Di ruang tamu rumah lama kami, ada satu lemari tua peninggalan kakek. Warnanya cokelat gelap dengan ukiran daun di sisi pintunya. Lemari itu punya tiga laci. Dua di antaranya bisa dibuka dengan mudah, berisi kain-kain yang sudah lama tak dipakai, dan buku-buku doa yang warnanya sudah pudar. Tapi laci paling bawah—itu cerita lain.
Laci itu terkunci rapat. Selalu terkunci. Tidak ada yang tahu pasti kapan terakhir kali dibuka, atau siapa yang menyimpan kuncinya. Bahkan Ibu pun, yang biasanya tahu semua sudut rumah seperti telapak tangannya sendiri, hanya berkata, “Ah, mungkin kuncinya sudah hilang. Laci itu nggak penting.”
Tapi bagi anak kecil dengan rasa ingin tahu seperti aku dan Dira dulu, tidak ada yang lebih penting dari sesuatu yang dikatakan “tidak penting”.
Kami sering mengendap-endap ke lemari itu, mencoba menarik-narik gagangnya diam-diam. Kadang dengan sendok, kadang pakai jepitan baju, bahkan pernah dengan penjepit rambut Ibu yang langsung patah dua setelahnya.
Laci itu seolah menertawakan usaha kami. Tidak pernah bergerak sedikit pun. Tidak ada celah. Tidak ada bunyi. Hanya diam, tapi membuat penasaran tak habis-habis.
“Kayaknya di dalamnya ada surat cinta rahasia,” bisik Dira.
“Bukan. Pasti isinya harta karun. Atau boneka berhantu,” balasku, mencoba menakut-nakuti.
Tapi laci itu tetap tidak terbuka. Dan seperti semua misteri yang tidak terpecahkan, ia akhirnya perlahan kami tinggalkan. Hingga menjadi bagian dari rumah yang hanya... ada. Seperti embun di pagi hari: tidak lagi mengejutkan, tapi tetap terasa magis.
Bertahun-tahun kemudian, saat rumah itu mulai sepi dan satu per satu perabot dibersihkan, aku kembali berdiri di depan lemari tua itu. Wajahnya masih sama. Kusam, usang, tapi menyimpan wibawa. Laci paling bawah itu tetap tertutup. Masih terkunci. Dan aku, entah kenapa, merasa waktu sudah cukup lama bersabar. Mungkin hari ini, ia pantas dibuka.
Aku duduk di lantai, membuka laci atas dan tengah. Lalu mengeluarkan isi kecil-kecilannya. Tumpukan kain lap, beberapa sobekan kartu pos, dan selembar foto keluarga yang sudah menguning.
Saat kutarik laci bawah—seperti dugaan—masih terkunci.
Kali ini aku mencoba dengan hati-hati. Menggunakan ujung penjepit besi kecil yang biasa dipakai Ayah untuk memperbaiki jam tangan. Dan setelah beberapa menit, terdengar klik kecil. Suara yang pelan, tapi membuat jantungku seperti berhenti sebentar.
Laci itu... terbuka.
Di dalamnya, tak ada harta. Tidak ada surat cinta. Tidak ada boneka menyeramkan.
Isinya hanya satu buku catatan kecil dengan sampul hitam, sehelai kertas origami berbentuk hati yang sudah lecek, dan sebungkus kecil kantong kain dengan sulaman bunga mawar.
Benda-benda sederhana. Tapi saat kugenggam satu per satu, aku merasa seperti menemukan lembaran hidup yang selama ini tersembunyi.
Aku membuka buku catatan itu. Tulisan tangan Ibu langsung menyapaku di halaman pertama:
“Ini bukan cerita hebat. Ini hanya lembar-lembar kecil yang ingin aku simpan saat dunia terlalu ramai untuk mendengarkan.”
