Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kacamata Monita
MENU
About Us  

Setelah acara potong kue, Dirga mulai membawakan dua buah lagu; satu bertema ulang tahun, satu lagi berlirik romantis—yang kini masuk playlist favorit Monita.

Selama ini, Monita hanya pernah melihat penampilan Dirga melalui layar ponsel. Ternyata rasanya jauh berbeda saat menyaksikannya secara langsung. Dunia di sekitarnya mendadak buyar. Dia tidak lagi peduli dengan tamu lainnya. Perhatiannya hanya berpusat pada Dirga dan segala hal yang cowok itu tampilkan.

Meski hanya ditemani gitar dan mikrofon, penampilan Dirga membuat pesta Monita jadi tambah meriah, seolah sedang ada pertunjukan pensi tahunan. Momen itu berhasil direkam kemudian diunggah ke akun Instagram Monita, dan sampai sekarang nyaris mendapatkan seribu tayangan. Masalahnya, Monita tidak punya waktu untuk berbesar hati karena, tidak lama setelah mengunggah video itu, ada pesan masuk tak-terduga.

 

✉️ Dirga: Moni, gimana kadonya? Senin kita obrolin di sekolah, ya?

 

Monita pikir, Dirga akan memberinya barang yang sedang digemari cewek-cewek Raya Jaya, misalnya dompet mini yang hanya muat beberapa kartu dan foto idola, atau sepasang kaus kaki sebetis berwarna nyentrik. Jika dugaannya benar, untuk apa Dirga mengajaknya mengobrol? Tidak mungkin, kan, untuk menentukan hari apa Monita memakai kaus kaki atau membahas garansi dompet?

"Kamu masih bete sama kado yang hilang itu?" Dalam perjalanan menuju sekolah, dari balik kemudi, ibu Monita seakan menyadari kegundahannya.

"Moni cuma heran aja, Mi. Kenapa bisa hilang, dan kenapa harus kado itu yang hilang?"

"Apa Mami tanya lagi ke Tante Yola? Buat mastiin, mungkin memang terbawa sama mereka."

"Bukannya kemarin udah dicari, tapi nggak ketemu juga?"

"Iya, sih. Tapi Mami nggak yakin udah dicari benar-benar. Soalnya, kan, tantemu itu lagi sibuk nyiapin keperluan Sisy yang mau sekolah di Aussie."

"Yah, Mami .... Sama adek sendiri ragu."

Ibu Monita tertawa kecil sambil menepikan mobil di depan Raya Jaya. Dari balik jendela, Monita mencoba menakar seberapa banyak kemungkinan buruk yang tersimpan di balik gedung itu. Padahal masih ada lima belas menit lagi sebelum upacara dimulai, tapi entah kenapa Raya Jaya sudah sangat hidup. Tidak sejalan dengan energi tujuh belas tahunnya yang semakin redup.

"Ya udah. Kalau teman kamu tanya soal kado itu, kamu jujur aja. Dia yang nyanyi itu, kan?"

Monita mengangguk.

"Nah, Mami lihat, dia orangnya sopan. Pasti bisa maklum."

Tidak ada jawaban lain selain "Oke, Mi," yang bisa Monita berikan, dibumbui dengan senyuman lebar, agar ibunya percaya masalahnya memang tidak seribet yang ada di kepalanya.

Setelah berpamitan, Monita pun keluar dari mobil. Belum lagi mencapai gerbang, ponsel di saku roknya terasa bergetar singkat.

 

✉️ Dirga: Moni, nanti kita bisa ngobrol bentar? Gue sebenarnya nungguin balasan lo dari semalam. Tapi nggak papa, gue ngerti lo butuh waktu buat mikir-mikir.

 

Jadi, selain diobrolin, kado Dirga juga harus dipikir-pikir?

Monita semakin yakin, itu bukanlah kado biasa. Jika benar, berarti impiannya terkabul. Kado itu seharusnya bisa jadi kartu as untuk bikin Delia kalah telak.

