Saat Monita mengikuti arah perginya Delia, dia menemukan dua fakta. Pertama, Aceng tidak menyusul—yang membuat dia berasumsi rencananya berantakan. Kerja sama yang dia nanti-nantikan tidak akan pernah terjadi. Yang kedua, meskipun sudah melangkah hampir ke parkiran kafe, batang hidung Delia tidak tampak sama sekali.
Apa mungkin Delia mendadak pulang? Monita menggeleng ragu. Rasanya kurang masuk akal mengingat bagaimana Delia bersikeras datang ke rumahnya hanya untuk memastikan dia tidak ikut-ikutan mangkir seperti Kana. Lagi pula acara live music belum dimulai. Dirga bahkan belum kelihatan. Mungkin dia sudah salah duga. Bisa jadi Delia sebenarnya memang kembali ke mejanya semula, hanya saja sempat salah belok atau lewat jalur yang berbeda.
Monita ingin memastikan. Namun, jika kembali bergabung ke meja Priska dan lainnya, apa yang akan dia lakukan dan katakan di sana? Bagaimana jika Delia sebenarnya mencarinya di toilet, tapi tidak menemukannya? Bagaimana dia menjelaskan dari mana saja dirinya sejak tadi? Dia juga tidak tahu harus bersikap senormal apa di depan Aceng.
Ketika mempertimbangkan langkah yang harus diambil selanjutnya, seseorang dengan wajah familiar berjalan terburu-buru dari area depan panggung yang dipenuhi beberapa bean bag menuju parkiran. Meskipun agak menunduk, tubuh jangkung dan kacamata tebal yang dia kenakan membuat Monita semakin mengenali siapa cowok itu.
"Kevin?"
Kevin mengangkat wajahnya, dan refleks mundur kemudian menoleh ke belakang, kanan, dan kiri. Seolah mencari-cari seseorang, atau mungkin memastikan tidak ada orang lain di dekatnya.
Karena Kevin tidak menjawab, monita kembali berkata, "Mau balik?"
Kevin mengangguk, masih tidak bersuara. Dia juga masih sesekali memeriksa sekitarnya. Monita tidak terlalu kenal tabiat Kevin, tapi dua kali bertemu dengannya, dia bisa menyadari ada yang tidak beres. Kevin sedang gelisah, bukan gugup seperti yang biasa terlihat.
Sebisa mungkin Monita bertanya santai, "Kok cepat banget? Udah jumpa sama Delia?" sambil menunjuk ke arah ujung kafe, tempat teman-temannya berkumpul.
Kevin kembali mengangguk, tapi kemudian menggeleng cepat. "Itu .... Aku ...."
Dugaannya semakin kuat. Bisa jadi Delia tadi menghilang untuk bertemu Kevin. Tapi, untuk apa? Dan bagaimana membuat Kevin bersuara tanpa terkesan memaksa?
Monita mengambil napas dalam dan memasang senyum ceria. "Oh iya, by the way, gue udah buka kado dari lo. Thanks, ya. Kapan-kapan kayaknya kita bisa ngobrol bareng. Lo temenan sama Delia, kan? Berarti lo teman gue juga," katanya sambil menepuk-nepuk pundak Kevin dengan ramah.
Meski sebenarnya dia belum membuka kado itu, perkataan manisnya tampak berhasil. Kevin balas tersenyum dengan canggung dan mengangguk malu.
"Moni? Kok di luar?"
Monita menoleh ke asal suara. Ternyata Risma baru datang bersama seorang lainnya. Setahu Monita, dia bendahara OSIS sekaligus teman Risma di klub olimpiade matematika.
"Oh, gue baru dari toilet tadi, terus tiba-tiba ada yang nelepon. Karena di dalam sinyalnya jelek, jadi gue ke sini." Alasan itu mengalir begitu saja, bahkan tanpa perlu berpikir keras. Monita sempat ngeri sendiri mendapati dirinya semakin mahir bersandiwara.
Kevin memanfaatkan kesempatan ini untuk undur diri, dan sementara Monita tidak punya alasan untuk ikutan angkat kaki, dia pun terpaksa mengikuti Risma masuk ke dalam kafe, kembali bergabung dengan Priska dan lainnya.
