Loading...
Logo TinLit
Read Story - A Tale of a Girl and Three Monkeys
MENU
About Us  

Sabtu pagi.

Hanya tinggal satu hari lagi Bude Ratmi menginap. Minggu pagi besok, rencananya dia akan pergi ke acara nikahan anak temannya sekaligus pulang.  Namun satu hari itu bagi Agni rasanya seperti seabad. 

Agni menghempaskan tubuhnya ke sofa. Punggungnya menempel pada sandaran, tangan terkulai lemas di samping. Tubuhnya terasa remuk. Ia sudah membersihkan setiap jengkal rumah, menyikat kamar mandi lagi, dan... memasak tiga macam masakan yang bahkan bukan untuknya, hanya karena Bude Ratmi dan anak-anaknya menginginkan sarapan yang berbeda-beda. 

Ia mengeluarkan ponsel, membuka media sosial sambil berharap bisa istirahat sebentar.

Namun harapannya langsung runtuh saat Bude Ratmi dan Dena keluar dari kamar. Tatapan mereka langsung tertuju pada tubuh Agni yang sedang rebahan. Bude Ratmi mendengus pelan—tapi cukup keras untuk terdengar sengaja.

“Anak gadis kok males-malesan gitu sih, Ni? Kasihan Mama kamu loh, kalau kamu kerjanya cuma leha-leha. Itu setrikaan numpuk, disetrikain dulu sana. Biasain, kerjaan tuh diberesin semua dulu baru istirahat.”

Agni menarik napas keras. Jari-jarinya menggenggam ponsel lebih erat.

Ini orang maunya apa sih?

Mulutnya ngajak ribut terus dari kemarin.

Kalau bukan karena dia orang tua, udah gue flying kick tuh mulut dari kemarin...

Batin Agni mendidih, tapi wajahnya tetap datar. Ia memutuskan tidak menanggapi, dan bangkit dari sofa. Badannya masih terasa lelah, tapi mandi sepertinya bisa sedikit mendinginkan kepala.

Belum sempat melangkah, suara ketukan terdengar dari arah pintu depan.

Agni menoleh, lalu berjalan ke pintu. Saat membukanya, matanya langsung membulat.

Tiga sahabat Sagara kini berdiri di ambang pintu. 

“Eh... Kak Zain? Kak Jani? Kak Shelby?”

Jani tersenyum cerah. “Hai, Ni. Maaf ya, kita datang pagi-pagi.”

“Garanya belum pulang,” kata Agni buru-buru, sedikit canggung.

“Enggak apa-apa. Tadi kita udah telepon dia, katanya sebentar lagi nyampe. Kita mau ajak dia liburan.” Jani melirik ke dalam rumah. “Kita masuk ya, Ni?”

Zain sudah lebih dulu melangkah masuk, santai dan tenang seperti biasa. Agni mengangguk kecil, masih agak terkejut. Jani dan Shelby menyusul masuk, senyum mereka hangat, aroma kopi dipegang Shelby dan Jani terbawa angin pagi terasa seolah membawa suasana baru ke dalam rumah itu.

Untuk pertama kalinya dalam tiga hari terakhir, Agni merasa tidak sendirian.

 

***

Agni baru saja selesai mandi saat melihat sahabat-sahabat Sagara tengah duduk di sofa ruang tengah. Mereka mengobrol ringan, dengan tawa kecil dan suasana hangat yang kontras dengan udara rumah yang sejak pagi dipenuhi aroma minyak goreng dan ucapan menyebalkan.

Pandangan Agni beralih ke meja makan. Kosong. Tak ada piring tersaji. Hanya tumpukan piring kotor dan sisa-sisa sambal di ujung sendok. Nampaknya, Bude Ratmi dan anak-anaknya sudah selesai makan.

Perutnya berontak. Ia melangkah mendekat dan membuka tudung saji—kosong. Semua makanan yang ia masak pagi tadi habis tak bersisa. Bahkan, lauk cadangan yang ia sisihkan di mangkuk kecil pun ikut lenyap. Hanya ada jejak minyak dan tulang-tulang ayam di atas piring.

Agni tercengang.

