Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kacamata Monita
MENU
About Us  

Ada huru-hara yang meriah di kelas Monita siang ini. Bel pulang baru saja berbunyi, murid-murid mulai mempersiapkan diri. Dua hari ke depan tanggal merah, dan berhubung sebentar lagi masa ujian kenaikan kelas, banyak yang memanfaatkan akhir pekan agak panjang ini untuk bersantai sejenak bersama teman sekelas, mengobrolkan rencana liburan, berkumpul dengan anggota ekskul, atau siap-siap berangkat ke kafe atau spot nongkrong lain. Monita tidak termasuk di antaranya. Dia tidak bisa bersantai saat ini. Begitu guru melangkah ke luar kelas, dengan gesit dia mengumpulkan semua alat tulis ke dalam tas.

"Mon, serius nggak ikut?" Di depannya, Risma masih berusaha membujuk.

Hari ini Risma, Fara, Kana, dan Jhoni sepakat akan pergi ke J-Fest bersama Delia dan Priska. Sebenarnya awalnya mereka tidak punya rencana kumpul bersama selain menonton pertandingan final kejuaraan pencak silat di hari Minggu. Namun, postingan suasana J-Fest di hari pertama di sosial media berhasil menggugah minat mereka. Sayang untuk dilewatkan.

"Tahun depan belum tentu bisa ke sana," bujuk Priska waktu pertama kali mencetuskan ide ini di obrolan grup.

Semua setuju, kecuali Monita. Dia punya rencana lain yang tidak bisa diganggu-gugat. "Sorry guys, nyokap gue udah nunggu di depan," katanya sambil beranjak dari kursi dan melangkah keluar kelas sebelum Risma menahannya lebih lama.

Di sepanjang koridor, Monita berjalan dengan langkah besar. Wajah-wajah berseri Anak Raja lalu-lalang di kiri-kanannya. Beberapa ada yang menyapa singkat, dan Monita membalas dengan anggukan cepat. Kevin juga sempat tersenyum dan melambaikan tangan padanya dari depan pintu kelas.

"Happy weekend, Vin!" Monita sempat berseru ringan saat melewatinya.

Saat di persimpangan koridor, dia sempat melirik ke arah kios fotokopi. Berbeda dengan hiruk-pikuk di sekeliling lapangan, kios itu tampak sepi dan lengang. Tempat itu memang cocok dinobatkan sebagai sudut terdamai di Raya Jaya. Spontan Monita tersenyum kecil. Besok-besok harus ke sana lagi, janjinya dalam hati, sebelum kios itu tampak semakin mengecil dari pandangannya.

"Whoops, Mon, mau ke mana? Buru-buru amat."

Di depan jalur keluar menuju gerbang, Monita berpapasan dengan Bendahara OSIS yang baru keluar dari ruang guru. Dia sempat memeriksa sekeliling Monita.

"Nggak bareng Delia? Katanya mau ke JFest?"

Entah bagaimana kabar itu sampai ke telinga Bendahara OSIS, Monita menahan diri untuk tidak mempermasalahkannya. Dia mengembangkan senyum formalitas dan menjawab cuek, "Kepo banget, kayak akun gosip," kemudian meninggalkan Bendahara OSIS yang masih tercengang di tempat.

Di luar, suasananya sama ramainya. Beberapa kendaraan parkir di pinggir jalan. Monita memeriksa kembali ponselnya. Ibunya bilang, dia menunggu di bawah pohon besar tepat di seberang kafe. Jam di ponsel sudah menunjukkan hampir setengah tiga. Monita bergegas.

"Kak Moni!"

Belum lagi melewati gerbang, hambatan kembali datang. Monita berbalik. Mauren setengah berlari menghampirinya, sambil tersenyum lebar. Terlalu ceria untuk diabaikan. Monita pun menyempatkan diri untuk meladeninya.

"Hei," sapanya seramah mungkin.