Di sana, dia mendapati Delia duduk santai sambil menikmati minumannya. Selain itu, Aceng juga sudah kembali ke kursinya semula. Tidak ada yang mempermasalahkan kepergiannya tadi, atau sebenarnya mereka tidak terlalu peduli?
Tidak lama setelah Monita mengambil tempat duduk di sebelah Delia, terdengar sapaan dari atas panggung.
Priska yang baru menyeruput milkshake cokelat memiringkan badannya agar bisa leluasa menyaksikan panggung mini dengan dekorasi mirip taman kecil di belakangnya. "Wah, udah mulai, nih. Semoga Dirga yang pertama tampil."
Monita ikut memantau. Di samping panggung, tampak Dirga sedang mengobrol serius dengan seorang wanita muda berkostum serba hitam. Meskipun riasannya terkesan gothic, perempuan itu tetap terlihat segar. Mungkin karena anting oranye mencolok di kedua telinganya, yang anehnya tetap tampak serasi dengan busana serba hitamnya.
Sehabis MC membuka acara live music dan memperkenalkan beberapa tamu yang akan tampil, Dirga naik ke panggung diiringi tepuk tangan antusias pengunjung.
Ini kedua kalinya Monita menyaksikan langsung penampilan Dirga. Anehnya api semangat di dalam dirinya seolah kehabisan sumbu. Bahkan dia tidak ikut-ikutan mengeluarkan ponsel untuk merekam dan memamerkan momen itu di media sosial. Monita mencoba memaknai perasaannya. Apakah Dirga tidak menarik lagi? Tidak. Cowok itu tetap terlihat menawan dan layak untuk diidolakan. Mungkin masalahnya ada pada dirinya. Seolah ada bayangan hitam yang sedang dia pelihara, yang semakin lama semakin membesar, dan bayangan itu malah membuat dirinya tampak semakin kerdil. Apakah ini yang namanya rasa bersalah? Sampai-sampai dia merasa tidak lagi layak untuk menyukai seseorang.
"Lagu ini buat teman gue." Dirga memulai kata-kata pembuka. Dia duduk di kursi tinggi di tengah panggung sambil memangku gitar terbaiknya. Jhoni dan beberapa anak cowok di meja sebelah mulai bersorak gembira. Dirga sempat membalas mereka dengan anggukan kecil.
"Gue harap semua yang terbaik buat lo dan hari-hari bersamanya," lanjut Dirga diikuti petikan intro lagu Hari Bersamanya dari Sheila on 7.
Sebelum bait pertama dinyanyikan, sebelum pengunjung ikut bernyanyi bersama, Monita bisa melihat dengan jelas Dirga sempat melontarkan senyum optimis ke arah Aceng.
Monita menoleh sekilas, memeriksa apakah ada reaksi berarti dari Aceng. Namun Aceng hanya mengangguk-angguk kecil mengikuti irama lagu sambil bersandar di kursi dan bersedekap dengan senyum datar. Jika teman yang dimaksud Dirga adalah Aceng, seharusnya ekspresinya lebih positif dari itu.
"Tantenya Dirga yang mana, ya?" Bendahara OSIS, yang duduk di ujung meja dekat meja para cowok, bertanya sambil melirik-lirik sekitar.
"Itu, yang baru masuk," jawab Jhoni sambil menunjuk ke arah wanita eksentrik berpenampilan hitam-oranye yang baru saja melewati pintu area indoor. Pantas saja sejak tadi Dirga terus mengikuti wanita itu.
"Dengar-dengar, keluarga tantenya itu orang penting di industri musik." Priska menambahkan.
"Wah, pantes nurun ke Dirga," balas Bendahara OSIS, lalu kembali menikmati lagu yang tersisa.
Dirga hanya membawakan satu lagu. Meskipun beberapa pengunjung meminta tambahan, dia segera turun tanpa kompromi. Sejenak Monita merasa Dirga sedang memburu waktu. Dan dugaannya terbukti karena tak lama setelah masuk ke area indoor, Dirga menghampiri mereka dengan raut menyesal.
"Guys, thanks udah datang, tapi sorry banget gue nggak bisa temani kalian, mendadak ada yang mesti gue urus," katanya sambil melirik jam tangannya.
"What's up, Dir? Something bad happened? Lo baik-baik aja, kan?" Delia bertanya cemas.
