Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kacamata Monita
MENU
About Us  

Monita termangu-mangu di depan lemari pakaiannya. Janji temu ke kafe tantenya Dirga tinggal dua jam lagi, tapi saat ini dia belum memutuskan akan mengenakan apa. Pagi tadi, Delia sempat mengirim beberapa foto suasana kafe ke obrolan grup.

Gue lihat di IG, konsepnya semi-outdoor gitu. So, jangan sampai salah outfit, Girls.

Seharusnya dia bisa dengan mudah memilih salah satu terusan berwarna biru kesukaannya, tapi keraguan demi keraguan membuatnya terus bergeming. Bagaimana cara untuk tampil maksimal di depan Dirga, tapi tetap terlihat biasa saja di mata Aceng?

Bukannya terlalu percaya diri. Tapi, ajakan Aceng kemarin di depan gerai nasi goreng terdengar seperti ajakan kencan di telinga Monita. Meskipun setelah itu Aceng melontarkan klarifikasi, "Cuma bercanda," dan terus-terusan menahan senyum geli, tetap saja dia tidak bisa meredakan kepanikannya.

Bagaimana jika nanti mereka kebetulan mengenakan pakaian berwarna serupa? Bagaimana jika Aceng merasa penampilannya terlalu sungguh-sungguh? Tapi, jika tidak tampil maksimal, bagaimana dia bisa membuat Dirga terkesan?

Sementara Monita masih belum bisa memutuskan antara terusan favorit atau celana denim, notifikasi ponselnya di tempat tidur berdering berkali-kali.

Delia: Girls, udah pada ready? Ada yang mau bareng?

Priska: Yuhuuu.... Gue langsung cus aja, tapi agak sorean. Kebetulan banget, lokasinya dekat butik nyokap. Kalian gimana? @Kana @Monita

Delia: Girls?? @Kana @Monita

Delia: Helloooo spadaaa @Kana @Monita

Monita membaca semua rentetan notifikasi, tanpa benar-benar membuka obrolan. Sesungguhnya, dia masih bingung apa yang harus dilakukan di kafe nanti. Bahkan, dia masih belum tahu apakah Aceng akan membantunya. Aceng memang setuju datang ke kafe, tapi, untuk urusan baca pikiran, belum ada konfirmasi yang jelas. Namun, jika bukan untuk menjalankan misi yang dia tawarkan, apa lagi tujuan mereka? Tidak mungkin sekadar nongkrong bareng, kan?

Setelah mensenyapkan nada dering agar fokusnya tidak teralih, tiba-tiba pintu kamar Monita diketuk dan ibunya muncul.

"Moni, nih, Tante Yola video call." Ibunya tanpa ragu menghampirinya di ranjang dan mengarahkan ponsel ke wajahnya.

Monita menggerutu dalam hati. Kenapa mesti di momen-momen genting seperti ini? Terpaksa Monita menjawab sambil berusaha tetap sopan. "Hai, Tante. Gimana Aussie? Lancar di sana?"

Wajah Tante Yola, adik satu-satu ibunya, memenuhi layar ponsel. Kemarin dia dan anaknya, Sisy, berangkat ke Melbourne untuk mengurus keperluan Sisy yang akan sekolah di sana awal tahun depan. Sebenarnya Sisy sudah mulai masuk SMA tahun ini. Namun, katanya dia kurang cocok dengan lingkungan sekolahnya dan meminta pindah ke Melbourne, tinggal bersama saudara ayahnya.

"Ini kita baru aja selesai dinner. Rencananya besok baru mulai urus keperluan Sisy. Sayang banget, hari ini hujan terus. Jadi belum sempat pergi-pergi." Kemudian tantenya menyorot suasana di sekitar rumah sambil menjelaskan betapa bagus pemandangan di luar jendela saat sore hari dari lantai dua. Monita jadi merasa sedang menonton video room tour.

"Tadi tante udah kirim sebagian foto-fotonya juga ke mami-mu." Kamera kembali menyorot wajah tantenya. "Oh iya, gimana kado yang hilang tempo hari? Udah ketemu?"

Saat menyadari kadonya hilang, Tante Yola jadi orang yang paling direpotkan. Waktu itu, Monita bersikeras memaksa tantenya untuk memeriksa semua barang bawaan, soalnya Tante Yola ikut mendampinginya sebelum dan sepanjang pesta, terutama untuk masalah riasan dan busana. Dia ingin memastikan apakah ada kado yang ikut terbawa bersama mereka, tidak peduli dengan waktu yang hampir menunjukkan tengah malam. Untung saja ibunya segera mengambil alih dan mendinginkan situasi.

"Belum ketemu, Tan, tapi udah nggak pa-pa, kok," jawab Monita dengan nada santai yang dibuat-buat.