Dua bulan lalu, untuk menutupi kesuraman akibat Dirga yang datang di menit-menit terakhir, Delia mengunggah video unboxing, memamerkan kado yang Dirga berikan. Isinya jam tangan dari brand yang sama dengan yang selalu digunakan Dirga. Di video itu, Delia bereaksi seolah-olah sedang diberi jam tangan couple. Padahal modelnya beda sekali, dan Monita tahu betul kalau jam tangan ala anak petualang tidak sesuai dengan selera blink-blink Delia.

Untuk mematahkan rasa bangga yang berlebihan itu, Monita segera menyusun rencana pesta ulang tahun balasan. Dia yakin Dirga akan memberinya kado yang lebih istimewa daripada penunjuk waktu.

Sialnya, kado itu hilang entah ke mana.

Rasanya Monita ingin menghindar dari Raya Jaya. Tebersit pemikiran, apa bolos saja? Sayangnya, satpam sekolah dan ibu piket sudah melihatnya. Pasti mencurigakan jika dia putar balik. Dengan langkah berat, Monita pun terpaksa masuk ke gerbang sekolah, yang sekarang lebih terasa seperti jalur masuk arena perang.

Saat akan berbelok ke area kelas XI, perasaan waswas semakin menjadi-jadi. Untuk menuju ke kelasnya, dia harus melewati kelas Dirga terlebih dahulu. Bagaimana jika nanti mereka berpapasan? Apa reaksi Dirga begitu tahu kadonya hilang? Bagaimana jika Dirga malah kecewa?

Karena merasa belum siap mental, Monita berencana putar arah. Mungkin dia bisa bersembunyi di toilet hingga bel berbunyi. Atau mungkin dia bisa cari jalan alternatif, asal tidak melewati kelas Dirga. Namun, belum sempat memutuskan, terdengar panggilan riang penuh semangat dan mungkin bisa terdengar sampai gerbang sekolah.

"Momooon!"

Terlalu sibuk memikirkan Dirga, Monita lupa bahwa ada ancaman lain yang lebih berbahaya dan agresif. Delia dan Priska tampak berdiri di depan kelas mereka—kelas yang sama dengan Dirga—sambil melambai-lambaikan tangan, memanggilnya untuk segera mendekat.

Tidak bisa mengelak lagi, Monita buru-buru memasang topeng sukacita dan menghampiri mereka.

"Lo ke mana aja? Kenapa group chat nggak dibales-bales?" Delia segera menyampaikan keluhan tanpa basa-basi.

Priska mencibir dan ikut menggerutu, "Tau, nih, posting IG bisa, bales chat nggak bisa."

"Oh, iya. Sorry, Minggu kemarin gue masih ada acara keluarga, jadi kelupaan." Monita mencoba memberi alasan masuk akal.

"Okay, jadi, Dirga kasih lo apa?"

Sepertinya Delia sudah tidak sabar membandingkan hadiah jam tangannya. Bahkan Monita sempat mendapati tatapan temannya itu dengan kilat memindai penampilannya, barangkali sekadar memeriksa apakah ada pernak-pernik baru yang dia gunakan.

Monita yang belum mempersiapkan alasan apa pun, berusaha mengelak. "Ah, itu .... Nanti deh gue ceritain. Sekarang gue mau ... gue mau ngerjain PR."

"Girls, pagi-pagi udah ngumpul gini. Ada berita apa, nih?"

Kana yang baru tiba, menyapa dari belakang Monita dan langsung merangkul Monita. Wajahnya tampak semringah. Melihat itu, kepanikan Monita merasa dayanya sedikit bertambah. Barangkali Kana bisa meredam kepanikannya.

"Kita-kita kepo Dirga kasih kado apa ke Momon. Eh, dianya malah mau ngerjain PR," jelas Priska.

"PR? Emang kita ada PR?"

