba kata-kata itu meluncur dari mulut Dicky.
“Tangan kamu…. Jago ngocok ya, ternyata…”
Agni membeku.
Kalimat itu meluncur begitu saja—ringan, tapi sarat makna. Ia tahu betul arah pikirannya. Rasa takut tak sempat tumbuh. Yang muncul justru kemarahan. Panas. Membakar dada dan merambat ke seluruh tubuh.
Tangannya terkepal.
Ia menoleh perlahan. Dicky masih berdiri di sana, menyunggingkan senyum miring. Senyum menjijikkan penuh niat buruk.
Tangan Agni hampir saja melayang ke wajahnya—kalau saja tak terdengar suara langkah berat dari arah ruang tengah.
Dirga muncul. Ponsel di tangan, wajah santai seperti biasa. Ia berjalan melewati mereka tanpa bicara, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa dan mulai memainkan game di ponselnya.
Namun Agni sempat menangkap sorot matanya. Sekilas. Tajam. Mengarah ke Dicky.
Seolah ia tahu apa yang baru saja terjadi.
“Ni… lo masih sibuk? Bikinin gue mi, dong,” ujar Dirga santai, tak menoleh sedikit pun.
Agni mengerjap. Ia sadar—itu kode. Isyarat jelas agar ia pergi.
“Iya! Bentar, gue bikinin,” katanya cepat-cepat. Ia meninggalkan macaron setengah jadi, bergerak ke dapur, mengambil mi instan, dan menyiapkan air untuk merebusnya.
Dicky diam. Ia mundur setengah langkah, cepat-cepat menyandarkan diri ke kursi, berusaha tampak santai meski matanya sempat melirik tajam ke arah Dirga. Lalu mengangkat alis, seolah paham bahwa kesempatannya telah dihancurkan. Tanpa berkata apa-apa, ia ikut duduk di sofa dan menyalakan televisi. Seolah tak ada yang terjadi.
Sambil menunggu air di kompor mendidih, Agni bisa mendengar mereka berdua mulai terlibat percakapan basa basi. Seperti Bude Ratmi, Dicky mulai menanyakan pertanyaan basa basi yang secara tersirat menyindir.
“Setiap hari di rumah aja Mas?”
Dirga menggumam pelan tanpa mengangkat kepala dari ponselnya. “Hmm.. iya.”
“Udah nyoba nyari-nyari kerja di mana Mas?” tanya Dicky, mencoba terdengar ramah.
“Yah, nyari-nyari aja sih… di Dark Web. Tapi akhir-akhir ini lagi sepi job buat distributor organ,” kata Dirga enteng.
Wajah Dicky terlihat menegang.
Dirga yang menangkap itu dari sudut matanya tertawa kecil. “Bercanda bro.. Tapi Sagara bisa bantu sih kalo mau cangkok organ.” Dirga tertawa lagi.
Agni mendengus menahan tawa melihat Dicky yang nampak mengerutkan kening seolah sedang serius memikirkan kemungkinan itu.
“Ngomong-ngomong nama lu tuh Dicky Herianto bukan sih?" tanya Dirga tiba-tiba.
Dicky mengernyit. "Bukan, Mas. Dicky Manggala. Kenapa emangnya?”
Dirga menggeleng pelan. "Enggak apa-apa. Soalnya saudara bokap juga kayanya ada yang namanya Dicky,” kata Dirga tanpa mengangkat kepala dari ponselnya.
Agni yang sedang menuang mi yang sudah matang ke mangkok mengernyit. Emang kita punya saudara lain yang namanya Dicky? Pikirnya bingung.
“Udah belom Ni?" tanya Dirga.
Agni mengangguk buru-buru. “Udah."
"Tolong bawain ke kamar gue dong. Nanggung nih gue main,” kata Dirga sambil berdiri dan bergerak ke kamarnya.
Agni mengangkat mangkok itu dan mengikuti Dirga ke kamarnya, meninggalkan Dicky yang kini hanya dapat diam memandangi mereka pergi.
Ketika ia akhirnya masuk ke kamar dan Dirga menutup pintu, Dirga langsung melempar ponselnya ke tempat tidur.
“Hampir aja," gumamnya. Lalu Dirga bergerak ke komputernya.
Agni menaruh mangkok mi-nya ke meja di sebelah meja komputer Dirga. “Lo… lo tahu ya kalau dia tadi mau ngelakuin yang aneh-aneh?” tanya Agni penasaran.
"Pas gue ke mau ke dapur, gue liat gelagatnya udah mencurigakan…” Dirga menoleh, wajahnya terlihat khawatir. "Tapi dia enggak ngapa-ngapain lo kan?”
Agni menggeleng.
Dirga menghela napas lega dan lanjut mengetik sesuatu di komputernya.
Agni terdiam sejenak. Si anak babi ini, pikirnya sambil menghela napas pelan. Untuk pertama kalinya Agni berpikir dia memang adalah kakaknya.
Tiba-tiba Dirga tertawa kecil.
“Sini deh," ia melambai ke Agni. Agni mengernyit lalu bergerak mendekat dan duduk di sebelah kakaknya.