"Nanti Tante bawain oleh-oleh, deh, buat gantiin kado kamu yang hilang itu. Oke?"

Sejak kapan kado bisa diganti? Tawaran tantenya terdengar sangat tidak masuk akal. Namun, Monita segera mengiyakan agar obrolan tidak semakin panjang.

Sayangnya, tantenya malah bertanya lagi, "Loh, kamu lagi pilih-pilih baju? Mau ke mana?" sambil memperhatikan lemari pakaian yang terbuka lebar di belakang Monita.

"Oh, iya. Katanya kamu ada janji jam 6. Kok belum siap-siap? Nanti keburu macet, loh." Ibu Monita memeriksa jam dinding. Sudah hampir setengah lima.

"Waduh, biasanya nih, yang gini-gini, pasti bingung mau pakai apa. Hayo, mau janjian sama siapa?" Tantenya di layar ponsel mulai menggoda.

Monita berdecak frustrasi. "Sama Kana, Delia, Priska kok," elaknya. Lalu kemudian dia mendapat ide. "Jadi, kita mau ke acara grand opening kafe tantenya teman satu sekolah. Tante ada usul, nggak? Acaranya santai, sih. Konsepnya semi-outdoor gitu," lanjutnya sambil mengarahkan kamera ponsel ke lemari pakaian.

Dari semua saudara ibunya, Tante Yola yang paling akrab dengan Monita. Bukan karena tinggal di kota yang sama, tapi juga karena Monita merasa tantenya itu bisa memahami seleranya. Waktu Monita merencanakan pesta ulang tahunnya, dia lebih sering berkonsultasi dengan Tante Yola ketimbang dengan orang tuanya. Meski terkadang agak pengatur, setidaknya dia suka bantu-bantu.

"Hm .... Kayaknya yang casual-casual aja. Nah, dress yang di kiri itu kayaknya cocok ...."

Selagi tantenya memberikan saran, bel rumah mereka berbunyi. Ibunya segera keluar untuk memeriksa dan tidak lama kemudian kembali dengan kabar mengejutkan.

"Buruan. Delia udah datang, tuh."

Monita buru-buru menyudahi panggilan video dan memeriksa ponselnya. Ternyata ada begitu banyak notifikasi yang memenuhi layar. Mulai dari beberapa panggilan tak terjawab dari Delia hingga belasan pesan mengabarkan dia sedang dalam perjalanan ke rumah Monita. Selain itu, obrolan grup juga dipenuhi dengan pesan baru. Yang terakhir dari Kana.

Sorry genks, mendadak banget gue mesti temenin nyokap kondangan. Have fun buat kalian ya!

🕶️

Pada akhirnya Monita memilih mengenakan kaus putih dan celana denim. Sesampainya di kafe, jumlah Anak Raja yang terlihat ternyata melebihi perkiraannya. Alih-alih pembukaan cabang baru, suasananya lebih terlihat seperti acara temu ramah Raya Jaya. Tidak hanya anak prom night dan teman seangkatannya, beberapa wajah familiar dari kelas XII juga ikut meramaikan area luar dekat panggung kecil. Sehebat itukah daya tarik Dirga? Atau kafe ini memang seterkenal itu?

Datang berdua, hanya Monita dan Delia, termasuk kejadian langka bagi Anak Raja. Saat melewati beberapa meja di area depan, tidak sedikit yang menunjukkan tampang tertarik sekaligus penuh duga. Semakin banyak yang menatapnya, semakin cemas Monita akan nasibnya. Apa yang harus dia lakukan pertama kali saat bertemu Aceng?

Agak di ujung kafe, Priska melambaikan tangan memanggil mereka. Dia tidak sendirian. Ada beberapa anak prom night dan teman sekelas, termasuk Jhoni, Ikmal, dan Aceng. Meski berdekatan, meja mereka tetap terpisah. Satu meja ditempati anak perempuan, satunya lagi dipenuhi anak laki-laki.

Hal pertama yang Monita periksa adalah warna baju Aceng. Untung saja dia mengenakan sweatshirt hitam. Meskipun begitu, kepanikan tetap tidak enyah dari kepalanya, apalagi saat Aceng ikut-ikutan memperhatikan kedatangan mereka. Monita percaya, jantungnya berdebar lebih cepat karena dia tidak punya rencana yang jelas, bukan karena terpengaruh dengan sirat mata Aceng yang entah kenapa kini terasa semakin terbuka. Seolah di sana ada pintu yang bisa diakses kapan saja dia mau.

Perasaan itu membuatnya tidak nyaman. Dia harus memastikan sekarang juga.