Monita berharap otaknya diberi kapasitas lebih untuk berbohong di situasi mendesak seperti ini. Jelas saja Kana keheranan. Kelas mereka hari ini tidak ada PR yang harus dikumpulkan.

Akibat respons Kana yang tidak sinkron itu, Delia memicing curiga. "Lo cuma alasan, ya? Ada yang lo sembunyiin?"

Priska pun ikut mengompor-ngompori, "Ah, jangan-jangan Momon dapat kado spesial, Del."

"I don't think so! Kalau spesial, ngapain disembunyiin?"

Monita tidak bisa membiarkan dirinya disindir seperti itu tanpa perlawanan. "Justru kalo gue umbar-umbar, kado itu jadi nggak spesial lagi," katanya berlagak bijaksana. Sangat kontradiktif dengan tabiatnya selama ini. Untuk urusan Dirga, setiap perilaku dan pemberian dari cowok itu mutlak harus menjadi bahan obrolan di antara Monita dan Delia. Seolah ada skor tak-kasatmata yang mereka kumpulkan untuk memperebutkan posisi pemenang.

"Kalo sama kita mah nggak perlu rahasia-rahasiaan segala, Mon?" Priska mencoba membujuk.

Ingin sekali Monita mendengar bel masuk, tapi itu mustahil. Seisi Raya Jaya masih punya banyak waktu untuk saling bersosialisasi.

"Gue nggak bisa cerita detailnya, yang pasti isinya jauh lebih spesial dari sekadar ...," Monita melirik pergelangan tangan Delia, "... jam tangan."

Jelas saja Delia langsung memberi tatapan tidak terima. Menyadari nada bicara kedua temannya mulai tidak bersahabat, Kana yang sejak tadi abstain mencoba meredakan ketegangan, "Udah-udah. Kadonya kita obrolin besok-besok aja pas Momon memang siap buat cerita. Gue mau sarapan dulu di kelas. Yuk, Mon."

Sebelum Monita sempat mengambil ancang-ancang untuk mengikuti Kana, Priska menyenggol bahu Delia. Sesuatu di hadapannya membuat cewek berponi rata itu seolah menemukan kunci jawaban. "Itu Dirga. Kita tanya aja langsung," katanya.

Masalah seperti ini memang hal serius bagi mereka berdua. Isi kado dari cowok idaman se-Raya Jaya adalah peringkat pertama dari daftar sesuatu yang harus dipamerkan dan dicemburui, dan semua orang mengerti bahwa gelar cowok idaman di Raya Jaya pantas disandang oleh Dirga.

Monita menoleh ke belakang. Tampak Dirga berjalan menuju ke arah mereka. Dia tidak sendirian. Di sebelahnya ada Jhoni, dan tampak seorang cowok berkardigan merah marun mengikuti mereka dari belakang. Aceng dan sepasang matanya yang berbahaya. Menyadari itu, Monita seolah bangun dari mimpi dan mendapati dirinya berada di medan pertempuran sesungguhnya.

Sebelum malapetaka menjemput, Monita berbisik pada Kana, "Na, pinjam kacamata."

"Hah?" Kana masih mencerna tujuan Monita, tapi tangannya tetap refleks mengikuti permintaan sahabatnya itu.

"Eh, ibu-ibu udah ngumpul aja pagi-pagi. Lagi jadi penerima tamu?" Jhoni menyapa begitu melihat gerombolan Delia dan kawan-kawan.

Alih-alih menanggapi Jhoni, Delia langsung melangkah mendekati Dirga, disusul Priska. "Hey, Dir. Pas banget, nih. Gue curious sama birthday gift yang lo kasih ke Momon," katanya.

Sekarang, Monita berada di ujung tanduk. Jika Dirga membeberkan hadiahnya sekarang, begitu banyak kemungkinan buruk yang siap menimpanya. Bagaimana jika hadiah dari Dirga tidak seistimewa yang dia pamerkan tadi? Harga diri Monita bisa runtuh jika dia meralat semuanya. Kepercayaan semua orang padanya akan semakin menyempit seperti penglihatannya dari balik kacamata minus Kana.

