Kalau ada benda yang bisa menyatukan kami semua tanpa perlu banyak bicara, itu adalah televisi kecil berlayar cembung yang duduk manis di sudut ruang tengah. Warnanya hitam legam, dengan dua kenop besar di bawah layar dan antena yang seperti tanduk rusa, seringkali harus diarahkan ke posisi ajaib agar gambar tidak bergelombang seperti laut pasang.
Televisi itu hanya menampilkan dua warna: hitam dan putih. Tapi entah bagaimana, saat kami duduk bersamanya setiap Sabtu pagi, rasanya hidup kami jauh lebih berwarna dari sekarang.
Sabtu pagi adalah upacara keluarga tak resmi di rumah ini. Kami bangun lebih pagi dari hari-hari sekolah, bukan karena ada les atau pekerjaan rumah, tapi karena tayangan kartun akan segera dimulai.
Ibu sudah tahu kebiasaan ini, jadi ia selalu menyiapkan teh hangat dan roti bakar sejak subuh. Ayah biasanya duduk di kursi rotan sambil membaca koran, tapi sesekali ikut melirik ke layar jika suara tawa kami terlalu ramai.
Aku dan Dira sudah punya tempat masing-masing. Aku di karpet bulu dekat meja kecil, sementara Dira suka duduk bersila di depan kipas angin yang belum dinyalakan. Kami menonton acara yang selalu sama setiap minggunya, meski kadang siaran itu terganggu oleh semut-semut hitam di layar.
“Tendang dikit antenanya,” kata Ayah, dan aku pun berdiri, mendongakkan antena sambil menahan napas seolah posisi tubuhku juga menentukan kualitas siaran.
Kalau gambar sudah jelas, kami bersorak seakan berhasil memecahkan misteri dunia.
Tayangan Sabtu pagi itu sederhana: kartun lokal, animasi Jepang yang di-dubbing lucu, lalu program anak-anak yang dipandu dua orang dewasa dengan kaos warna-warni. Tapi bagi kami, itulah dunia.
Aku belajar tentang persahabatan dari dua kucing dan tikus yang saling kejar. Tentang keberanian dari robot biru yang selalu punya alat-alat ajaib. Tentang tawa dari presenter yang selalu pakai celana kebesaran dan tertawa seperti anak TK.
Semua terekam di kepala, dan lucunya, tak satu pun dari kami merasa kekurangan. Meskipun televisinya tidak bisa menampilkan warna merah, biru, atau hijau, imajinasi kami mengisi sisanya.
“Kamu tahu nggak, Dira,” kataku suatu pagi saat kami sudah dewasa dan kembali menatap televisi lama itu, “aku dulu pikir rambut karakter di kartun itu warnanya abu-abu semua.”
Dira tertawa. “Aku pikir giginya bolong karena nggak putih-putih amat!”
Kami tertawa, lalu terdiam. Karena dari situ kami sadar: televisi itu mungkin tua dan terbatas, tapi ia menyuguhkan lebih dari hiburan. Ia menghadirkan kebersamaan yang sekarang mulai langka.
Waktu SMP, aku sempat iri pada teman-teman yang punya televisi berwarna dan saluran kabel. Mereka bisa menonton ratusan acara dengan kualitas gambar jernih dan suara stereo. Sementara kami masih mengandalkan antena kawat yang disambung ke hanger baju.
Tapi setiap kali aku pulang ke rumah dan duduk bersama keluarga, aku sadar tidak semua yang terang itu lebih hangat. Justru dalam keterbatasan, kami jadi saling mendekat.
Pernah suatu Sabtu pagi, listrik padam di tengah-tengah acara favorit kami. Aku dan Dira mengeluh, tapi Ayah malah menantang kami untuk menggambar ulang kartunnya di kertas bekas. Ibu ikut menggambar, meskipun hasilnya lebih mirip bola pingpong daripada karakter kartun.
Hari itu, tanpa televisi, kami tertawa lebih lama. Dan mungkin, justru hari-hari seperti itulah yang paling kuat menempel di hati.
Televisi hitam putih itu kini duduk diam, tak lagi menyala. Kabelnya sudah longgar, kenopnya keras. Tapi aku tetap enggan membuangnya. Bagiku, ia seperti album kenangan yang tidak perlu dibuka untuk bisa dirasakan.
Kadang, aku membayangkan memperbaikinya. Atau sekadar menyalakannya sekali saja untuk mengenang masa-masa itu. Tapi kurasa, kenangan paling baik disimpan dengan utuh di hati, bukan dalam upaya menghidupkan masa lalu secara fisik.
“Mau simpan di mana TV-nya?” tanya Dira suatu hari.
“Di ruang tamu. Biar nanti anak-anakku tahu, ini televisi yang tidak bisa mutar YouTube tapi bisa mutar kenangan,” jawabku.
Kami tertawa. Tapi ada haru yang tidak bisa dibantah.
Satu hari, aku duduk sendirian di ruang tengah rumah lama. Teh hangat di tangan, dan roti bakar yang sedikit terlalu cokelat di piring kecil. Aku menatap televisi itu, dan seolah melihat bayangan kecil aku dan Dira yang sedang tertawa—dengan baju tidur, rambut acak-acakan, dan tawa yang belum tercampur beban hidup.
Kadang kita terlalu sibuk mengejar layar-layar besar, resolusi tinggi, dan kecepatan sinyal. Padahal yang kita butuhkan hanyalah satu layar kecil, dengan tayangan yang sederhana, tapi bisa membuat kita duduk bersama orang-orang yang kita cintai.
Itu bukan soal televisinya. Tapi tentang siapa yang duduk bersamamu saat menontonnya.
Sebelum meninggalkan rumah lama keesokan harinya, aku menulis catatan kecil dan menyelipkannya di belakang televisi itu:
"Untuk layar kecil yang pernah menyatukan kami:
Terima kasih telah menampilkan dunia besar dari ruang kecil ini.
Meski kini kamu diam, suaramu masih hidup dalam ingatan kami
dalam bentuk tawa, cerita, dan rasa hangat yang tak pernah bisa ditayangkan ulang."
Aku menatapnya sekali lagi, lalu pergi. Dan dalam hati, aku tahu: tak semua tayangan butuh warna untuk jadi kenangan yang paling cerah.
Refleksi:
Kadang kenangan paling indah tidak datang dari teknologi tercanggih, tapi dari benda sederhana yang menjadi saksi momen kebersamaan. Televisi hitam putih itu tak butuh warna, karena keluarga kami lah yang mewarnainya dengan tawa, cinta, dan cerita.