Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menyulam Kenangan Dirumah Lama
MENU
About Us  

Benda itu tergeletak di atas lemari tua, tersembunyi di antara setoples kosong dan kaleng biskuit Khong Guan yang isinya—seperti biasa—sudah berganti jadi benang jahit dan jarum pentul. Radio butut itu sudah lama tak bersuara, tapi keberadaannya tak pernah benar-benar hilang dari ingatanku. Warnanya sudah kusam, antenanya bengkok, dan salah satu tombolnya hilang. Tapi itulah radio yang dulu setiap pagi mengisi rumah ini dengan suara penyiar paruh baya yang menyebutkan suhu kota, lalu menyapa “pendengar setia di rumah-rumah penuh cinta”.

Dulu, setiap pagi, Ibu memutar radio itu sambil menyiapkan sarapan. Suara alat dapur bertaut dengan suara penyiar, lalu menyatu dengan bau nasi goreng dan minyak kayu putih. Sementara itu, aku dan Dira duduk di meja makan, kadang saling rebutan telur mata sapi, kadang pura-pura jadi komentator pertandingan sepak bola, padahal mulut masih penuh nasi.

Kini, radio itu diam. Tapi begitu aku sentuh tombol tuanya, memutar pelan, lalu mendengar suara kresek-kresek khas stasiun tak jelas—dadaku seketika menghangat. Dan ketika suara musik dari tahun entah-berapa mulai terdengar samar, aku menutup mata.

Aku merasa seperti sedang kembali ke pagi-pagi yang penuh cinta.

"Radio ini masih nyala, ternyata," kataku pelan.

Ayah dulu bilang, “Kalau radio itu mati total, artinya kenangan kita benar-benar sudah tamat.” Tapi tidak. Radio ini cuma diam sementara, seperti hati yang butuh disentuh dulu baru mau bicara.

Aku duduk bersila di lantai, radio itu kutaruh di depan. Tangan kananku memutar tombol volume, sementara tangan kiriku menahan napas. Stasiun yang tertangkap hanya sebagian, tapi lagu yang muncul... ah, lagu itu.

"Sepasang mata bola, dari balik jendela..."

Suara penyanyi perempuan dengan vibrato khas era 80-an mengalun lirih. Lagu itu dulu jadi favorit Ibu, dan meski aku dulu terlalu kecil untuk mengerti liriknya, melodi itu selalu berhasil membuat suasana rumah mendadak pelan.

Dulu, ketika Ibu mencuci piring di dapur, lagu itu akan ia nyanyikan pelan. Kadang sambil menggoyang pinggulnya sedikit, kadang sambil memegang gayung, seolah sedang tampil di atas panggung hiburan rakyat. Ayah akan tertawa dan pura-pura menyemangati, sementara aku dan Dira... entah kenapa, selalu ikut tertawa meski tak tahu lucunya di mana.

Kini, suara itu terdengar lagi, dan untuk pertama kalinya, aku merasa—rumah ini tidak sepenuhnya sepi.

Sore itu, aku menaruh radio di meja makan yang berdebu. Kupelankan volumenya, cukup agar rumah mendengarnya tanpa mengganggu. Ibu lewat membawa baskom cucian, menatapku, lalu berhenti.

“Itu... lagu Ibu, ya?” tanyanya, mata setengah menyipit.

Aku mengangguk. “Masih bisa nyala, Bu. Ajaib, ya.”

Ibu tersenyum, lalu duduk. Wajahnya tenang, seolah kenangan yang dulu ia kubur bersama cucian, kini muncul lagi dari lipatan baju.

“Kamu tahu nggak,” katanya, “Ayah kamu dulu nembak Ibu pakai lagu itu.”

Aku kaget. “Serius? Ayah ngungkapin cinta pakai radio?”

Ibu tertawa kecil. “Bukan. Tapi dia pinjam radio tetangganya, kasih kaset rekaman lagu itu, terus dia ngomong sebelum lagunya mulai. ‘Kalau kamu suka lagu ini, berarti kamu juga suka aku,’ katanya.”

Aku tertawa terpingkal. “Ih, gombal banget!”

“Tapi berhasil,” Ibu balas sambil tersipu. “Karena Ibu emang suka lagu itu. Dan... ya, akhirnya suka dia juga.”

Kami diam sebentar. Lagu berganti. Kali ini, sebuah lagu lama yang biasa diputar setiap malam minggu, sebelum acara sandiwara radio dimulai.

Suasana mendadak syahdu. Rumah tua itu seakan kembali ke masa di mana tak ada suara notifikasi ponsel, tak ada deadline, tak ada kecemasan yang bentuknya abstrak tapi melelahkan. Hanya ada musik, teh hangat, dan kursi rotan yang berdecit kalau diduduki.

Dira datang malam itu. Ia membawa martabak manis dan dua anaknya. Suaminya menyusul belakangan.

Begitu melihat radio itu di meja, ia berseru, “Eh, ini radio kita dulu, kan?! Yang kalau diputar keras sedikit langsung mati?”

Aku mengangguk. “Tapi sekarang masih hidup. Kayaknya dia tahu kita pulang.”