"Kebetulan ketemu Kakak di sini. Mauren mau kasih ini ke Kakak." Mauren membuka tas dan mencari-cari sesuatu dari dalam. Kertas berwarna putih bercorak pita kuning. Dia menyerahkan kertas itu dengan sungguh-sungguh.

"Apa ini?" Monita membaca sekilas. Ternyata undangan.

"Adik Mauren ulang tahun minggu depan. Dia bilang, mau undang Kak Moni. Kalau Kakak ada waktu—"

"Pasti dong ada waktu," jawab Monita optimis. "Gue pasti datang."

Mauren tersenyum lega.

"Tapi, boleh bawa teman, kan?" tanya Monita kemudian, sebenarnya itu hanya ide yang tiba-tiba muncul. Mungkin karena saat ini kepalanya penuh dengan orang itu.

"Oh. Boleh. Boleh, kok Kak."

"Sip kalau gitu. Makasih ya undangannya." Monita keluar gerbang dengan langkah ringan. Saat melewati Pak Satpam yang tersenyum padanya, dia membalas tanpa terpaksa.

Saat Monita masuk ke dalam mobil, ibunya langsung menyalakan mesin. "Ayo, pasang seatbelt," katanya sambil memeriksa spion kanan. Tak butuh waktu lama, mobil meluncur dengan kecepatan pasti.

🕶️

Gelanggang olahraga yang Monita kunjungi tidak terlalu besar, tapi jalur masuknya sedikit membingungkan. Jika tidak dibantu petugas, dia bisa saja tersesat ke area asrama atlet. Begitu masuk ke gelanggang, sayup-sayup pengumuman menyambutnya.

"Babak kedua dimulai."

Di dalam tidak terlalu ramai, tapi penyebaran penonton terkesan acak-acakan. Bukan hanya tribun, orang-orang di arena tanding juga tampak berkelompok-kelompok. Ada modul-modul matras yang membagi lantai menjadi tiga arena. Di setiap sisi arena dilengkapi meja dan kursi untuk juri. Monita mendekat ke barisan depan tribun sambil memeriksa ponsel, memastikan balasan pesan dari Amel yang diterimanya beberapa menit lalu.

Kita di barisan tiga paling depan, pas banget berhadapan dengan spanduk yang ada gambar walikota. Cari aja yang topi tosca.

Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat jelas gambar jumbo walikota yang tergantung di tribun seberang. Monita memeriksa tribun di kanan. Hanya beberapa barisan depan yang terisi penuh. Sementara dari tengah ke belakang hanya diisi dua-tiga pengunjung.

Monita maju, mencari topi tosca yang dimaksud Amel.

"Moni! Di sini!"

Seorang perempuan berambut panjang melambaikan tangan dari tribun di kanan. Itu Yuna, tapi kali ini tidak pakai bando silver. Amel yang duduk paling kiri juga ikut memberi sinyal. Di tengah-tengah, antara Yuna dan Amel, ada seseorang bertopi tosca. Monita ingat cara duduknya. Dia orang yang sama dengan yang memakai hoodie di perayaan ulang tahun Amel tempo hari.

"Tepat waktu lo, Mon. Udah mau giliran Aceng, nih," kata Yuna.

"Ayo, sini duduk." Amel menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahnya. Monita menurut.

Suara gong dan pengumuman, "Babak kedua selesai," membuat mereka berlima kembali memandang ke depan. Monita baru menyadari di arena bertanding, ada tiga pertandingan yang berjalan sekaligus. Di lingkaran tengah, dua perempuan sedang saling adu serangan. Di ujung ada dua laki-laki yang juga sedang duel. Sementara di arena paling dekat dengan mereka, kedua peserta sedang beristirahat di sudutnya masing-masing.

"Yang merah itu anak Merpati Putih juga. Satu kelompok latihan sama Aceng," kata Amel.

"Oh ya? Anak Raja juga?" Wajah peserta bersabuk merah yang Amel maksud itu terlihat asing. Monita tidak yakin pernah melihatnya di sekolah. Namun, di sudut itu, dia mengenal satu di antara dua pendamping. Dia alumni Raya Jaya sekaligus pelatih ekskul Merpati Putih.

