Kulkas tua di dapur rumah lama masih berdiri di sudutnya, persis seperti dulu. Warnanya putih tulang, dengan sedikit bercak karat di bawah pintunya. Pegangannya sudah longgar, dan suaranya—kalau menyala—masih sama: dengungan kecil yang tak pernah benar-benar hening. Dulu, suara itu membuatku merasa rumah ini hidup, bahkan saat semua sedang tertidur.
Tapi pagi ini, ketika aku menarik pintu kulkas itu perlahan, yang kulihat hanyalah ruang kosong. Tak ada botol kecap, tak ada wadah plastik warna-warni, tak ada telur atau sekotak susu. Hanya dinding dalam kulkas yang dingin dan sepi. Dan anehnya, justru di situ, rindu itu datang begitu deras.
Kulkas itu dulu bukan sekadar tempat menyimpan makanan. Ia adalah tempat kejutan kecil, tempat penghiburan saat hati rewel, tempat hadiah diam-diam yang tak pernah diucap dengan kata-kata.
Dulu, setiap kali aku pulang sekolah dengan wajah murung karena nilai ulangan, Ibu akan berkata:
“Coba deh buka kulkas.”
Dan di sana, pasti ada sesuatu. Kadang agar-agar mangga kesukaan kami. Kadang sekotak es krim murah yang sengaja dibelah dua. Kadang hanya pisang rebus yang dibungkus rapi. Tapi yang membuat hati hangat bukan makanannya—melainkan perhatian Ibu yang terselip diam-diam di sana.
Pernah suatu malam, Ayah pulang sangat larut. Dapur sudah gelap, semua orang sudah tidur. Tapi kulkas itu tetap menyala. Dan ketika Ayah membukanya, ada sepiring nasi goreng dingin, dibungkus plastik, dengan catatan kecil dari Ibu:
“Hangatkan sebentar. Sudah aku tambahkan cabe rawit. Hati-hati, pedasnya bukan main.”
Aku tahu itu karena pagi harinya, Ayah tersenyum sendiri di meja makan. Katanya, “Ibu kamu pintar sekali ya, bikin pedasnya pas di lidah dan di hati.”
Kami tertawa. Tapi di balik itu semua, kami tahu: cinta kadang hidup diam-diam di dalam kulkas.
Kini, kulkas itu kosong. Tapi kepalaku penuh. Penuh dengan potongan kenangan yang seolah beku, dan baru mencair pagi ini.
Aku menyentuh rak bagian tengah. Masih ada sedikit goresan di sana—bekas botol kecap yang pernah tumpah. Di bagian bawah, tempat sayuran, masih ada serpihan plastik kecil dari laci yang retak sejak dulu tapi tak pernah diganti.
Semua itu membuatku tersenyum.
Rumah ini boleh diam. Tapi kulkas ini menyimpan suara-suara kecil masa lalu:
tawa Dira yang melihat agar-agar berbentuk kelinci,
gumaman Ayah soal sambal buatan Ibu,
dan diamku sendiri saat menemukan puding cokelat setelah menangis semalaman.
Saat aku menutup pintu kulkas perlahan, Dira muncul dari belakang, membawa dua gelas kopi hitam.
“Masih dingin?” tanyanya sambil duduk di bangku dapur.
Aku mengangguk. “Masih. Tapi kosong.”
Dia tersenyum pahit. “Dulu isinya penuh. Tapi hati kita juga.”
Aku terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi mengena. Seperti kulkas, mungkin hati juga bisa terasa kosong—bukan karena tak ada apa-apa, tapi karena kita tahu betapa penuhnya dulu.
Kami menyeruput kopi sambil memandangi kulkas itu bersama.
“Masih ingat nggak,” kataku, “waktu kamu ngumpetin permen dari ulang tahun temen kamu dan nyimpennya di freezer biar aku nggak nemu?”
Dira tertawa keras. “Eh, itu berhasil kan? Kamu baru nemu dua minggu kemudian dan permennya udah kayak batu bata.”
“Dan tetap aku makan!”
Kami tertawa lagi. Suara kami menggema di dapur kosong. Tapi tawa itu membuat ruangan itu terasa hangat lagi, meski tanpa api kompor yang menyala.
Dira berdiri, membuka laci kulkas bawah. Kosong. Tapi di pojoknya ada magnet kulkas berbentuk pisang, agak mengelupas tapi masih lucu. Dia mengambilnya, lalu menempelkannya kembali dengan hati-hati.
“Kayaknya kita harus isi kulkas ini lagi,” katanya sambil tersenyum. “Nggak perlu yang mewah. Cukup dengan hal-hal kecil yang bisa bikin kita inget lagi... kita dulu pernah bahagia di sini.”
Aku mengangguk pelan. Karena aku tahu, kadang kita tak bisa mengisi ulang semua yang hilang. Tapi kita bisa menaruh harapan baru di tempat yang sama. Dan rumah lama ini, termasuk kulkas tuanya, layak menerima harapan itu lagi.
Sebelum meninggalkan dapur, aku menempelkan satu catatan kecil di pintu kulkas. Dengan pulpen hitam dan tulisan seadanya:
“Dulu kulkas ini berisi makanan. Tapi sesungguhnya, ia menyimpan perhatian, cinta, dan kebersamaan. Terima kasih telah menjaga rasa rindu kami.”
Kulkas itu tidak menjawab, tentu saja. Tapi dalam diamnya, aku tahu ia menerima.
Refleksi: Kadang, hal paling sepele seperti kulkas kosong bisa mengajak kita pulang ke masa lalu, tempat di mana cinta hadir dalam bentuk sederhana: makanan hangat, catatan kecil, atau agar-agar di wadah plastik. Dan dari situ, kita belajar bahwa rumah bukan soal barang mewah, tapi soal bagaimana perhatian disimpan dan rindu dikembalikan.