"Gue baik-baik aja. Cuma ada yang perlu gue pastiin. Kalo cepat kelar, gue bakal balik ke sini, tapi gue nggak bisa janji."
"Ya udah, tenang aja, Dir. Kita ngerti, kok. Semoga urusan lo cepat kelar," ucap Jhoni diikuti anggukan dari teman-teman lainnya.
Begitu Dirga pergi, Bendahara OSIS menggoda Delia. "Perhatian banget, Mbak," katanya.
Delia tidak menanggapi dengan serius. Dia hanya membalas dengan candaan-candaan kecil sambil mencomot kentang goreng dari piring, seolah menikmati momen meskipun jelas Dirga tidak ada di sini. Sementara Monita hanya termenung mengasihani diri sendiri. Bukan dia yang menanyakan apakah Dirga ada masalah. Bukan dia yang memberikan dukungan. Dia hanya bisa diam membiarkan Dirga pergi, tanpa berani mengucapkan satu kata pun. Perlahan, Monita mempertanyakan, yang dia pedulikan sebenarnya apa? Apakah dia peduli dengan Dirga, atau hanya pada kadonya?
"Mon, lo mau pesan apa?"
Monita tersentak saat Risma mendorong buku menu ke hadapannya. Dia bahkan baru sadar mereka belum memesan apa pun. Tanpa benar-benar memeriksa menu, dia membalas, "samain aja," kemudian kembali berusaha berkonsentrasi pada penampilan di panggung.
Sebuah band lokal meneruskan kemeriahan kafe. Mereka membawakan dua lagu orisinal dan beberapa permintaan dari pengunjung.
Sementara itu, topik obrolan di meja mereka lompat-lompat tak menentu. Sesekali membahas kegiatan OSIS, atau gosip tentang anak populer di kelas 3, kadang-kadang diselingi mengulas makanan yang mereka santap, dan seterusnya. Monita berusaha pasif, hanya menanggapi sekadarnya saja sampai seorang cewek menambah keramaian di antara mereka.
Mauren datang dengan tampang seolah telah terlambat dua jam mata pelajaran. Begitu duduk di sebelah Ikmal, dia berbisik pelan dan Ikmal menjawab dengan tenang.
Posisi Monita agak jauh dari mereka, tapi dia bisa menangkap Mauren sedang bertanya apakah dia ketinggalan penampilan Dirga. Saat Ikmal mengangguk, dia sempat menangkap raut kecewa di wajah Mauren. Bisa dibilang, kecewa yang berlebihan. Monita menebak-nebak, apakah Mauren juga mengidolakan Dirga?
Sambil memikirkan itu, obrolan antara Delia dan Bendahara OSIS mengusik perhatiannya.
"Wah, cerdik juga kalian, ya, ngerjainnya barengan."
Ternyata mereka sedang membicarakan tugas TIK.
"Well, nggak dilarang juga, kan? Lagian kami beda kelas."
"Ekskul di sekolah juga terbatas. Pasti bakal ada yang sama," sahut Risma.
"Tapi, gue bisa bayangin serempong apa kerja bareng serame itu." Si Bendahara OSIS kembali berkomentar. "Apalagi, yah ... no offense, ya ... Dirga ikutan, pasti bakal makin rame," lanjutnya sambil menatap Delia dan Monita penuh arti.
Monita ingin menyanggah, tapi Delia lebih cepat memberi tanggapan.
"I'm not sure what you mean. Tapi, sebenarnya gue punya alasan lain. Akhir-akhir ini kan Monita dapat lampu hijau dari Dirga, ya gue cuma mau bantuin mereka biar bisa lebih dekat aja."
"Lampu hijau?"
Entah lampu hijau apa yang dimaksud Delia, itu sama sekali tidak terdengar menyenangkan di telinganya. Segera Monita membalas Delia dengan tatapan tidak bersahabat.
Sayangnya Delia tidak menggubris dan malah semakin menjadi-jadi. "Oh, no .... Gue lupa, lo pasti nggak tau kalau Momon dapat kado sweet seventeen dari Dirga yang katanya spesial banget."
"Serius? Wah, gue jadi penasaran."
