Karena kelasnya sedang diinvasi, Monita memutuskan duduk di bangku kayu depan kios, mencermati pesan rahasia yang tersembunyi di kertas fotokopian itu.
tidak per lu di cari c ari, gumamnya pelan.
k ad o nya bu kan apa ap a
Monita membalik ke lembar kedua.
apa p un isi ny a
dan si apa pu n yang be ri kan ,
or a ng o ran g di sek i tar mu yan g l eb i h pe nt in g
Monita membalik lagi. Lembar ketiga. Ada lima pertanyaan uraian.
1. Jelaskan apa itu momen inersia dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Kotak jawaban di bawah soal lumayan besar, tapi jawaban yang tertulis di dalamnya cukup singkat.
Hai, Moni. Kado itu bukan apa-apa harusnya. Tapi maaf ya jadi bikin banyak masalah.
Pertanyaan kedua. Apa itu getaran, gelombang, dan bunyi? Jelaskan perbedaan, jenis, dan contohnya dalam kehidupan sehari-hari.
Semua berawal dari permintaan Dirga buat bantu ajak Kana gabung ke panitia prom night. Waktu itu udah dekat hari ulang tahun kamu. Yang aku tau, Kana sempat desak Dirga untuk datang, biar kamu nggak kecewa. Kata Dirga, kalau Kana setuju gabung panitia, dia bakal datang ke ultah kamu. Menurutku itu bukan tawaran, tapi ancaman. Aku nggak setuju.
Nomor tiga. Uraikan aplikasi Prinsip Torricelli dan Hukum Bernoulli pada tangki bocor dengan sederhana. Berikan ilustrasi pendukung jika diperlukan.
Kali ini jawabannya cukup panjang dengan tulisan kecil-kecil sampai ke tepi bawah kertas.
Karena Jhoni juga nggak mau ikut campur, Dirga tiba-tiba punya ide lain. Dia janji bakal datang ke ultah kamu asal aku mau "didekatin" ke kamu. Katanya buat pengalihan. Entah apa yang mau dialihkan, aku kurang ngerti. Intinya, kalau gagal jadi penyanyi, kayaknya dia cocok jadi tukang jodoh-jodohin orang. Karena peluang dan resikonya kecil, aku iya iya aja demi kebaikan bersama. Dirga suruh aku bawa kado, terserah isinya apa, yang penting tujuannya supaya kita "lebih kenal". Aku cuma kepikiran kasih undangan kejuaraan ini (brosurnya di belakang). Menurutku, semakin nggak menarik, kemungkinan gagalnya makin besar. Yang penting Dirga datang, Kana nggak kena teror, kamu nggak nangis-nangis di pesta.
Halaman selanjutnya. Soal keempat. Jelaskan perbedaan perpindahan panas secara radiasi dan konveksi.
Tapi aneh ya kenyataannya. Bisa sampai di sini juga akhirnya. Wajar kalau kamu kesal karena harusnya aku jujur di awal. Tapi, waktu kamu bilang kadonya hilang, aku sempat pikir, mungkin ini pertanda seharusnya aku nggak ikut campur. Jadi waktu itu aku sarankan jujur aja ke Dirga, biar kamu tau kebenarannya dari dia langsung.
Pertanyaan terakhir. Diketahui zat cair memiliki massa jenis .... Monita langsung membaca jawabannya.
Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin ada alasan lain di balik keputusan itu. Mungkin sebenarnya aku juga takut, Mungkin aku takut kamu bakal musuhin aku begitu tau soal kado itu. Mungkin aku takut "bantuin Dirga dan Kana" sebenarnya cuma alasan. Karena baru kemarin aku sadar, waktu aku datang ke pesta ulang tahun kamu, waktu Dirga kasih kado yang aku bungkus rapi kemarin malamnya, aku tahu selain peluang gagal, ada juga peluang berhasil, meski cuma 0,000001%. dan malam itu, walau hanya sedetik, aku sempat bayangin apa jadinya kalau 0,000001% itu terjadi. Jadi, aku minta maaf, aku nggak jujur soal kado itu sebenarnya bukan cuma karena nggak mau ikut campur, tapi juga untuk menyelamatkan diri sendiri. Sekali lagi, aku minta maaf.
