Aku menemukannya di dalam kotak plastik biru di loteng rumah lama. Kotak itu tertutup debu, diselimuti sarang laba-laba, dan berada di pojok yang jarang dijamah manusia. Saat tutupnya terbuka, aroma kayu tua, kertas lembap, dan sedikit nostalgia menyeruak bersamaan.
Di antara tumpukan barang lama—buku cerita bergambar, puzzle yang sudah tak lengkap, dan satu kotak kecil berisi kancing, aku melihat sosok yang sangat familiar: boneka kain kecil berwarna coklat muda, tanpa satu matapun.
Satu matanya hilang, satu lagi copot dan menggantung di benang tipis yang sudah hampir putus.
“Lala…” aku menyebut namanya, setengah tertawa, setengah terharu.
Dulu aku menamainya Lala. Boneka buatan Ibu dari sisa-sisa kain flanel dan dakron seadanya. Ia bukan boneka mahal dari toko mainan mewah, tapi Lala selalu jadi tokoh utama dalam semua petualangan masa kecilku.
Kadang ia jadi penumpang kereta kardus. Kadang jadi pasien saat aku pura-pura jadi dokter. Pernah juga aku ceburkan dia ke ember dan pura-pura menyelamatkannya dari “banjir besar” yang dibuat dari air selokan.
Tapi aku lupa kapan tepatnya Lala kehilangan matanya. Mungkin saat Dira iseng menjadikannya target lempar kelereng. Atau mungkin saat aku mengunyahnya sendiri waktu gigi susuku copot dan aku butuh “teman pengganti”.
Malam itu, aku membawa Lala turun dari loteng. Kubersihkan pelan-pelan dengan lap basah dan sabun bayi. Benangnya sudah rapuh, kainnya mulai robek di bagian kaki. Tapi saat aku memeluknya, tetap terasa seperti memeluk bagian kecil dari diriku yang dulu.
“Lala masih hidup?” Dira menatapku heran saat melihatku membawa boneka itu.
“Dia nggak pernah mati,” jawabku sambil tersenyum. “Cuma... tidur panjang.”
Dira tertawa, lalu duduk di sebelahku.
“Kamu inget nggak, dulu kita rebutan Lala?” katanya.
“Banget. Dan kamu pernah ‘nyulik’ dia seminggu penuh.”
“Karena aku ngambek. Kamu nggak mau bagi ciki rasa keju.”
Kami tertawa. Lalu diam sejenak.
Aku memandangi wajah Lala yang kini kosong. Tanpa mata, tapi tetap terasa seperti menatapku. Kadang yang menyentuh bukan apa yang terlihat, tapi apa yang kita ingat dari yang pernah ada.
Saat kecil, aku pernah kehilangan Lala selama dua hari. Aku menangis semalaman. Ibu sampai ikut mencari ke kolong meja, belakang lemari, bahkan sempat mengira kucing tetangga menyeretnya keluar rumah.
Ternyata Lala terselip di tas sekolah—aku bawa tanpa sadar dan lupa. Dan ketika kutemukan lagi, aku peluk dia seharian. Tangisku meledak seperti kehilangan sungguhan. Mungkin memang begitu cara anak-anak mencintai: total, polos, dan tidak ada logika.
Dan sekarang, melihat Lala yang usang dan tak utuh, ada bagian dari diriku yang juga ikut terdiam. Bahwa dalam hidup, akan banyak hal yang hilang perlahan—tanpa suara, tanpa drama. Seperti mata Lala. Seperti masa kecil itu sendiri.
Aku memutuskan menjahit ulang boneka itu malam itu juga. Menambal robekan kecil di bagian tubuhnya. Menguatkan benang di lengannya. Tapi aku tak mengganti matanya.
Kupilih untuk membiarkan Lala tanpa mata. Bukan karena malas, tapi karena menurutku, kehilangan itu adalah bagian dari cerita yang membuatnya utuh. Biarlah Lala tetap cacat. Karena dari cacat itulah kenangan lahir.
Saat aku menunjukkan Lala yang sudah “dirawat” kepada Ibu, ia hanya menatapku dan tersenyum.
“Kamu tahu nggak, waktu pertama kali aku buat boneka itu... Ibu lagi sedih.”
Aku menoleh. “Sedih kenapa?”
“Waktu itu Ayah lagi pergi jauh. Dan kamu demam, terus rewel terus-terusan. Nggak mau makan, nggak mau minum obat.”
Ibu duduk di sebelahku. “Akhirnya Ibu ambil sisa kain dari baju lama kamu, dan buat boneka seadanya. Ibu pikir, kalau kamu punya ‘teman’ baru, mungkin kamu mau diam.”
Aku terdiam. Memandangi Lala dengan perasaan yang jauh lebih dalam.
“Dan kamu peluk Lala seharian. Bahkan tidur pun nggak mau dilepas.”
“Jadi… Lala lahir dari kesedihan?” tanyaku lirih.
Ibu menggeleng. “Nggak. Lala lahir dari kasih sayang. Karena kadang... cinta tidak datang dalam bentuk besar. Kadang ia hadir dalam wujud boneka jelek tanpa mata.”
Aku menyimpan Lala di meja samping tempat tidur malam itu. Dalam gelap, bayangannya yang kecil dan kusam seolah berkata padaku,
“Terima kasih. Sudah mengingatku. Sudah tidak malu padaku. Sudah tidak menggantikanku.”
Dan di dalam hatiku, aku menjawab:
“Terima kasih juga. Karena menjadi bagian dari masa kecilku yang ajaib. Karena bersamamu, aku belajar bahwa tidak semua yang rusak harus dibuang. Ada yang cukup dirawat dan diterima.”
Keesokan harinya, aku memasukkan Lala ke dalam kotak kayu kecil bersama surat pendek:
"Untuk Lala, teman pertama dalam petualangan paling panjang: hidup."
Maaf kalau dulu sering aku tinggalkan. Tapi hari ini, kamu kembali. Dan kamu akan selalu tinggal di bagian kecil hatiku yang tak pernah dewasa."
Lalu aku menutup kotaknya. Meletakkannya di atas rak di ruang tamu. Bukan untuk dipamerkan, tapi sebagai pengingat kecil: bahwa kenangan tidak harus utuh untuk tetap indah.
Refleksi:
Kita semua punya "Lala" dalam hidup sesuatu yang sederhana, rusak, bahkan terlupakan.
Tapi saat kita mau menengoknya lagi, seringkali kita menemukan potongan dari diri kita yang dulu, yang masih utuh dalam cara paling jujur.