"Jangan harap Momon bakal ngasih tau gitu aja. Kami aja sampe sekarang masih bertanya-tanya." Priska ikut menanggapi.
Tatapan ingin tahu Bendahara OSIS semakin menyerbu. Kepalan tangan Monita di bawah meja semakin mengeras. Berkali-kali dia menahan diri untuk tidak terpancing.
"Beneran nggak mau kasih clue dikit, Mon?" tanya Bendahara OSIS tanpa ragu seolah mereka sudah berteman sejak lama.
Ada tiga orang anak jurnalistik di antara mereka: Jhoni, Ikmal, dan Mauren. Namun, yang paling bersemangat mengorek informasi di antara mereka hanya si Bendahara OSIS. Monita tidak terlalu mengenalnya, dia hanya memahami cewek itu bernyali besar. Dulu, saat mereka masih kelas satu, dia sempat menciptakan kehebohan di Raya Jaya dengan melawan senior yang kelewat otoriter. Sebenarnya Monita sempat kagum dengan keberanian itu. Namun, sekarang dia lebih terlihat seperti cewek kepo yang tidak kenal tempat.
"Mau tau aja. Bukan urusan lo juga," jawab Monita dengan senyum secuek mungkin.
Namun, serangan lanjutan kembali dijatuhkan Delia. "Clue yang kita tau sih, mereka janjian di tanggal tertentu."
"Janjian? Ke mana?"
Delia mengangkat bahu dengan wajah polos. "Cuma mereka yang tau."
Tidak ada cara untuk menghentikannya selain menyingkir. Jika tidak, Monita akan terus diserbu dengan opini-opini menjatuhkan.
"Guys, gue ke toilet dulu."
"Loh, tadi baru ke toilet, sekarang ke toilet lagi?" Priska bertanya heran.
"Iya, soalnya duduk diam di sini bikin gue mual."
Tanpa menunggu respons apa pun, Monita segera meninggalkan teman-temannya, tidak peduli jika Bendahara OSIS dan lainnya menganggapnya terlalu norak. Dia ingin Delia sadar bahwa dia tidak akan diam saja disudutkan seperti tadi.
Delia jelas sengaja. Dia jelas memang berniat menyebarkan rumor. Semakin banyak orang yang penasaran dengan kado itu, semakin banyak tekanan yang harus Monita hadapi.
Monita tidak mengarah ke toilet, melainkan ke meja kasir untuk membayar pesanannya. Dia memutuskan untuk pulang tanpa pamit. Setelah menerima struk pembayaran, Monita menunggu taksi online di depan kafe.
Langit sudah menggelap, tapi kendaraan yang melintas di hadapannya semakin ramai. Dari tempatnya berdiri, Monita bisa mendengar sayup-sayup lagu berirama lembut dari dalam kafe. Gemerlap lampu-lampu di belakangnya pun semakin menambahkan kesan bahwa dia semakin jauh dari sukacita. Ibaratnya, dia bukan termasuk bagian dari lingkaran yang ada di soal PR Matematika beberapa hari lalu, bahkan beririsan pun tidak.
Saat kembali larut merenungi nasibnya, suara familiar membuyarkan lamunannya.
"Nih, pesanan lo. Sayang kalau nggak dimakan. Burgernya enak."
Monita mendapati Aceng berdiri di belakangnya sambil menyerahkan bungkusan plastik berwarna ungu. Dia menerimanya sambil tersenyum kecil.
"Thanks," ucap Monita tulus. Dia memang kecewa Aceng menolak membantunya, tapi saat ini dia butuh teman, dan satu-satunya orang yang bisa dianggap sebagai teman adalah Aceng.
"Lo tau dari mana gue di sini?" Monita bertanya sambil kembali memeriksa pergerakan taksi online.
"Tadi kelihatan, pas balik dari toilet," jawab Aceng santai, kemudian ikut menunggu di samping Monita. Lama mereka hanya berdiri diam mengamati kendaraan yang melintas. Itu bukan tempat yang ideal. Mereka hanya ditemani penerangan seadanya yang berasal dari plang nama kafe dan dua lampu temaram. Meski begitu, Monita sedikit bersyukur, setidaknya Aceng tidak harus melihat jelas wajah putus-asanya.