"Kita dari kemarin capek tanyain di chat, nggak dibalas-balas. Eh, sekarang Momon malah main rahasia-rahasiaan." Priska menimpali.

Dirga tidak langsung menjawab. Dia tersenyum canggung dan berkali-kali melirik Monita dengan ragu. "Sebenarnya gue lagi mau tanyain tentang itu ke Moni. Gimana, Mon?"

Monita teringat kembali dengan pesan Dirga yang belum dia balas. Jangan bilang Dirga ingin membahas kado itu sekarang. Hari Senin mereka masih panjang, tapi kenapa harus sekarang? Apa tidak bisa dibicarakan empat mata saja?

Sepertinya Monita tidak bisa mengikuti nasihat ibunya. Masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan kejujuran. Jika Delia tahu kado dari Dirga hilang, cewek itu hanya akan semakin besar kepala. Momen indah malam ulang tahunnya jadi tidak akan bernilai apa-apa. Jadi, setelah menarik napas dalam, Monita mengangkat dagunya dengan pasti, agar terkesan meyakinkan sekaligus untuk mengalahkan kecemasannya sendiri. Sambil tersenyum lebar, dia melontarkan jawaban diplomatis, "Gue sebenarnya nggak mau pamer aja, soalnya kadonya spesial banget. Thanks ya, Dir."

Dirga terdiam lumayan lama. Dia melirik Monita, Delia, Priska, Aceng, Jhoni, dan Kana bergantian. Lalu senyumnya mulai merekah. Sambil mengangguk-angguk, Dirga menepuk bahu Aceng yang kebetulan sekarang ada di dekatnya, dan berseru, "Akhirnya! Gue senang kalau kado itu lo anggap spesial. Jadi, lo mau datang, kan?"

Monita mengangguk, lalu mengerjap, mulai tidak yakin dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Datang? Ke mana?" Priska dan Delia serentak bertanya.

"Oh, kalau itu, gue serahin ke Moni. Dia yang berhak kasih bocoran," jawab Dirga. Sebelum masuk ke kelas, dia menambahkan, "Jangan lupa tanggalnya, ya, Mon."

Monita yakin dia tidak salah lihat, Dirga sempat mengedipkan sebelah mata ke arahnya. Semuanya terjadi begitu dadakan dan bertubi-tubi. Sangat sulit untuk diproses.

"Lo diundang ke mana, Mon?" Delia masih mencoba mendapatkan penjelasan. Bahkan tampak betul bibirnya mengatup. Mungkin karena kombinasi iri dan curiga.

Monita yang semula ikut bertanya-tanya perlahan mulai menikmati situasi di hadapannya. Ternyata kesialannya punya sisi positif. Momen ini harus dimanfaatkan.

"You will see soon," jawab Monita meniru nada khas Delia.

Namun, kepuasan itu hanya bertahan singkat. Saat mereka—Monita, Kana, Jhoni, dan Aceng—berjalan beriringan menuju kelas mereka, Kana mengeluh, "Gue batal sarapan," sambil menyipitkan mata untuk memandang sekitar.

Jhoni menoleh prihatin dan naluri ketua kelasnya mendadak bangkit. "Di kantin kan ada jual roti, lo nanti beli itu aja untuk ganjal perut. Biasanya atur barisan bisa habisin waktu dua-tiga menit, di situ lo bisa curi waktu untuk makan roti. Bungkusnya disimpan di kantong, terus ...."

Sementara itu, Monita sibuk menyembunyikan tatapan dari cowok di sebelahnya. Jelas sekali Aceng sedang mencermatinya. Ini bukan cuma perasaannya saja. Monita sangat yakin cowok itu tak-henti menoleh ke arahnya. Monita mengira-ngira, apakah dia ketahuan berbohong? Atau jangan-jangan sekarang Aceng sedang berusaha membaca pikirannya?