“Gue sengaja mancing dia ngasih tau nama aslinya.”
“Buat?” tanya Agni.
Dirga tersenyum miring. Ia mulai mengetik cepat di keyboard, membuka beberapa tab sekaligus. Tak butuh waktu lama, layar monitornya mulai menampilkan beberapa akun media sosial.
“Nyari akun medsosnya…” Dirga membuka beberapa tab sosial media yang sebagian besar berisi foto-foto Dicky. “...semuanya nyambung,” gumamnya santai.
Mata Agni membelalak. “Gimana caranya?”
“Gampang,” jawab Dirga tanpa menoleh. “Orang-orang tuh biasanya males ganti username. Sekali tahu nama lengkapnya, tinggal cari polanya—pasti ketemu.”
Ia mulai mengklik satu per satu, menelusuri isi akun-akun tersebut. Bibirnya menyungging senyum geli.
Agni menyernyit jijik. Isi tab Like Dicky dipenuhi foto-foto dan video cewek seksi dengan berbagai pose vulgar.
Dirga tertawa kecil. “Algoritma dia udah sesat total.”
Ia melirik ke Agni sekilas. Mata tajamnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar iseng.
“Mau bikin kehebohan enggak?” tanyanya dengan seringai jahil.
Agni memiringkan kepala, menatapnya heran.
Dirga kembali menunduk, mulai mengetik dengan fokus. Ada perubahan halus dalam ekspresinya. Agni memperhatikannya dalam diam—dan baru kali ini ia teringat sesuatu.
Ia sudah terbiasa melihat Dirga sebagai pemalas yang tidak berguna. Tapi sebetulnya, kakaknya ini bukan sekadar anak babi yang rakus dan menjengkelkan.
Dirga berbahaya.
Ia adalah residivis. Pernah dipenjara karena ‘iseng’ membobol sistem keamanan bank. Bukan untuk mencuri uang—karena ia tak mengambil sepeser pun. Dirga hanya ingin membuktikan bahwa ia bisa.
Sayangnya, kejeniusannya tidak dibarengi dengan kehati-hatian. Ia terlacak. Ia tertangkap. Ia dipenjara dua tahun.
Dan itulah alasan kenapa ia sulit mendapat pekerjaan formal. Label mantan narapidana menempel di dokumen hidupnya.
Agni masih ingat bagaimana Bumi saat itu—pulang dengan mata merah, rahangnya mengeras. Tidak ada yang bisa menghentikan Bumi ketika ia murka.
Tanpa banyak bicara, ia menendang keras pintu kamar Dirga hingga terbuka. Bumi masuk dan mengunci kamar itu dari dalam. Lalu, mereka hanya bisa mendengar suara benturan dan teriakan kesakitan dari balik dinding.
Setelah itu, tak ada yang membahasnya lagi. Ayah dan Ibu mereka berusaha menyembunyikan semuanya dari keluarga besar, demi menjaga nama baik.
Dan kini, saat melihat Dirga kembali menari di atas keyboard dengan ekspresi santainya, Agni sadar… satu hal yang tidak pernah berubah dari kakaknya—ia bisa menjadi sangat berbahaya, jika dia mau.
Dirga tiba-tiba terkekeh. Ia menangkap layar isi tab Like Dicky, lalu mem-posting tangkapan layar itu ke akun media sosialnya. Jemarinya mengetik cepat.
“‘Koleksi gue nihh… Ada yang mau nambahin enggak? Hehehe…’” gumamnya.
Ia mengklik Post.
Agni ternganga. “Lo serius nge-post itu? Kalau dia tahu, gimana?”
Dirga menggeleng pelan sambil mengambil bungkus keripik di meja. “Enggak bakal. Gue juga udah ganti email recovery-nya. Dia enggak bakal bisa hapus ini,” jawabnya santai.
Beberapa detik setelah unggahan itu ter-posting, komentar-komentar mulai bermunculan.
Dicky, lo ngapain???
Ini beneran elo, Dick? Enggak di-hack, kan??
Wahhh… Enggak nyangka gue… Ternyata lo kayak gini. Hahahaa…
Komen dan like terus berdatangan. Suasana hening pecah seketika ketika terdengar suara pintu kamar dibanting terbuka.
“DICKYY!!!” pekik Bude Ratmi nyaring.
Langkah kaki menghentak mendekat, berat dan cepat.
“Apa-apaan kamu?! Kenapa kamu nge-post kayak ginian?!” teriak Bude Ratmi, napasnya memburu, wajah merah padam.
“ITU BUKAN DICKY! Dicky dikerjain, Bu!!” seru Dicky panik.
Dirga dan Agni saling melirik. Kemudian, mereka menyeringai. Seringai yang terlihat sangat identik.
“Boleh juga lu,” kata Agni sambil menyodorkan tinjunya.
Dirga membalas tos itu, lalu menyodorkan kantong keripik. Agni menerimanya.
Mereka duduk bersebelahan, memakan keripik sambil menatap layar yang penuh komentar marah dan terkejut. Chaos mulai menyebar, dan mereka menikmatinya dalam diam—dengan tawa kecil yang nyaris tak terdengar.