Gila. Beneran enggak tahu diri! pikirnya geram, sambil mengangkat piring-piring kotor ke wastafel. Tangannya bergerak cepat, tapi hatinya berdegup penuh amarah.

Akhirnya, ia memutuskan membuat mi instan untuk sarapan yang sudah sangat kesiangan. Saat menunggu air mendidih, dari sudut mata ia melihat Bude Ratmi mulai duduk di sofa, ikut nimbrung dengan gaya ramah yang dibuat-buat.

“Teman-temannya Sagara ya?” sapanya, tersenyum lebar.

Zain, Jani, dan Shelby menoleh sopan, mengangguk bersama.

Bude Ratmi mulai berbasa-basi. Kalimat-kalimatnya dipenuhi humble brag soal anak-anaknya, bisnis suaminya, dan bagaimana dirinya selalu sibuk karena terlalu banyak acara keluarga dan urusan penting. Agni hanya mendengarkan sekilas, lebih sibuk mengaduk mi di panci.

Namun telinganya langsung tajam saat Bude Ratmi tiba-tiba berkata, “Kamu item banget. Suka main di luar ya?”

Suara itu diarahkan pada Jani.

Agni menoleh perlahan, matanya membelalak. 

Wah, sialan. Berani-beraninya. 

Dadanya langsung panas. Zain dan Shelby pun tampak bereaksi—Zain mengernyit, Shelby melirik dengan sorot tajam.

Tapi Jani tetap tenang. Seolah sudah hafal nada-nada seperti itu, ia hanya tertawa kecil.

“Iya, Bu. Sering olahraga di luar.”

Bude Ratmi menggeleng pelan, seolah prihatin.

“Jangan keseringan keluar kalau cewek. Nanti tambah item. Anak saya, Dena, juga dulu item, loh. Tapi saya suruh dia rajin luluran, pakai krim malam. Sekarang putih dia. Bersih. Kayak artis Korea. Kamu coba juga deh.”

Jani hanya tersenyum sopan. Tidak membalas. Tidak tersinggung. Tapi justru sikapnya yang tenang itu membuat darah Agni makin mendidih.

Jani... jelek? Hanya karena kulitnya sawo matang??

Jani adalah cewek paling keren yang pernah Agni kenal. Kulitnya sawo matang, matanya cokelat cerah, tubuhnya atletis, gayanya selalu casual sporty dan modis. Dan dia atlet karate nasional yang prestasinya sudah diliput TV berkali-kali!

Perempuan tua ini pikir Jani enggak layak dihargai cuma karena kulitnya lebih gelap?

Agni memandangi panci mi yang masih ia aduk. Uapnya mengepul, dan entah kenapa, rasanya ingin sekali ia angkat dan siramkan ke wajah mulut cerewet yang duduk tak tahu diri itu.

Agni menuang mi ke dalam mangkuk sambil menahan keinginan kuat untuk tidak menyiramkan isinya ke wajah Bude Ratmi. Komentar tidak sopan barusan masih terngiang di telinganya. Tapi rupanya, Bude Ratmi belum selesai.

Sekarang ia mulai bertanya-tanya tentang pekerjaan sahabat-sahabat Sagara.

Jani menjawab santai, “Saya kerja di bidang olahraga, Bu.”

“Ohh, iya pantas kamu sering di luar, ya,” sahut Bude Ratmi sambil tertawa kecil.

Agni menggeleng pelan sambil duduk di meja makan. 

Ini orang enggak pernah nonton TV, apa gimana? batinnya.

Lalu giliran Shelby yang disasar.

“Kalau kamu sendiri kerja apa, Nak?” tanya Bude Ratmi, masih dengan nada sok ramah.

“Dosen,” jawab Shelby singkat.

Ekspresi Bude Ratmi langsung berubah prihatin. “Wah, saya punya temen juga dosen. Kampusnya terkenal, loh. Tapi kasihan... tiap hari harus cari sambilan. Soalnya gaji dosen kan kecil ya? Suka dirapel juga. Kadang sampai minjem ke saya. Yah, saya mah kasihan aja, namanya juga orang lagi susah…”

Shelby mengernyit. Wajahnya memerah, jelas sedang menahan sesuatu. Jani, yang duduk di sampingnya, meletakkan tangan sebentar di lutut Shelby—isyarat halus untuk tetap tenang.

