Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hideaway Space
MENU
About Us  

     Aku terlambat bereaksi, pandangan kami bertemu. Ia melangkah pelan kearahku seakan hujan bukan apa-apa.

   Aku menahan helaan napas, menekan rasa merinding dan bergumam. “Berhenti mendekat jika tidak ingin kuhilangkan.”

   Ia berhenti melangkah, wajah pucatnya kini bertambah murung, tangannya menunjuk kearah nakas di dekat kepalaku.

   Jika orang indigo dalam film akan menuruti, aku cukup waras untuk tidak.

Kupejamkan mataku, jantungku mulai berdebar sampai kepalaku rasanya ikut berdenyut.

Sosok berwujud, itu hal yang lebih buruk dari apapun karena ia memiliki kemampuan merasuki. Apa-apaan 1Juvenile dress biru abad ke-19 yang dikenakannya, sepertinya sudah lama sekali ia di tempat ini.

   Sepanjang kesadaranku dalam memejamkan mata, kesedihan kembali menyelimutiku. Kesedihan yang dalam dan berat. Rasanya juga dingin dan perih sekali, kudengar suara sayup-sayup bersemangat dari lantai atas. Beberapa orang, terdengar ceria...dan aku merasakan sepi yang menusuk mendengar gelak mereka.

Perasaan apa ini? Keceriaan orang lain tidak pernah mengusikku sebelumnya. Dan kemana perginya reaksi obat yang kuminum?

Kesedihan itu semakin mengusikku, air mataku meleleh dari pejaman mata, sampai aku terlelap entah kapan.

   Aku terbangun oleh suara piano yang sayup-sayup kudengar. Dalam dentingan cepatnya, aku mengumpulkan kesadaran.

Di penginapan ini ada piano, atau itu suara mistis? Aku menoleh kearah jendela.

Hari sudah terang, kulihat ponselku. Pukul 8.30 am, kemampuanku menurun, bisa dipastikan itu suara piano nyata.

Aku menghela napas. Rasa lelah saat bangun tidur hampir biasa kurasakan—itu karena kondisi psikisku yang sedang sakit, ditambah hal buruk semalam, perasaan apa itu? Sakitku bertambah buruk? Atau itu ulah sosok di bawah pohon beech? Apa semalam dia membagikan emosinya padaku? Apa yang terjadi padanya semasa hidup?

Aku menggeleng, menepis empati pada hal itu, kemampuanku tidak cukup untuk menolongnya. Tidak, tepatnya...aku tidak punya perlindungan seperti mum untuk menangani hal-hal itu.

Aku duduk diam, tekanan ringan kurasakan dari arah jendela, itu berarti sosok yang kemarin memang ada. Kulangkahkan kaki menuju jendela dan membukanya, udara sejuk menerpa wajahku.

Hujan sudah reda, matahari bersinar lembut, mungkin ini pagi yang menyegarkan, aku tidak terlalu merasakannya. Kondisiku memang sering begini, selain obat membantuku lebih baik, aku biasanya menulis buku harian.

    Aku berbalik, hendak mengambil buku harian tapi terdiam beberapa detik. Ruangan ini ternyata bukan berbentuk persegi, melainkan bentuk 7 tapi simetris. Ada sebuah ruang bertangga batu ke atas. Ruangan apa itu?

Aku menaiki anak tangga pertama, dingin dan tanpa tekanan. Kulanjutkan. Hanya ada sepuluh anak tangga, tapi berbelol di tangga ke lima. Saat sampai, aku lagi-lagi tertegun. Ruangan ini hanya sekitar 2 x 2 meter, tampak begitu nyaman dengan dipan kayu sepanjang ruangan kecil ini, diatasnya ada kasur tipis, bantal kecil dan selimut flannel yang terlipat rapi. Ada jendela besar polos, dan bahkan lampu neon yang kurasa akan bersinar lembut pada malam hari.

Penginapan ini mungkin dinamakan Hideaway Space bukan tanpa alasan, aku tidak tau pendapat orang lain, tapi bagiku ini sempurna untuk duduk dan menulis buku harian atau sekadar duduk menikmati pemandangan.