Halaman demi halaman berisi catatan pendek. Tentang perasaan Ibu saat aku dan Dira pertama kali sekolah. Tentang malam-malam ketika Ayah pulang terlambat tapi tetap membawa roti sobek. Tentang hari saat hujan turun terlalu deras dan atap dapur bocor, tapi kami semua justru tertawa karena airnya jatuh tepat ke wajan goreng tempe.
Catatan itu tidak puitis. Tidak dramatis. Tapi justru di situlah keindahannya. Kata-katanya jujur, apa adanya. Tidak ditulis untuk dipamerkan, hanya untuk dikenang.
“Hari ini Dira sakit. Tapi dia tetap minta ikut makan siang di luar bareng. Katanya, ‘Kalau di rumah terus, nanti sedihnya makin gede, Bu.’ Aku belajar dari dia hari ini.”
“Anak-anak ribut tadi pagi karena rebutan odol. Tapi malam ini, mereka tidur sambil saling peluk. Dunia kadang gitu, ya. Pagi perang, malam baikan.”
Aku terdiam lama. Di lantai ruang tamu, di depan lemari tua, dengan buku catatan di tangan dan mata yang mulai basah.
Laci itu, ternyata menyimpan sisi Ibu yang tidak pernah dia tunjukkan. Bukan karena rahasia, tapi karena mungkin, tidak semua hal harus diceritakan ke semua orang.
Kadang, seseorang hanya ingin menyimpan sedikit kebaikan, agar hidup tidak terlalu bising. Dan lembar-lembar itu… adalah sunyi yang penuh kasih.
Aku membuka bungkusan kain kecil. Di dalamnya, ada seutas gelang dari benang wol merah dan sebutir kancing baju. Lalu kertas kecil bertuliskan:
“Ini gelang pertama yang dibuat Dira di pelajaran prakarya. Kancingnya dari baju pertama yang aku jahit sendiri. Benda-benda kecil, tapi hatiku penuh saat melihatnya.”
Hatiku mendadak penuh juga. Bahkan terasa meluap.
Betapa banyak hal kecil yang sering kita lupakan. Padahal, justru di sanalah cinta menyelip—dalam gelang benang, kancing baju, atau tulisan tangan yang tidak pernah diketik.
Aku melipat ulang kertasnya. Lalu memandang ke dalam laci itu sekali lagi. Kini, ia tidak lagi terlihat mengunci sesuatu. Tapi menjaga. Menjaga kenangan-kenangan kecil yang terlalu rapuh untuk dibiarkan hilang begitu saja.
Beberapa menit kemudian, Dira datang ke ruang tamu.
“Kamu ngapain buka-buka laci itu?” tanyanya sambil menyipitkan mata.
Aku menyerahkan buku catatan itu padanya.
“Buka sendiri.”
Ia duduk di sampingku. Membaca perlahan. Awalnya diam. Lalu mulai tersenyum. Lalu… matanya berkaca-kaca.
“Ibu selama ini nyimpan ini semua, ya?”
Aku mengangguk.
Kami berdua diam. Tapi tidak karena kehabisan kata. Melainkan karena terlalu banyak rasa. Dan untuk pertama kalinya, laci yang dulu kami anggap misterius, kini terasa seperti pelukan Ibu yang dikirim ulang—melalui tinta dan halaman.
Sebelum malam turun, kami membereskan semua isinya. Buku catatan itu kami simpan kembali. Bungkusan kecil dan origami hati kami letakkan di atasnya, lalu menutup laci dengan pelan.
Tapi kami tidak menguncinya kembali.
Karena beberapa rahasia, setelah dibuka, tidak lagi perlu disembunyikan. Mereka hanya perlu diingat. Dan diberi ruang untuk tinggal.
Refleksi: Kadang, yang terkunci bukan karena ingin dilupakan. Tapi karena belum waktunya untuk dibuka. Laci itu menyimpan catatan kecil yang tidak dimaksudkan untuk orang banyak. Tapi justru karena itulah, ia terasa paling jujur. Dan pada akhirnya, kenangan yang paling berarti bukan yang besar dan ramai. Tapi yang diam-diam tinggal… di dalam laci yang terkunci rapat.