Sebelum mencapai meja Priska dan lainnya, Monita menghentikan langkah dan berkata, "Gue ke toilet dulu."

Tanpa menunggu persetujuan Delia, dia langsung berbelok masuk ke area dalam kafe dan mengikuti tanda panah yang mengarah ke toilet. Di sana Monita mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan untuk Aceng.

Karena lo di sini, berarti lo mau bantuin gue, kan?

Satu menit, dua menit, tidak ada balasan.

Dia mengetik kembali.

Ini Moni.

Di depan wastafel, Monita menanti dengan cemas. Tetap tidak ada balasan.

Ceng.

Aceeeeng....

Masih belum ada balasan juga.

Apakah harus ditelepon? Tapi, bagaimana kalau teman-temannya curiga?

Saat hendak kembali mengirim pesan, status di balon obrolan menunjukkan Aceng sedang mengetik. Monita berangsur-angsur mulai bernapas lega.

Aceng: Gue di depan toilet nih.

Seketika Monita kembali panik, dan semakin panik karena mendapati dirinya memeriksa penampilannya di cermin. Kenapa harus menyusul, sih? Monita menggerutu dalam hati. Sebisa mungkin dia mengatur napas dan mengucapkan mantra "ini demi kado Dirga" berkali-kali, hingga memantapkan diri untuk melangkah keluar.

Aceng menunggu di depan lorong toilet dan mengajaknya duduk di sudut kafe. Area dalam saat ini lumayan sepi, mungkin karena posisinya kurang strategis untuk menyaksikan penampilan di panggung luar. Meskipun meja mereka cukup jauh dari pintu masuk, Monita tetap sesekali melirik waspada, berharap tidak ada pengunjung yang mengenali mereka.

Mereka berdua tidak memesan apa pun. Jadi, sebelum diusir, Monita segera mengambil inisiatif untuk memulai perundingan.

"Lo ke sini karena mau bantuin gue, kan?"

Aceng tampak menimbang-nimbang dulu sebelum menjawab, "Kalau lo biarin aja kado itu hilang, bisa nggak?"

Monita dengan cepat menolak. "Mana mungkin. Ujung-ujungnya Dirga bakal tahu karena gue nggak datang di tempat atau waktu yang sesuai dengan isi kado itu."

"Bilang aja lupa."

Sebisa mungkin Monita menahan diri untuk tidak tersinggung. Dia merasa dikhianati. Jadi, selama ini, di mata Aceng masalahnya terlalu sepele? Kalau begitu, kenapa tidak menolak jauh-jauh hari saja?

"Gue nggak bisa baca pikiran orang-orang yang datang ke pesta lo." Aceng kembali bersuara.

"Kan ada opsi kedua," balas Monita cepat. "Gue cuma butuh tanggal dan tempat yang Dirga maksud."

Aceng lagi-lagi memperlihatkan tampang tidak setuju. Monita berusaha memahami, apa-apa saja yang jadi bahan pertimbangan cowok itu. Apakah dia butuh imbalan?

"Gue bayar, deh."

Namun, tidak sampai satu detik setelah mengatakan itu, Monita langsung meralat, "Sorry, lupain aja."

Untung saja tidak ada tanda-tanda kecewa di wajah Aceng. Dia tampak bersandar penuh di punggung sofa. Satu telunjuknya mengetuk-ngetuk pelan permukaan meja. Kakinya sedikit bergerak-gerak pelan, tapi Monita sangat yakin itu tidak ada sangkut-pautnya dengan irama musik yang terdengar samar dari luar kafe. Aceng sedang gugup. Bahkan sejak tadi matanya lebih sering menunduk.

Apa sebenarnya yang ingin dia sampaikan?

"Ada lagi yang mau diobrolin?" tanya Monita hati-hati. Dia memeriksa jam di ponsel. Sudah pukul enam lebih sepuluh menit. Jika mereka tidak segera kembali, Delia pasti akan menyusul. Monita semakin waspada. Perhatiannya terbagi antara menunggu jawaban Aceng dan memeriksa pintu masuk.

Dugaannya ternyata tidak melenceng. Saat Aceng hendak mengatakan sesuatu, ekor matanya menangkap Delia melangkah masuk ke dalam kafe. Seketika jantung Monita berdetak kejar-kejaran.

Ke mana dia harus sembunyi? Meja mereka tidak berkolong. Toilet terlalu jauh, dan sudah pasti dia akan ketahuan.

Dengan opsi yang terlalu minim, Monita bergerak cepat dan berpindah ke sebelah Aceng. Mereka berdua kini sama-sama duduk membelakangi pintu masuk.

Sebelum Aceng sempat protes, Monita menunduk sambil bertopang dagu dan berbisik, "Jangan lihat ke belakang. Ada Delia."