Monita terpaku lama, membaca kembali jawaban di soal terakhir, sampai bel sekolah berdering panjang. Dua pengunjung di belakangnya bergegas meninggalkan kios, membuat Monita spontan mengikut. Namun, di persimpangan koridor langkahnya melambat. Dia meraih ponsel dari dalam saku rok dan menghubungi seseorang.
Setelah nada sambung berbunyi dua kali, seseorang di seberang menjawab, "Pagi."
"Hai—maksudnya, pagi juga." Monita berjalan pelan menuju kelasnya. Ada Anak Raja yang datang dari arah berlawanan, melewatinya setengah berlari. Mereka hampir bertubrukan bahu. Sepertinya dia anak kelas sepuluh, terburu-buru karena kelas mereka di ujung. Monita merasa dia juga harus bergegas.
"Semoga menang hari ini," kata Monita
"Makasih. Nggak bolos lagi?"
"Diseret paksa Mami tadi sampe gerbang."
"Bagus. Memang harus gitu."
Monita tersenyum kecil. Satu kelas lagi, dia akan tiba di kelasnya. "Sabtu jam berapa mulainya?"
"Harusnya jam dua."
"Oke. Good luck, Peserta 49."
Aceng terdiam sejenak, kemudian terdengar tawa kecil. Nadanya tidak bahagia, lebih seperti menertawakan diri sendiri. "Udah ketahuan rupanya," katanya.
Monita telah sampai di depan kelasnya. Masih terdengar sayup-sayup obrolan dari dalam, pertanda guru belum datang. Sebelum masuk melewati pintu dan menutup panggilan, dia sempat berucap optimis, "Sabtu gue bakal datang. Pasti."
🕶️
Begitu Monita masuk ke dalam kelas, Risma dan Fara menoleh khawatir. Meja di depan mereka kosong. Jhoni tidak ada di bangkunya. Monita menghampiri meja itu, tetapi bukan untuk menempati bangku Aceng seperti rencana semula. Dia menyandang tasnya dan mengumpulkan buku dan kotak pensil dari atas meja, kemudian berpindah kembali ke meja di belakang Risma, tempat duduk Monita yang semestinya.
Bukan hanya Risma dan Fara yang saling melempar tatapan ganjil, beberapa teman sekelas lainnya pun ikut melirik tertarik. Kana juga sontak mengangkat kepala saat Monita mendaratkan buku-bukunya ke atas meja mereka. Namun, dia kembali menyibukkan diri dengan membuka-buka buku pelajaran.
Di bangkunya, Monita tidak lantas hanya duduk manis menunggu kedatangan guru. Dia membuka tas dan merogoh saku terdepan, lalu mengeluarkan dua carik kertas berwarna hitam. Kertas itu diletakkan di hadapan Kana.
Kana memeriksa ragu. Kertas itu berisi puisi anonim yang pernah ditempel di mading.
"Gue minta dari Mauren. Harusnya lo simpan," ucap Monita pelan, diam-diam mengamati reaksi Kana. Dari dekat, baru terlihat jelas di balik kacamata kotak Kana, kedua matanya tampak lelah dan pudar.
Kana masih enggan menyentuh kertas puisi itu, tapi kali ini dia mulai berani menatap Monita langsung. "Mon, gue minta maaf," ucapnya lirih.
Menyadari Kana mulai berkaca-kaca, Monita mendekat dan berbisik, "Jangan nangis. Nanti dikira drama."
"Gue beneran minta maaf."
"Iya, iya, gue maafin," jawab Monita cepat. Namun Kana masih menatapnya dengan penuh rasa bersalah. Apa dia tidak percaya bisa langsung dimaafkan tanpa disalah-salahkan terlebih dahulu? Monita pun mengubah jawabannya. "Oke. Gue maafin, tapi dengan satu syarat."
Cara itu agak manjur. Kana tampak mengangguk penuh tekad.
"Lo balik ke panitia prom night, ya?"
"Tapi ...."
Monita menggenggam lengan Kana dengan halus.