"Bukan. Bukan dari sekolah. Kelompok latihan umum yang di pusat. Tapi, itu yang jadi pelatihnya alumni Raya Jaya. Kebetulan mereka satu kelompok latihan juga di luar."

Ada beberapa sekelompok orang berseragam Merpati Putih tanpa pelindung tubuh di tribun kiri yang menghadap mereka, tepat di sudut dekat dengan jalur keluar masuk pesilat yang akan dan habis bertanding. Dari kejauhan, usia mereka tampak beragam. Ada yang sepantaran Monita, ada yang lebih muda, ada juga yang lebih dewasa. Ketika gong berbunyi tanda babak ketiga dimulai, mereka saling bersorak memberikan dukungan.

Sementara itu, di tribun sudut sebelahnya, anggota ekskul Merpati Putih Raya Jaya memadati barisan paling depan. Satu dari mereka berbincang dengan beberapa peserta yang menunggu di sudut arena. Monita baru sadar, Aceng ada di sana. Dia memandang serius pertandingan yang tengah berlangsung, sesekali menanggapi teman di sebelahnya.

Monita mencoba ikut menyimak pertandingan itu. Di tengah arena, kedua peserta berhadapan, saling mengitari lawan, mencari celah untuk menyerang. Wasit mengikuti gerak mereka, terkadang mengangkat tangan, seperti memberi tanda.

Dia sempat menonton beberapa pertandingan pencak silat di YouTube, setidaknya bisa sedikit mengerti peraturan umum, meski belum sampai ke tahap paham betul dengan arti gerakan wasit.

Peserta biru sepertinya tampil lebih energik. Dia sering menyerang, dan beberapa kali berhasil menjatuhkan temannya Aceng. Setelah pertandingan berakhir, sudut biru pun keluar sebagai pemenang. Semoga saja itu bisa memengaruhi Aceng. Melihat teman kalah pasti tidak nyaman.

Ada dua pertandingan lain sebelum tiba giliran Aceng memasuki arena. Saat diperkenalkan, mereka memperagakan gerakan perguruan masing-masing. Dari tribun atas, ada kehebohan yang membuat Monita sontak mendongak.

"AYO ACENG SEMANGAT!" seru seseorang dengan kepercayaan diri penuh, membuat beberapa pengunjung ikut menoleh. Berkali-kali Monita mengedip-ngedipkan mata, memastikan yang barusan teriak itu bukan Delia. Tapi penglihatannya tidak salah. Delia berdiri sambil melompat-lompat kecil. Bukannya dia lagi di J-Fest?

"GO ACENG GO ACENG GO!" Risma, Priska, dan Fara ikut meramaikan. Jhoni di tengah-tengah, dibantu Kana dan Kevin yang berdiri di ujung kiri, juga membentangkan spanduk kecil, bertuliskan ACENG PASTI JUARA, ACENG IS THE BEST.

Kana bahkan sempat mengedipkan sebelah mata ke arahnya.

"Teman-teman lo, Mon?" Teman Amel yang bertopi tosca berceletuk sambil tersenyum miris.

Monita menunduk berharap tidak mengenali orang-orang itu. Namun, dari simbol sekolah saja sudah jelas mereka siswa Raya Jaya. Jadi dia hanya mengangguk pasrah.

Gong berbunyi. Monita mencoba fokus pada pertandingan. Gerombolan Delia juga sudah agak senyap.

Di tengah arena, Aceng dan lawannya bersiap. Mereka bersalaman, dan babak pertama pun dimulai.

Aceng mengenakan pelindung tubuh bersabuk merah, sementara lawannya biru. Postur mereka serupa, tinggi juga hampir seimbang. Namun, lawan Aceng tampak lebih kurus. Hanya sedikit.

