Rumah ini katanya sudah lama kosong. Sejak Ibu pergi menyusul Ayah, dan aku dan Dira tak lagi tinggal di sini, orang-orang menganggap rumah ini tak berpenghuni. Tapi jika benar begitu, mengapa saat aku melangkah masuk kembali ke dalamnya, ia masih menyambutku seolah tak pernah benar-benar sendiri?
Lantai keramiknya memang mulai retak, dindingnya berjamur di beberapa sudut, dan suara pintunya kini berat seperti batuk tua. Tapi ada sesuatu yang tidak berubah: rasa hangat yang pelan-pelan merayap begitu kakiku menyentuh ubin ruang tamu.
Rumah ini... belum ditinggal. Setidaknya, tidak sepenuhnya.
Sore itu, aku datang sendiri. Dira sedang mengurus sesuatu di kota. Tapi aku merasa seperti dipanggil. Entah oleh angin, cahaya, atau mungkin suara dari masa kecil yang berbisik lewat sela jendela tua.
Aku menyusuri tiap ruang perlahan, seperti menelusuri kembali lorong ingatan yang penuh debu namun tak pernah mati. Di dapur, aroma kayu terbakar masih samar-samar terasa. Di kamar Ayah dan Ibu, ranjang tua itu masih utuh, hanya selimutnya tertata lebih kaku, seolah tidak ingin disentuh lagi.
Namun saat aku duduk di pojok ruang keluarga di sofa berbunga yang dulu jadi saksi kami nonton sinetron tiap malam minggu—air mata itu tiba-tiba turun tanpa permisi.
Aku pikir aku sudah selesai menangisi rumah ini. Tapi ternyata tidak.
Karena tak ada yang pernah benar-benar selesai dengan tempat yang pernah menjadi pusat semesta.
Dulu, setiap kali aku pulang sekolah dan membuka pagar, rumah ini langsung terasa hidup. Ibu selalu menyambut dari jendela dapur, Ayah menyapa dengan suara berat dari teras, dan aroma nasi panas selalu menyelinap dari celah pintu.
Rumah ini tak besar, tapi lengkap. Hangatnya melebihi pemanas ruangan manapun. Getarannya lebih nyata dari apapun yang bisa dibeli.
Kini, meski tidak ada lagi kaki-kaki kecil berlarian, tidak ada suara sendok di atas piring, aku bisa merasakan semuanya. Seperti gema lembut dari masa lalu yang belum pergi. Masih menetap. Masih menunggu.
Aku masuk ke kamar lamaku. Masih ada coretan di dinding yang dulu kubuat saat belajar menggambar rumah dan pohon. Rak bukuku masih menyimpan komik-komik usang dan majalah remaja yang sampulnya nyaris sobek.
Dan di atas meja, ada pigura foto keluarga kecil kami berdebu, tapi utuh.
Aku mengelus pigura itu. “Rumah ini belum kita tinggalkan, ya?”
Entah pada siapa aku bicara. Tapi aku tahu, tempat ini mendengar.
Kita sering berpikir bahwa rumah hanya bangunan. Tapi sebenarnya, rumah adalah makhluk hidup yang diam-diam menyimpan napas kita. Ia merekam tawa, menyerap tangis, dan menyimpan suara langkah kaki paling lirih sekalipun.
Rumah ini tahu siapa yang pertama kali bisa mengikat tali sepatu sendiri. Siapa yang pertama patah hati. Siapa yang diam-diam menangis di kamar mandi. Siapa yang pernah bersumpah tidak akan kembali, tapi akhirnya tetap pulang.
Rumah ini menyimpan semuanya. Dan hari ini, aku datang bukan untuk membersihkannya. Tapi untuk menyampaikan satu pesan: aku belum benar-benar pergi.
Menjelang senja, aku membuka jendela ruang tamu. Udara sore masuk, membawa aroma pohon mangga tetangga dan suara cicit burung di kabel listrik. Seperti dulu.
Dan seperti biasa, aku duduk di kursi rotan kecil dekat jendela. Tempat favorit Ibu menjahit, tempat Ayah membaca koran.
Aku duduk di sana, diam, lalu berkata pelan, “Maaf ya, sudah lama nggak pulang.”
Rumah ini tidak menjawab. Tapi aku merasakan ketenangannya menjalar ke seluruh tubuhku, seperti pelukan dari belakang. Pelan, tapi penuh.
Aku tahu. Rumah ini memaafkanku.
Sebelum pulang, aku menaruh sebuah catatan kecil di laci meja tamu. Isinya sederhana:
“Kami belum benar-benar pergi. Hanya menepi. Tapi rumah ini selalu kami bawa dalam dada. Dan suatu hari nanti, entah sebagai siapa, kami akan duduk di sini lagi. Dengan tawa yang baru, dan kenangan yang tak pernah mati.”
Aku melipat catatan itu, menaruhnya dengan hati-hati, lalu menutup laci.
Dan saat aku keluar, menutup pintu perlahan, aku menoleh sekali lagi. Matahari hampir tenggelam, dan cahaya oranye itu jatuh tepat di depan pintu seperti selimut hangat.
Aku tahu. Rumah ini tidak sendiri. Karena sebagian dari kami… masih tinggal di dalamnya.
Refleksi: Rumah bukan hanya tempat kita lahir dan tumbuh. Rumah adalah saksi yang paling jujur dari siapa kita sebenarnya. Ia menyimpan suara langkah pertama, tawa tanpa sebab, bahkan tangis di balik pintu saat semua orang mengira kita baik-baik saja. Dan meski dunia membawa kita jauh, rumah tidak pernah benar-benar kita tinggalkan. Sebab ada bagian dari diri kita yang tertinggal di sana duduk tenang di sudut ruang, menunggu kita pulang.