Aceng mengikuti perintah Monita meski kentara sekali belum bisa meredakan syok di wajahnya. Dari jarak sedekat itu, Monita menyadari Aceng tampak jauh berbeda dari yang selama ini dia kenal. Entah ke mana sikap tenang dan tak mudah goyah yang sering dia tunjukkan. Aceng yang ada di hadapannya kali ini terlihat lebih manusiawi dan sangat masuk akal.

"Dia ke toilet." Aceng ikut berbisik.

"Serius?" Monita mencoba melirik ke arah yang Aceng maksud. Sekilas dia melihat Delia masuk ke lorong toilet sambil menempelkan ponsel di telinganya.

Jangan-jangan Delia mencarinya.

Buru-buru Monita mengeluarkan ponselnya, memastikannya masih dalam mode senyap. Delia bisa jadi akan mencoba menghubungi begitu tidak menemukannya di toilet. Namun, tidak ada panggilan masuk, bahkan tidak ada pesan dari Delia ataupun Priska.

Tidak selang berapa lama, Delia kembali dengan langkah cepat, tanpa memperhatikan sekitar.

Ada yang aneh. Gerak-gerik Delia tampak tidak wajar.

Kecurigaan Monita semakin bertambah saat melihat Delia berbelok ke arah yang berlawanan dari meja yang semula ditempati Priska dan lainnya.

"Kayaknya ada yang dia sembunyiin," katanya.

Aceng hanya menaikkan kedua alisnya.

"Gue harus pastiin." Monita pun beranjak untuk menyusul Delia.

🕶️

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Another Word
623      362     2     
Short Story
Undangan pernikahan datang, dari pujaan hati yang telah lama kamu harap. Berikan satu kata untuk menggambarkannya selain galau.
KESEMPATAN PERTAMA
533      370     4     
Short Story
Dan, hari ini berakhir dengan air mata. Namun, semua belum terlambat. Masih ada hari esok...
Kama Labda
537      334     2     
Romance
Kirana tak pernah menyangka bahwa ia bisa berada di jaman dimana Majapahit masih menguasai Nusantara. Semua berawal saat gadis gothic di bsekolahnya yang mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan seseorang dari masa lalu. Dan entah bagaimana, semua ramalan yang dikatakannya menjadi kenyataan! Kirana dipertemukan dengan seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah raja. Akankah Kirana kemba...
Renata Keyla
6642      1535     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
One Milligram's Love
848      662     45     
Inspirational
Satu keluarga ribut mendapati Mili Gram ketahuan berpacaran dengan cowok chindo nonmuslim, Layden Giovani. Keluarga Mili menentang keras dan memaksa gadis itu untuk putus segera. Hanya saja, baik Mili maupun Layden bersikukuh mempertahankan hubungan mereka. Keduanya tak peduli dengan pandangan teman, keluarga, bahkan Tuhan masing-masing. Hingga kemudian, satu tragedi menimpa hidup mereka. Layden...
My Rival Was Crazy
133      116     0     
Romance
Setelah terlahir kedunia ini, Syakia sudah memiliki musuh yang sangat sulit untuk dikalahkan. Musuh itu entah kenapa selalu mendapatkan nilai yang sangat bagus baik di bidang akademi, seni maupun olahraga, sehingga membuat Syakia bertanya-tanya apakah musuhnya itu seorang monster atau protagonist yang selalu beregresi seperti di novel-novel yang pernah dia baca?. Namun, seiring dengan berjalannya...
Army of Angels: The Dark Side
34234      5970     25     
Fantasy
Genre : Adventure, Romance, Fantasy, War, kingdom, action, magic. ~Sinopsis ~ Takdir. Sebuah kata yang menyiratkan sesuatu yang sudah ditentukan. Namun, apa yang sebenarnya kata ''Takdir'' itu inginkan denganku? Karir militer yang telah susah payah ku rajut sepotong demi sepotong hancur karena sebuah takdir bernama "kematian" Dikehidupan keduaku pun takdir kembali mempermai...
BUNGA DESEMBER
534      370     0     
Short Story
Sebuah cerita tentang bunga.
IMPIANKU
27120      4123     14     
Mystery
Deskripsi Setiap manusia pasti memiliki sebuah impian, dan berusaha untuk mewujudkan impiannya itu. Walau terkadang suka terjebak dengan apa yang diusahakan dalam menggapai impian tersebut. Begitu pun yang dialami oleh Satria, dalam usaha mewujudkan segala impiannya, sebagai anak Broken Home. Walau keadaan keluarganya hancur karena keegoisan sang ayah. Satria mencoba mencari jati dirinya,...
Anne\'s Daffodil
1098      419     3     
Romance
A glimpse of her heart.