Lawan Aceng menyerang pertama kali. Melepaskan tendangan ke arah dada. Monita sempat menutup mata, tidak tega menyaksikan Aceng terkena tendangan meski berpelindung lengkap. Namun, ternyata Aceng berhasil menangkis dan mengarahkan lawan ke kiri. Lalu kembali ke posisi siap. Tidak lama, lawannya menyerang lagi. Pukulannya mengarah ke kiri bawah. Aceng mengelak tapi limbung ke kanan dan mencoba membalas dari bawah.

"Gunting! Gunting!" Topi Tosca berseru rendah. Sepertinya dia cukup paham dengan permainan ini. Seakan bisa mendengar masukan itu, kaki Aceng dengan cergas mengunci kaki kanan lawan dan lawan pun terjatuh.

Wasit melerai.

Monita masih menyesuaikan diri dengan suara tubuh lawan yang terbanting ke matras. Untung saja tidak ada adegan tonjok-tonjokan seperti di pertandingan tinju.

Saat kedua pesilat berdiri, wasit menaikkan tangan kanannya ke arah Aceng. Tangan kiri ke bawah mengarah ke lawan.

"Aceng dapat poin."

Berita bagus dari Amel membuat Monita sedikit bernapas lega.

Aceng dan lawan kembali saling berhadapan di tengah area. Wasit memberi aba-aba dan mereka kembali mencoba menunggu kesempatan menyerang. Aceng ke kanan, lawan ke kiri.

Kali ini tidak lama, Aceng menyerang dengan kaki, ke arah rusuk kanan. Lawan menangkap dan hendak menjatuhkan Aceng, tapi Aceng cepat menarik kembali kakinya.

"Seharusnya dapat poin karena tangkisannya telat," komentar Topi Toska.

Aceng kembali mendekat dan masih menyasar kanan lawan.

Lawan coba menyerang, dengan pukulan ke dada, Aceng mengelak cepat ke kanan, tapi kakinya sigap menyerang ke sisi kiri lawan, membuat lawan kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kakinya masih di dekat Aceng dan mengunci kaki kiri Aceng, sayangnya Aceng bertahan beberapa detik dan wasit melerai.

Poin lagi untuk Aceng. Monita semakin optimis. Kehebohan dari atas kembali terdengar.

Dua baris di depan Monita, rombongan lawan ikut menyemangati temannya.

Selanjutnya lawan berhasil melakukan tendangan ke arah dada kiri Aceng. Aceng terhuyung mundur, tapi dengan sigap dia kembali bangkit dan melancarkan serangan balasan. Pertandingan semakin sengit. Aceng dan lawan saling jual beli serangan, tak ada yang mau mengalah. Bukan hanya gerombolan Delia, tribun sebelah kiri pun semakin riuh, terutama teman satu ekskul Merpati Putih, melihat Aceng berhasil melakukan kuncian pada lawan. Lawan berusaha melepaskan diri, tapi Aceng semakin memperkuat kunciannya.

Gong berbunyi. Babak pertama berakhir.

Aceng bergerak ke sudut merah. Dia didampingi guru olahraga dan pelatih yang sama yang tadi mendampingi temannya. Setelah menenggak air minum, sambil mendengar arahan pelatih, dia sempat melirik ke tribun atas, ke gerombolan Jhoni dan lainnya. Kemudian tatapannya jatuh ke barisan Monita dan Amel. Monita sempat tersenyum, tapi dia tidak yakin Aceng menyadari itu, karena dia kembali menurunkan pandangan untuk menanggapi pelatih.

Satu menit kemudian gong kembali berbunyi. Babak kedua dimulai. Di babak ini, lawan Aceng agak membara. Dia menyerang dengan ambisius. Aceng sigap menghindar. Gerakannya tidak kalah lincah dan penuh tenaga. Saat lawan menendang ke arah perut, Aceng menahan dan ingin menggulingkannya, tapi lawan menyerang dari dalam, kakinya yang bebas ditekuk ke dalam kaki Aceng, tangan kanan mengarah ke bahu, kemudian tubuh Aceng terbanting, dengan lawan menindihnya. Aceng terkunci. Wasit melerai.