"Gue memang kecewa, tapi bukan karena hubungan lo dengan Dirga. Gue kecewa karena sahabat terdekat gue berkorban untuk jagain perasaan gue. Kedengarannya heroik banget, tapi lo tau apa yang gue rasakan? Gue merasa lo nggak percaya sama gue. Lo nggak percaya kalau gue bisa paham sama perasaan lo. Lo nggak percaya gue bisa terima kenyataan. Padahal, Na, gue nggak selemah itu."
Kana menunduk tanpa kata. Monita semakin memperkukuh genggamannya.
"Mulai sekarang, kalau lo suka atau ingin sesuatu, nggak perlu jadikan apa pun dan siapa pun sebagai alasan yang bikin lo ragu. Oke?"
"Loh, Moni? Nggak jadi duduk di sini?" Jhoni yang baru datang tiba-tiba menginterupsi dari depan kelas.
Risma mencebik kesal dan memberi kode penuh peringatan, "Apaan sih, datang-datang merusak ketentraman orang aja. Miss Mia mana? Nggak ngajar?"
Jhoni duduk di bangkunya. Alih-alih menjawab pertanyaan Risma, dengan nada yang dibuat sepilu mungkin, dia meratapi nasib. "Yah, batal duduk sama cewek hari ini."
"Udah guys. Nggak usah dipedulikan jones yang satu itu." Risma sempat memberi pesan sebelum kembali saling lempar omelan dengan Jhoni.
Kana dan Monita saling pandang, bertanya-tanya sudah sejauh mana Risma sejak tadi menguping. Akhirnya mereka hanya tertawa ringan saja.
"Jadi, yang tadi, oke?" Monita menutup kesepakatan mereka.
Kana mengangguk, "Gue nggak bakal bikin lo kecewa lagi."
Monita ikut tersenyum.
"Tapi, Mon, sebenarnya masih ada lagi yang mesti gue sampaikan," tambah Kana tiba-tiba.
Berapa banyak lagi rahasia yang belum terungkap? Monita menelengkan kepalanya menanti kejutan selanjutnya.
"Soal kado yang hilang itu. Sebenarnya malam itu gue sempat pindahin kadonya."
"Maksudnya?"
"Waktu itu, gue sempat khawatir karena Delia pernah punya rencana untuk minta lo buka kado itu di lokasi pesta. Katanya, kalau on the spot lebih berkesan, gitu, tapi gue takut dia punya niat lain."
"Lo udah tau isi kado itu apa?"
Kana menggeleng. "Nggak. Gue nggak tau. Tapi gue tau kado Delia bukan sekadar jam tangan. Gue nggak bisa kasih detailnya—"
"Dia udah cerita kok."
"Serius?"
Monita hanya mengangguk singkat dan mengangkat kedua bahu.
"Karena itu, gue khawatir dia cuma mau mastiin kalau dia nggak sendirian," lanjut Kana. "Gue juga punya firasat Dirga ngelakuin hal yang sama buat lo. Jadi gue mindahin kado lo ke tas bawaan lo biar lo bukanya di rumah aja. Gue juga coba ngalihin perhatian Delia ke delivery kolase foto."
Beberapa benang merah mulai terhubung di kepala Monita. Semua semakin masuk akal. Namun masih ada yang belum terpecahkan. "Tas yang mana? Gue udah geledah semua barang bawaan, tetap nggak ketemu."
"Good morning, everyone!"
Guru bahasa Inggris mereka masuk ke dalam kelas, menunda Kana menjawab pertanyaan Monita. Mereka ikut menyapa serempak bersama teman sekelas lainnya. Saat mereka diperintahkan untuk membuka halaman tertentu, suara orang-orang membuka buku, bunyi kertas dibolak-balik, dan gerakan lainnya sempat memenuhi ruang kelas. Kana segera menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
"Gue nggak terlalu ingat karena malam-malam. Bentuknya kayak tas kain gitu, isinya ada tabung, kayaknya tabung spray. Oh iya, sama ada kotak makeup," jelasnya dengan gerakan bibir seminim mungkin.
Keterangan itu sudah lebih dari cukup. Monita yakin seratus persen, tas yang dimaksud adalah tas milik Tante Yola.
🕶️