Monita mempercepat langkahnya. Kelas mereka hanya dipisahkan dua ruang dari kelas Delia, Priska, dan Dirga. Jadi, tidak butuh waktu lama, mereka sudah tiba di depan kelas. Namun, belum sempat masuk ke dalam, Aceng berkata, "Eh, lo kenapa pake kacamata Kana?"

Saat Aceng mencoba mendekat untuk mengamati lebih dalam, Monita semakin menundukkan kepala dan mengambil langkah panjang untuk menghindar.

Bruk!

Jelas saja tindakannya itu memperparah situasi. Monita kira, kedua daun pintu kelasnya terbuka lebar-lebar. Ternyata ada satu yang masih tertutup. Alhasil tubuhnya menabrak daun pintu yang tertutup itu. Sontak, Jhoni dan Kana yang baru saja memasuki kelas, kembali keluar. Begitu pula dengan Aceng. Cowok itu semakin mendekat untuk memeriksa kondisinya.

Melihat itu, Monita segera mengambil tindakan defensif.

"JANGAN DEKAT-DEKAAATT!!!!" teriaknya sambil terus menutup mata erat-erat.

🕶️

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Well The Glass Slippers Don't Fit
1402      638     1     
Fantasy
Born to the lower class of the society, Alya wants to try her luck to marry Prince Ashton, the descendant of Cinderella and her prince charming. Everything clicks perfectly. But there is one problem. The glass slippers don't fit!
Senja Belum Berlalu
4062      1439     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
Today, After Sunshine
1783      760     2     
Romance
Perjalanan ini terlalu sakit untuk dibagi Tidak aku, tidak kamu, tidak siapa pun, tidak akan bisa memahami Baiknya kusimpan saja sendiri Kamu cukup tahu, bahwa aku adalah sosok yang tangguh!
Tentang Hati Yang Mengerti Arti Kembali
715      472     4     
Romance
Seperti kebanyakan orang Tesalonika Dahayu Ivory yakin bahwa cinta pertama tidak akan berhasil Apalagi jika cinta pertamanya adalah kakak dari sahabatnya sendiri Timotius Ravendra Dewandaru adalah cinta pertama sekaligus pematah hatinya Ndaru adalah alasan bagi Ayu untuk pergi sejauh mungkin dan mengubah arah langkahnya Namun seolah takdir sedang bermain padanya setelah sepuluh tahun berlalu A...
6 Pintu Untuk Pulang
650      377     2     
Short Story
Dikejar oleh zombie-zombie, rasanya tentu saja menegangkan. Apalagi harus memecahkan maksud dari dua huruf yang tertulis di telapak tangan dengan clue yang diberikan oleh pacarku. Jika berhasil, akan muncul pintu agar terlepas dari kejaran zombie-zombie itu. Dan, ada 6 pintu yang harus kulewati. Tunggu dulu, ini bukan cerita fantasi. Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke dalam komik tentang zombie...
Teman Kecil
376      240     0     
Short Story
Sudah sepuluh tahun kita bersama, maafkan aku, aku harus melepasmu. Bukan karena aku membencimu, tapi mungkin ini yang terbaik untuk kita.
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
1387      579     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah
909      539     8     
Short Story
Sobara adalah anak SMA yang sangat tampan. Suatu hari dia menerima sepucuk surat dari seseorang. Surat itu mengubah hidupnya terhadap keyakinan masa kanak-kanaknya yang dianggap baginya sungguh tidak masuk akal. Ikuti cerita pendek Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah yang akan membuatmu yakin bahwa masa kanak-kanak adalah hal yang terindah.
Daniel : A Ruineed Soul
559      327     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
Janjiku
606      434     3     
Short Story
Tentang cinta dan benci. Aku terus maju, tak akan mundur, apalagi berbalik. Terima kasih telah membenciku. Hari ini terbayarkan, janjiku.