Kami bertiga duduk di ruang tengah, menyesap teh jahe buatan Ibu, dan membiarkan suara radio mengisi jeda obrolan kami.

Dira menatap radio itu lama. “Aku inget banget, dulu tiap malam kita rebutan denger sandiwara radio. Kamu sukanya cerita detektif, aku sukanya yang cinta-cintaan.”

Aku tertawa. “Dan akhirnya kita dengerin dua-duanya, sambil tidur-tiduran di karpet, terus ketiduran beneran.”

Radio itu bukan cuma benda. Ia semacam mesin waktu. Membawa kami kembali ke masa di mana suara bisa lebih berarti dari gambar, dan musik bisa menyembuhkan sepi yang tak kita pahami namanya.

Menjelang tengah malam, aku duduk sendiri di ruang tengah. Radio masih menyala pelan. Di luar, jangkrik bersahutan, dan bulan tergantung seperti bola lampu kecil di langit hitam.

Aku memandangi radio itu. Bayanganku memantul samar di permukaan kacanya yang retak. Dan di benakku, aku berkata:

“Kau tak punya layar sentuh,

tak bisa update aplikasi,

tapi kau bisa hidupkan kembali

suara-suara yang pernah membuat kami merasa pulang.”

Radio itu memang butut. Tapi justru karena itu, ia menjadi rumah bagi suara-suara yang nyaris hilang: tawa Ayah, nyanyian Ibu, celoteh masa kecil, dan denting waktu yang tak bisa diulang tapi masih bisa dikenang.

Dan malam itu, sebelum tidur, aku menulis satu kalimat di halaman buku catatanku:

“Kadang, lagu lama bisa lebih jujur dari semua pesan baru.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pulang Selalu Punya Cerita
1512      928     1     
Inspirational
Pulang Selalu Punya Cerita adalah kumpulan kisah tentang manusia-manusia yang mencoba kembalibukan hanya ke tempat, tapi ke rasa. Buku ini membawa pembaca menyusuri lorong-lorong memori, menghadirkan kembali aroma rumah yang pernah hilang, tawa yang sempat pecah lalu mengendap menjadi sepi, serta luka-luka kecil yang masih berdetak diam-diam di dada. Setiap bab dalam buku ini menyajikan fragme...
Under The Same Moon
394      262     4     
Short Story
Menunggumu adalah pekerjaan yang sudah bertahun-tahun kulakukan. Tanpa kepastian. Ketika suatu hari kepastian itu justru datang dari orang lain, kau tahu itu adalah keputusan paling berat untukku.
Be My Girlfriend?
17384      2710     1     
Fan Fiction
DO KYUNGSOO FANFICTION Untuk kamu, Walaupun kita hidup di dunia yang berbeda, Walaupun kita tinggal di negara yang berbeda, Walaupun kau hanya seorang fans dan aku idolamu, Aku akan tetap mencintaimu. - DKS "Two people don't have to be together right now, In a month, Or in a year. If those two people are meant to be, Then they will be together, Somehow at sometime in life&q...
Lilian,Gelasmu Terisi Setengah
853      566     2     
Short Story
\"Aku bahkan tidak dikenali oleh beberapa guru. Sekolah ini tidak lain adalah tempat mereka bersinar dan aku adalah bagian dari figuran. Sesuatu yang tidak terlihat\"
Anikala
1791      729     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Daniel : A Ruineed Soul
580      341     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
Aku Takut Tidur Malam Ini
274      175     0     
Short Story
Kukkuruyuk-kukuruyuk, tekek-tekek... suara kokok ayam yang diikuti suara tekek, binatang melata sebangsa cicak ini membangunkan Nadia. Nadia baru saja memejamkan mata, namun ia segera terbangun dengan raut wajah penuh kebingungan. Dilihat jam beker di dekat jam tidurnya. Jam itu menunjukkan 23.23 menjelang tengah malam. “Ternyata baru jam sebelas malam”, ucap Nadia. Di dalam hati ia juga bert...
Susahnya Jadi Badboy Tanggung
6153      1922     1     
Inspirational
Katanya anak bungsu itu selalu menemukan surga di rumahnya. Menjadi kesayangan, bisa bertingkah manja pada seluruh keluarga. Semua bisa berkata begitu karena kebanyakan anak bungsu adalah yang tersayang. Namun, tidak begitu dengan Darma Satya Renanda si bungsu dari tiga bersaudara ini harus berupaya lebih keras. Ia bahkan bertingkah semaunya untuk mendapat perhatian yang diinginkannya. Ap...
Heliofili
2793      1215     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO)
5888      1931     8     
Inspirational
(Keluarga/romansa) Ibuk menyuruhku selalu mengalah demi si Bungsu, menentang usaha makananku, sampai memaksaku melepas kisah percintaan pertamaku demi Kak Mala. Lama-lama, aku menjelma menjadi ikan paus yang meraup semua sampah uneg-uneg tanpa bisa aku keluarkan dengan bebas. Aku khawatir, semua sampah itu bakal meledak, bak perut ikan paus mati yang pecah di tengah laut. Apa aku ma...