Sorak gembira dari tribun depan menggelora.

Aceng bangkit, kembali ke tengah arena. Monita khawatir dia cedera. Tangan kiri wasit terangkat mengarah ke lawan. Poin untuk lawan.

"Semangat Aceng!" Delia dan lainnya tidak ingin menyerah.

Aceng dan lawannya kembali bersiap, saling berhadapan mencari celah. Lawannya masih agresif, mencoba menyasar ke bagian perut. Aceng membacanya cepat dan dengan gesit mengelak, menunduk, dan menjaga jarak.

"Serang dari jauh, Dude." Topi Toska berkomentar.

Aceng mengarah ke kanan lawan. Lawan mendekat hendak memberi serangan ke rusuk kiri, tapi Aceng sigap menahan sambil membungkuk ke kanan kemudian dengan cekatan badannya kembali bertumpu ke kiri, bersamaan dengan itu, kaki kanannya menyerang dengan gerakan setengah lingkaran. Lawan terjatuh ke belakang.

Tepuk tangan riuh kembali terdengar. Monita tersenyum lebar.

Sisa babak kedua dihabiskan dengan saling elak dan serang, tanpa ada yang terjatuh.

Di babak ketiga, pertandingan semakin sengit. Lawan tampak ingin sekali mengejar poin. Dia berkali-kali berusaha mendorong Aceng keluar arena. Sampai-sampai Aceng kecolongan sekali. Saat menghindar, satu kakinya keluar lingkaran terluar. Wasit sempat memberi teguran.

Tetap tenang, Ceng, Monita berharap Aceng bisa mendengarnya.

Aceng tampak mengambil napas panjang sebelum wasit kembali memberi aba-aba. Lawan kembali menyudutkannya, Aceng cepat mengelak ke depan, mereka tukar posisi. Saat lawan berbalik, Aceng menyerang dari sisi kiri, lawan menahan dengan siku, tapi Aceng sudah mengunci kakinya dan mantap menjatuhkannya.

Tribun Delia semakin semarak.

Aceng dan lawan kembali berkumpul ke tengah. Mereka kembali saling coba-coba serangan. Lawannya sempat menyerang, tapi agak lemah. Antara tenaganya sudah terkuras habis atau terlalu berhati-hati. Monita menanyakan waktu ke Amel.

"Masih ada sekitar setengah menit," katanya.

Aceng menendang dari depan, lawan hendak menangkis, tapi Aceng kembali menarik tendangan selayaknya tadi itu cuma gertakan. Dia kembali menyerang dari kiri. Sayangnya lawan berhasil menahan serangan itu dan menjatuhkan Aceng dengan lututnya, tetapi saat hendak jatuh, Aceng mengunci kaki lawan dan lawan ikut terjatuh, Aceng segera bangun.

Pada detik-detik terakhir, lawan masih berusaha menyerang. Aceng lebih banyak menangkis dan mengelak hingga gong berbunyi, tanda pertandingan usai. Kelima juri mengangkat bendera merah. Aceng melaju ke babak final.

Tepuk tangan dan sorak riang bergelora saat Aceng memberi hormat pada juri dan meninggalkan arena.

"Aceng! Aceng! Aceng!" Tribun Delia yang paling gaduh.

"Yah, setidaknya mereka nggak malu-malu amat," celetuk Topi Toska.

Amel tertawa ringan.

Arena pertandingan kembali diisi dengan peserta selanjutnya. Monita tidak terlalu memperhatikan. Dia diam-diam mengamati pergerakan Aceng. Setelah meninggalkan arena, Aceng masuk ke pintu di belakang, sepertinya mengarah ruang khusus untuk atlet atau pelatih. Tidak lama, dia kembali keluar, sudah tidak lagi mengenakan alat pelindung. Teman-temannya menyambut antusias, beberapa berjabat tangan. Mereka mengobrol sebentar, hingga Aceng berbalik, naik ke tribun dan menghampiri mereka.