Tapi Bude Ratmi belum berhenti.

“Tapi kamu berarti sering dinas ke luar kota ya? Buat penelitian-penelitian gitu?” tanyanya, berusaha terlihat antusias. “Saya dengar lumayan tuh uang jalannya.”

Shelby mengangguk pelan. “Kadang, iya.”

“Ke mana biasanya?”

Nada suaranya jelas berharap Shelby akan menyebut kota-kota seperti Bandung, Jogja, atau Palembang. Tapi Shelby menoleh dengan wajah datar.

“Tokyo.”

Ujung bibir Bude Ratmi berkedut.

“Kadang ke Seoul juga,” lanjut Shelby tenang sambil membetulkan posisi kacamata perseginya. “Terakhir saya ke Berlin buat presentasi paper.”

Bude Ratmi tersenyum kaku. “O-oh... enak ya, bisa jalan-jalan...”

Agni mendengus. Kali ini bukan karena kesal—tapi karena menahan tawa.

Setelah momen canggung itu berlalu, kini target Bude Ratmi berpindah ke Zain.

Agni diam-diam menunggu dengan penuh antisipasi. Dalam hatinya, ia nyaris tertawa sendiri. Kalau dia sampai nanya Kak Zain kerja apa, wah... ini bakal epic banget.

Dan benar saja.

“Kalau Mas-nya ini, kerja di mana?” tanya Bude Ratmi dengan senyum ramah.

Zain menjawab dengan tenang, “Saya cuma ngurus usaha keluarga aja, Bu.”

“Oh ya? Usaha apa?”

“Dagang obat,” ucap Zain kalem.

Agni langsung mendengus, sampai kuah mi hampir muncrat dari mulutnya. Ia buru-buru menutup mulut dan meraih tisu. Dagang obat… ya Allah, Kak Zain...

Mata Bude Ratmi berbinar. “Oh, apotek ya? Suami saya juga bisnis apotek. Alhamdulillah, cabangnya udah di mana-mana.”

Zain hanya mengangguk sopan, sementara Jani dan Shelby mulai menunduk, menahan tawa mereka.

“Tapi sekarang lagi sepi,” lanjut Bude Ratmi. “Kemarin kata suami saya, sebulan paling cuma dapat berapa ratus juta. Padahal dulu bisa lebih dari itu. Kalau kamu gimana? Sebulan bisa dapat omzet berapa?”

Zain tampak berpikir sejenak. “Wah, saya nggak terlalu tahu detailnya, Bu. Ada tim yang urus bagian keuangan.”

Namun Bude Ratmi tidak menyerah. “Kira-kira aja…”

Zain mengangkat bahu. “Satu setengah triliun mungkin… itu untuk penjualan di Indonesia aja. Saya nggak tahu pasti kalau digabung sama yang di ASEAN.”

Ruangan langsung senyap. 

Mata Bude Ratmi membulat. Wajahnya kaku. “…Oh... ah... bisa aja Mas Zain ini...” ucapnya, tertawa kaku, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya bercanda.

Zain tak merasa perlu menanggapi lebih lanjut. Dan seolah semesta mengkonfirmasi ucapannya, terdengar ketukan di pintu.

Agni bangkit dan membuka pintu. Seorang pria tinggi dengan setelan hitam rapi berdiri di depan, mengenakan earpiece dan membawa dua kotak donat dan satu cup kopi.

“Permisi,” ucap pria itu sopan. Ia masuk dan menghampiri Zain.

Dengan gerakan efisien, ia meletakkan kopi di meja depan Zain, lalu menoleh menunggu instruksi.

“Taruh aja di meja makan. Kasih Agni,” ucap Zain tenang.

Mata Agni membulat. Wah... Kak Zain baik banget...

Pria itu, Dani, menunduk sopan lalu berbalik menaruh kotak-kotak di meja makan di dekat Agni. Saat hendak pergi, Zain menambahkan, “Dan, kasih tahu hotelnya buat extend satu hari lagi. Tapi bukan suite yang kemarin ya. Pemandangannya jelek.”

