Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menyulam Kenangan Dirumah Lama
MENU
About Us  

Di atas lemari kecil dekat kamar Ibu, ada sebuah kotak kayu yang sudah mulai berdebu. Warnanya cokelat tua, dengan ukiran sederhana di sisi-sisinya. Kotak itu tidak terkunci, tapi seolah-olah tidak ada yang pernah benar-benar membuka kembali isinya.

Hari itu, entah kenapa, tangan ini otomatis membuka kotak itu.

Di dalamnya, ada beberapa mainan kayu yang sudah lama tidak kusentuh: sebuah mobil-mobilan kecil dengan roda yang sudah copot satu, balok huruf-huruf yang dulu jadi alat belajar membaca, dan seekor kuda-kudaan mini dengan ekor yang terbuat dari tali rafia. Semuanya berbau kayu tua yang lembap dan wangi masa lalu.

Tapi benda yang membuatku berhenti adalah satu boneka kayu mungil—berbentuk seperti manusia, dengan cat wajah yang sudah pudar dan satu tangan yang hilang.

Aku ingat betul siapa yang membuatnya.

Ayah.

 

Dulu, saat kami masih kecil, Ayah tidak bisa membelikan kami mainan seperti anak-anak tetangga. Tapi beliau bisa membuat sesuatu dari kayu bekas, potongan triplek, atau sisa-sisa papan reklame. Yang penting, kami bisa bermain.

“Ayah bukan orang kaya,” katanya suatu malam sambil mengamplas mainan di teras, “tapi Ayah bisa bikin kamu tertawa.”

Dan memang, tawa itu nyata. Mainan buatan Ayah tidak bersuara, tidak pakai baterai, tidak punya lampu. Tapi kami membuatnya hidup dengan imajinasi. Mobil-mobilan kayu bisa balapan keliling ruang tamu. Boneka kayu bisa berdialog seperti pemeran utama dalam pertunjukan drama.

Kami tidak kekurangan.

Kami hanya belajar bahagia dengan cara yang lebih sederhana.

 

Boneka kayu yang sekarang kugenggam ini adalah salah satu favoritku. Aku bahkan sempat menamainya: Pak Kecil. Dulu, setiap kali bermain sendirian, aku selalu bawa dia. Bahkan sampai pernah aku mandikan karena kukira dia bau. Setelahnya, catnya luntur. Dan Ayah hanya tertawa kecil sambil memperbaikinya lagi.

Tapi kemudian, aku mulai tumbuh besar. Dan perlahan, mainan-mainan itu hanya jadi penghuni kotak kayu yang diam. Tertutup waktu, tertutup kesibukan, tertutup ego remaja yang merasa terlalu tua untuk bermain.

Dan saat Ayah meninggal—beberapa tahun lalu—aku bahkan tidak pernah ingat lagi pada Pak Kecil.

Sampai hari ini.

 

Kehilangan memang tidak pernah datang dengan cara yang sopan.

Kadang ia menyerbu tanpa mengetuk pintu, membuat kita terpaksa menerima ruang kosong di dalam dada yang sebelumnya penuh suara orang yang kita cintai.

Aku mengelus permukaan boneka kayu itu pelan. Gurat-gurat kecil di tubuhnya terasa seperti jalur waktu yang tak bisa dihapus. Tangannya yang hilang mengingatkanku pada semua hal yang sempat hilang, yang tak bisa dikembalikan.

Dan dari situ, aku mulai belajar ulang tentang arti kehilangan.

Bukan kehilangan karena lupa, tapi kehilangan karena kita terlalu lama tidak melihat. Padahal benda itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menunggu untuk disentuh kembali.

 

“Masih ada boneka itu?” tanya Dira dari ambang pintu.

Aku mengangguk. “Kamu ingat namanya?”

“Pak Kecil,” jawabnya cepat sambil tersenyum. “Kamu dulu bahkan minta diajak tidur bareng.”

Aku tertawa kecil. “Kayaknya aku dulu lebih sayang sama dia daripada ke kamu.”

Dira cemberut pura-pura marah. Tapi kami sama-sama tahu, masa itu terlalu indah untuk diributkan. Kami duduk berdampingan, membuka isi kotak satu per satu. Setiap benda punya cerita. Setiap cerita membawa rasa.

“Ayah sayang banget ya sama kita,” gumamku pelan.

“Banget,” jawab Dira. “Dan kayaknya, Ayah juga tahu… cinta itu bisa disimpan di potongan kayu kecil, asal tangannya tulus waktu bikin.”

Aku mengangguk. Karena aku percaya, tidak semua cinta harus besar dan megah. Kadang, cinta cukup diwujudkan dalam bentuk mobil kayu yang bisa jalan miring, atau kuda mainan yang dibuat malam-malam sambil menahan ngantuk.

 

Kami menemukan satu balok huruf yang bagian sisinya sudah gosong.

“Ini bekas kamu bakar, kan?” tanya Dira geli.

Aku mengangguk malu. “Eksperimen waktu SD. Mau tahu apa kayu bisa meleleh.”

Kami tertawa sampai perut sakit. Tapi kemudian diam sejenak. Karena di balik tawa, ada satu rasa yang menyusup pelan: rindu.

Kami merindukan seseorang yang tidak bisa lagi duduk di tengah-tengah kami. Seseorang yang dulu selalu ada di setiap tawa dan tangis, tapi kini hanya tinggal di ingatan.

Dan mainan kayu ini—tanpa kami duga—menjadi penghubung diam-diam antara masa kini dan masa lalu. Antara kehilangan dan penerimaan.