"Yo, Ceng!" Topi Toska berdiri, mengajak Aceng tos. "Banyak juga fans lo, ya."

Aceng berdecak, tapi tetap melambai singkat ke rombongan Delia. "Ide siapa?" tanyanya pada Monita.

"Nggak tau. Padahal mereka bilangnya mau ke J-Fest,"

"Oh, berarti tadi nggak datang bareng?"

Monita menggeleng. "Tadi diantar Mami."

"Ehem, ehem," Yuna menginterupsi. Tangannya mengelus-elus tenggorokan. "Haus nih haus. Beli minum dulu, yok."

"Oke, oke." Amel tertawa geli. "Kami tinggal sebentar, ya, Mon," katanya sebelum membawa teman-temannya keluar gelanggang. Aceng sempat berdecak singkat saat Amel memberi tinjuan kecil ke lengannya.

"Kakak-kakak memang gitu," katanya sambil duduk di bangku yang tadi ditempati Amel.

"Tadi kena banting-banting gitu, nggak sakit?"

"Sakit lah." Aceng tampak serius. Monita sampai ingin memastikan apakah Aceng perlu tenaga medis, tapi senyum Aceng buru-buru mengembang.

"Tenang. Nggak sampe patah tulang."

"Tapi lo tadi keren. Serius." Monita mengacungkan kedua jempol.

"Memangnya ngerti?" sahut Aceng.

"Dikit-dikit, dijelasin Amel."

Ada batuk-batuk kecil dari tribun Delia yang jelas sekali disengaja. Aceng melirik ke atas lagi.

"Mau gabung ke sana?" tanya Monita.

Aceng bersandar ke punggung kursi dan mengamati pertandingan yang sudah memasuki babak kedua. "Kita nonton ini dulu."

Monita tersenyum kecil, ikut bersandar dan menyaksikan pesilat biru menjatuhkan pesilat merah. Aceng memintanya memilih jagoan. Dia akhirnya mendukung pesilat biru hanya karena warna rambutnya beda dari yang lain. Sementara Aceng sengaja memilih pesilat merah karena menurutnya tidak seru kalau jagoan mereka sama.

Sepanjang babak kedua, sekali-kali Aceng menjelaskan peraturan dan jurus yang digunakan. Bagi Monita, Aceng bukan sekadar menjelaskan pencak silat, tetapi juga menerangkan lebih dalam bagian dari kehidupannya. Menyaksikan Aceng bertanding rasanya seperti berdiri di tepi lingkaran. Menonton pertandingan bersama Aceng terasa seperti menjelajahi isi lingkaran tersebut.

"Jadi gimana? Suka dengan hadiahnya?" tanya Aceng ketika babak kedua berakhir. Kedua pesilat beristirahat di sudut masing-masing.

Monita menoleh untuk memastikan seberapa serius dia harus menjawab. Tampaknya lumayan serius karena Aceng sudah tidak lagi bersandar di bangku, tatapannya hangat tapi ada seberkas antisipasi. Sejenak Monita memikirkan bagian mana yang ingin Aceng dengar. Apakah Aceng tahu yang dia dapatkan hari ini bukan hanya pengalaman pertama kali masuk ke gelanggang olahraga dan menonton pertandingan pencak silat?

Masalahnya, apa pun yang Aceng inginkan, seberapa berani Monita mengakuinya?

Beberapa detik mereka berdiskusi tanpa suara. Cakap-cakap penonton di sekitar mendadak kehilangan frekuensi.

Monita mengangguk sambil berdeham kecil, "Suka," lalu buru-buru memalingkan wajah, menatap lurus ke arena tanding. Pertandingan masih terjeda, jadi tidak ada yang benar-benar bisa diamati. "Tapi kenapa awalnya lo bilang hari Minggu? Bukan Sabtu?" tanyanya kemudian, setengah untuk menjawab rasa penasaran, setengah lagi untuk menyelamatkan diri sendiri.