“Baik, Mas.” Dani menunduk lagi, lalu keluar dengan tenang.

Zain meraih kopinya dan menyeruput pelan. 

Sementara itu, Bude Ratmi terlihat kehilangan kata-kata.

“Ny—nyalain TV, ya, biar nggak sepi,” katanya canggung, buru-buru mengambil remote dan menyalakan televisi.

Dan seakan semesta belum selesai menampar, layar menampilkan liputan spesial tentang atlet karate perwakilan Indonesia yang berhasil meraih medali emas untuk SEA Games kemarin. Di layar: Jani. Berkeringat dan gagah, momen saat ia mengangkat medali emas untuk Indonesia di cabang karate terlihat sangat heroik. 

Bude Ratmi ternganga.

Shelby terkekeh. “Muka lo kucel banget di situ...”

Jani langsung menyikut dadanya, ringan tapi cukup membuat Shelby batuk.

“Ya kan gue abis tanding!” protesnya.

Zain ikut tersenyum miring. “Kayaknya nggak abis tanding pun muka lo begitu.”

Jani kini menyikut perut Zain, lebih keras. Zain terbatuk dan kopinya tumpah sedikit.

Bude Ratmi terlihat semakin kikuk. Tak lagi bisa mencari celah untuk pamer, ia pun berdiri tergesa-gesa.

“Pe-permisi ya... saya mau ke kamar dulu...” gumamnya sambil buru-buru pergi.

Ketiganya kembali duduk santai, melanjutkan obrolan ringan mereka.

Dan untuk pertama kalinya dalam akhir minggu yang terasa seperti neraka, hati Agni terasa ringan. Ia membuka salah satu kotak donat yang tadi ditaruh Dani, memilih rasa kesukaannya, lalu menggigitnya dengan ceria.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sepotong Hati Untuk Eldara
1627      769     7     
Romance
Masalah keluarga membuat Dara seperti memiliki kepribadian yang berbeda antara di rumah dan di sekolah, belum lagi aib besar dan rasa traumanya yang membuatnya takut dengan kata 'jatuh cinta' karena dari kata awalnya saja 'jatuh' menurutnya tidak ada yang indah dari dua kata 'jatuh cinta itu' Eldara Klarisa, mungkin semua orang percaya kalo Eldara Klarisa adalah anak yang paling bahagia dan ...
Harmonia
4334      1370     4     
Humor
Kumpulan cerpen yang akan membuat hidup Anda berubah 360 derajat (muter ke tempat semula). Berisi tentang kisah-kisah inspiratif yang memotivasi dengan kemasan humor versi bangsa Yunani. Jika diterbitkan dalam bentuk cetak, buku ini akan sangat serba guna (bisa untuk bungkus gorengan). Anda akan mengalami sedikit mual dan pusing ketika membacanya. Selamat membaca, selamat terinspirasi, dan jangan...
Mendadak Pacar
9297      1877     1     
Romance
Rio adalah seorang pelajar yang jatuh cinta pada teman sekelasnya, Rena. Suatu hari, suatu peristiwa mengubah jalannya hari-hari Rio di tahun terakhirnya sebagai siswa SMA
I N E O
6545      1383     5     
Fantasy
❝Jadi, yang nyuri first kiss gue itu... merman?❞
Tumpuan Tanpa Tepi
11139      3062     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
Catatan sang Pemuda
601      363     5     
Inspirational
"Masa mudamu sebelum masa tuamu." Seorang laki-laki kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, pada 31 Oktober 2000. Manusia biasa yang tidak terkenal sama sekali. Inilah kisah inspirasi dari pengalaman hidup saat menginjak kata remaja. Inilah cerita yang dirangkum dari catatan harian salah seorang pemuda merah putih.
Ghea
474      312     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Bittersweet Memories
42      42     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Little Spoiler
1079      655     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
Detik Kesunyian
436      324     3     
Short Story
Tuhan memiliki beribu cara untuk menyadarkan kita. Entah itu dengan cara halus, kasar, bahkan menampar. Tapi peringatan itu yang terbaik, daripada Tuhan mengingatkanmu dengan cara penyesalan.