"Delia itu licik banget. Dia sengaja bikin Bendahara OSIS ikutan kepoin urusan gue." Monita mulai mengeluarkan unek-unek. "Lo ikutan dengar tadi, kan?"
"Sedikit."
"Jelas banget, dia itu mau bikin gue tertekan sampe gue muak dan akhirnya mau nggak mau gue ngaku soal kado itu."
Aceng yang hanya mendengarkan tanpa memotong membuat Monita semakin terhanyut.
"Gue tau gue salah udah bohong. Tapi, kan, semisalnya kado itu nggak hilang, gue tetap berhak nggak ngumbar-ngumbar isinya ke semua orang. Delia juga nggak berhak maksa-maksa gue buat kasih tau isi kado itu." Kali ini suara Monita mulai sumbang, disisipi isak kecil-kecilan yang tidak bisa dia tahan lagi.
Karena Aceng masih tidak memberi respons, Monita menoleh ke arah cowok itu, yang ternyata sedang menatapnya.
Menyadari itu tangis Monita pecah.
"Eh, eh, kok jadi nangis?" Aceng melirik sekitar, memastikan tidak ada orang yang mencurigai mereka.
"Lo kenapa lihatin gue? Lo lagi coba baca pikiran gue buat mastiin gue sedih beneran atau cuma pura-pura?"
"Hah?"
"Gue benar-benar kesal, marah, sedih sama semua or—"
"Udah, udah, tenang dulu. Nggak usah pikir ke mana-mana."
Saat Aceng menepuk-nepuk pundaknya, Monita teringat hari olahraga waktu mereka praktik lompat jauh. Itu adalah pertama kali pikirannya berputar-putar dipenuhi ketakutan, kecurigaan, dan rasa bersalah, lalu Aceng mengingatkannya untuk kembali ke realita, memperbaiki masalah kecil yang sebenarnya ada di depan matanya. Sekarang rasanya masih sama dan semakin jelas, tepukan itu seperti sebuah ajakan untuk bangun dari mimpi buruk.
Setelah Monita berhasil menenangkan diri, Aceng tiba-tiba berkata, "Dulu gue pernah tanya, gimana kalau isi kado itu nggak sesuai harapan lo."
Monita mengangguk sekali, meminta Aceng melanjutkan.
"Sekarang gue ganti pertanyaannya. Gimana kalau kado itu bukan hal yang bisa lo pamerin ke siapa pun?"
Pertanyaan Aceng menghantam ego Monita habis-habisan. Monita tidak bisa menampik, dari awal dia tidak bisa berkata jujur karena berharap ada hal spesial yang bisa dia pamerkan ke Delia. Saat merencanakan pesta ulang tahun pun, tujuan utamanya adalah mengalahkan Delia. Kado Dirga hanyalah alat untuk memenangkan permainan mereka.
Namun, di sisi lain, semua petunjuk dari Dirga, semua senyum penuh makna yang dia berikan, menumbuhkan minatnya yang lain. Bukan hanya ingin membuktikan diri di depan Delia, Monita juga ingin mendapatkan apa yang memang seharusnya dia dapatkan.
"Kado itu untuk gue, udah jadi milik gue, jadi gue berhak cari tahu sampai ketemu. Bisa dipamerin atau enggak, itu urusan belakangan." Monita menjawab jujur diikuti notifikasi singkat dari ponselnya. Taksi online sudah hampir tiba. Monita melihat-lihat sekitar, memeriksa plat mobil yang lewat. Setelah mobil yang dimaksud berhenti di depan mereka, dia segera pamit, "Gue balik. Makasih udah ikut nungguin. Sama ini." Monita mengangkat sebentar pesanannya.
Aceng mengangguk dan tersenyum kecil.
Ketika Monita hendak membuka pintu, dia mendengar Aceng memanggil namanya.
"Moni."
Monita menoleh. "Kenapa?"
Setelah ragu-ragu sejenak, Aceng pun berkata, "Hari Minggu terakhir bulan ini, nomor 49."
Dahi Monita mengerut heran.
"Isi kadonya. Hari Minggu terakhir bulan ini, nomor 49."
Monita ingin bertanya maksudnya, tapi kaca jendela mobil turun perlahan. Lalu terdengar suara dari bangku pengemudi, "Dek, jadi naik, nggak?"
🕶️