Aceng kembali bersandar. Monita tidak berani menoleh lagi untuk melihat apakah dia tersenyum atau kecewa dengan jawaban barusan. "Biar nggak sama dengan J-Fest. Sebenarnya hari apa pun nggak masalah," kata Aceng. Dari suaranya Monita yakin dia tidak kecewa.

"Oh, jadi memang udah yakin banget ya bakal masuk final?"

"Nggak juga. Menang kalah, masih bisa nonton sama-sama, kan?"

Monita tidak menjawab karena terlalu sibuk meminimalkan senyum. Untungnya, bunyi gong dan ponsel menyelamatkannya. Babak ketiga di mulai, dan ponselnya menampilkan pesan masuk dari ibunya.

Ternyata ada di ruang penyimpanan salon.

Bersamaan dengan teks, ada foto terlampir. Monita membuka foto itu dan tertawa geli.

"Akhirnya ketemu juga," katanya sambil memperlihatkan foto itu ke Aceng.

Sebuah kado kecil sebesar kotak pensil, dibungkus kertas biru tua berpita emas. Ada tulisan dengan tinta putih di sisi kanannya.

Untuk Monita,

Selamat ulang tahun. Semoga kejutan selanjutnya lebih indah.

 

🕶️

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Jikan no Masuku: Hogosha
4013      1408     2     
Mystery
Jikan no Masuku: Hogosha (The Mask of Time: The Guardian) Pada awalnya Yuua hanya berniat kalau dirinya datang ke sebuah sekolah asrama untuk menyembuhkan diri atas penawaran sepupunya, Shin. Dia tidak tahu alasan lain si sepupu walau dirinya sedikit curiga di awal. Meski begitu ia ingin menunjukkan pada Shin, bahwa dirinya bisa lebih berani untuk bersosialisasi dan bertemu banyak orang kede...
BUNGA DESEMBER
541      374     0     
Short Story
Sebuah cerita tentang bunga.
Bittersweet My Betty La Fea
4698      1485     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...
Coneflower
4227      1701     3     
True Story
Coneflower (echinacea) atau bunga kerucut dikaitkan dengan kesehatan, kekuatan, dan penyembuhan. Oleh karenanya, coneflower bermakna agar lekas sembuh. Kemudian dapat mencerahkan hari seseorang saat sembuh. Saat diberikan sebagai hadiah, coneflower akan berkata, "Aku harap kamu merasa lebih baik." — — — Violin, gadis anti-sosial yang baru saja masuk di lingkungan SMA. Dia ber...
MAHAR UNTUK FATIMAH
562      419     2     
Short Story
Cerita tentang perjuangan cinta seorang pria dengan menciptakan sebuah buku khusus untuk wanita tersebut demi membuktikan bahwa dia sangat mencintainya.
Secuil Senyum Gadis Kampung Belakang
465      356     0     
Short Story
Senyumnya begitu indah dan tak terganti. Begitu indahnya hingga tak bisa hilang dalam memoriku. Sayang aku belum bernai menemuinya dan bertanya siapa namanya.
SALAH ANTAR, ALAMAKK!!
850      600     3     
Short Story
EMMA MERASA BOSAN DAN MULAI MEMESAN SESUATU TAPI BERAKHIR TIDAK SEMESTINYA
Melihat Tanpamu
151      122     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
CATCH MY HEART
2831      1101     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
CHANGE
482      344     0     
Short Story
Di suatu zaman di mana kuda dan panah masih menguasai dunia. Dimana peri-peri masih tak malu untuk bergaul dengan manusia. Masa kejayaan para dewa serta masa dimana kesaktian para penyihir masih terlihat sangat nyata dan diakui orang-orang. Di waktu itulah legenda tentang naga dan ksatria mencapai puncak kejayaannya. Pada masa itu terdapat suatu kerajaan makmur yang dipimpin oleh raja dan rat...