 

Aku memeluk Pak Kecil sebentar. Mungkin konyol. Tapi aku merasa, Ayah sedang menatap dari jauh. Bukan dengan wajah sedih, tapi dengan senyum tenang.

Karena akhirnya, kami kembali membuka kotak kenangan itu. Kami tidak membiarkan waktu menguburnya sepenuhnya.

“Kalau kita punya anak nanti,” ucap Dira tiba-tiba, “kita ajarin mereka main kayak gini ya.”

Aku menoleh. “Maksudmu, kasih mainan kayu?”

“Bukan. Kasih mainan yang dibuat dari cinta. Supaya mereka tahu, bahwa bahagia nggak harus dibeli mahal. Kadang, cukup dari tangan yang sabar dan hati yang tulus.”

Aku terdiam. Lalu mengangguk pelan.

Karena kehilangan memang menyakitkan.

Tapi dari kehilangan, kita belajar menghargai yang pernah ada.

Dan dari kenangan, kita belajar mencintai sekali lagi—dengan cara yang lebih utuh.

 

Sebelum menutup kotak itu, aku menuliskan satu catatan kecil dan menaruhnya di dalam:

“Terima kasih, Ayah. Untuk semua mainan yang tak bersuara,

tapi penuh tawa. Untuk semua kayu yang jadi jembatan ke masa kecil kami.

Kau mungkin sudah pergi, tapi cintamu masih bermain di sini—bersama kami.”

Lalu kami menutup kotak itu perlahan. Bukan untuk melupakannya, tapi untuk menyimpannya dengan lebih layak.

Karena beberapa hal memang tidak perlu dibuka terus-menerus.

Cukup tahu bahwa mereka masih ada.

Dan bahwa mereka pernah menjadi bagian terindah dari hidup kita.

 

Refleksi: Kehilangan bukan akhir dari kenangan. Justru dari kehilangan, kita belajar menemukan bahwa cinta bisa hidup dalam benda-benda kecil, dalam mainan kayu tanpa suara, dalam tangan yang tak sempurna, tapi sepenuh hati. Dan saat kita menyentuh kembali benda-benda itu, kita tidak hanya menemukan masa lalu, tapi juga menemukan diri kita sendiri yang pernah benar-benar dicintai.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Train to Heaven
1154      735     2     
Fantasy
Bagaimana jika kereta yang kamu naiki mengalami kecelakaan dan kamu terlempar di kereta misterius yang berbeda dari sebelumnya? Kasih pulang ke daerah asalnya setelah lulus menjadi Sarjana di Bandung. Di perjalanan, ternyata kereta yang dia naiki mengalami kecelakaan dan dia di gerbong 1 mengalami dampak yang parah. Saat bangun, ia mendapati dirinya berpindah tempat di kereta yang tidak ia ken...
Our Perfect Times
1120      756     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
AKSARA
6550      2224     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
Meta(for)Mosis
11288      2349     4     
Romance
"Kenalilah makna sejati dalam dirimu sendiri dan engkau tidak akan binasa. Akal budi adalah cakrawala dan mercusuar adalah kebenaranmu...." penggalan kata yang dilontarkan oleh Kahlil Gibran, menjadi moto hidup Meta, gadis yang mencari jati dirinya. Meta terkenal sebagai gadis yang baik, berprestasi, dan berasal dari kalangan menengah keatas. Namun beberapa hal mengubahnya menjadi buru...
Under The Same Moon
392      260     4     
Short Story
Menunggumu adalah pekerjaan yang sudah bertahun-tahun kulakukan. Tanpa kepastian. Ketika suatu hari kepastian itu justru datang dari orang lain, kau tahu itu adalah keputusan paling berat untukku.
Kota Alkroma: Tempat Ternyaman
486      206     1     
Fantasy
Kina tidak pernah menyukai kota kecil tempat tinggalnya. Impiannya dari kecil adalah untuk meninggalkan kota itu dan bahagia di kota besar dengan pekerjaan yang bagus. Dia pun setuju untuk menjual rumah tempat tinggalnya. Rumah kecil dan jelek itu memang seharusnya sudah lama ditinggalkan tetapi seluruh keluarganya tidak setuju. Mereka menyembunyikan sesuatu. Kemudian semuanya berubah ketika Kina...
Andaikan waktu bisa diperlambat
894      539     11     
Short Story
kisah dua sahabat bernama Bobby dan Labdha yang penuh dengan tawa dan tantangan soal waktu.
A Tale of a Girl and Three Monkeys
334      197     6     
Humor
Tiga kakak laki-laki. Satu dapur. Nol ketenangan. Agni adalah remaja mandiri penuh semangat, tapi hidupnya tak pernah tenang karena tiga makhluk paling menguji kesabaran yang ia panggil kakak: Si Anak Emas----pusat gravitasi rumah yang menyedot semua perhatian Mama, Si Anak Babi----rakus, tak tahu batas, dan ahli menghilangkan makanan, dan Si Kingkong----kakak tiran yang mengira hidup Agni ...
Langkah yang Tak Diizinkan
195      163     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
One-room Couples
1172      586     1     
Romance
"Aku tidak suka dengan kehadiranmu disini. Enyahlah!" Kata cowok itu dalam tatapan dingin ke arah Eri. Eri mengerjap sebentar. Pasalnya asrama kuliahnya tinggal dekat sama universitas favorit Eri. Pak satpam tadi memberikan kuncinya dan berakhir disini. "Cih, aku biarkan kamu dengan syaratku" Eri membalikkan badan lalu mematung di tempat. Tangan besar menggapai tubuh Eri lay...