Suara piano itu masih terdengar samar-samar, mengganggu suasana tenang yang baru kunikmati. Siapa sih orang amatir yang memainkannya?

   Aku keluar untuk membasuh muka dan gosok gigi, tidak ada antrian di kamar mandi lantai satu, setelah selesai aku pergi ke ruang makan mengikuti denah di buku panduan yang memang ada di atas nakas ruang tidurku. Lapar dan sedikit penasaran karna suara piano itu terdengar dari sana.

Tempat makan yang cukup luas dan kuno, desain yang lagi-lagi mengingatkanku pada abad-19. Dinding batunya terdapat beberapa lukisan-lukisan tidak biasa, meja dan kursinya berisi untuk empat orang masing-masingnya. Yang tidak kalah ‘unik’ adalah penempatan piano ditengah ruangan, seakan ini tempat makan sekaligus pertunjukan gelar seni, dan seseorang yang memainkannya adalah Joe.

Aku terpaku melihat penampilannya. Bukan karna terpukau.

Meski tidak paham soal piano, sepertinya yang dimainkan Joe bukanlah instrumen yang tepat dipagi hari, terlebih di tempat makan. Joe menekan tuts-tuts piano dengan gerakan cepat dan dramatis, badannya ikut bergerak-gerak dramatis seperti orang...kerasukan. Permainanan terlewat semangatnya entah bagaimana terasa misterius dan menekan.

Instrumen seperti ini..., apa dia berencana membuat pengunjung tersedak? Nada pianonya terdengar seperti dikompetisi lomba makan mencekam alih-alih nada pengiring sarapan, atau hanya aku yang merasa begitu?

Pengunjung lain tampak banyak yang merekam, sebagian kecil lainnya memakan sarapan mereka dengan ekspresi tenang, entah tidak peduli pada nada mencolok yang dimainkan Joe, atau sudah terbiasa. 

Permainan pianonya berakhir dengan gerakan tubuh Joe yang meliuk dramatis, sebagian besar yang menonton bertepuk tangan dan bersorak, Joe bahkan berdiri dan membungkuk ala pianis di panggung  yang hanya kulihat di film klasik.

Aku melenggang ke sisi ruangan yang berisi makanan sebelum Joe melihatku.

Buruk, hanya tersisa dua bacon dan dua telur. Daging mengingatkanku pada sesuatu yang kulihat di Shamles.

   “Anda ms.Puspa, kan?” Seorang wanita menyapaku.

 Sophia si resepsesionis, wanita itu kini memakai pakaian kasual. Aksennya jadi aneh dan dia menyebut nama nenekku.

   “Puspita,” aku mengoreksi, “tolong panggil saja Evelyn.”

“Baik, ms.Evelyn,” dia tersenyum canggung, memintaku mengikutinya.

Aku menurut saja, melewati beberapa meja yang penuh dengan orang, lalu keluar di pintu samping, aku sempat terpaku melihat hamparan bukit-bukit, sebelum mengikuti Sophia menaiki tangga ulir besi di samping bangunan, aku tidak berani memegang railing tangganya yang tampak rapuh.

Ternyata ada rooftop yang mirip balkon di pinggir bangunan. Hanya ada satu meja vintage panjang dengan dua kursi. “Mr.Joey meminta saya menyiapkan makanan anda di sini.”

  “Oh kenapa begitu?”

   Sophia menggelengkan kepala, “Saya hanya mengikuti perintah.”

Aku ditinggalkan Sophia dalam kondisi tercenung saat melihat apa yang ada di atas meja.

Di meja itu ada avocado toast yang dicampur irisan lobster meat, di sampingnya ada cold brew coffe.  

Lelaki aneh ini..., ada yang menggangguku tentangnya. Bukan penampilan kunonya yang tadi memakai kemeja, dasi kupu-kupu dan mantel formal berkerah tinggi ala abad-19, kesampingkan juga niat baiknya menyiapkan makanan khusus, letak janggalnya adalah kespesifikannya.

Awalnya kupikir hanya kebetulan saat melihat nuansa kamar bebatuan bercampur hijau mint—warna favoritku, terlebih hiasan bunga daisy itu. Sekarang pun begitu, kenapa harus avocado toast dan cold brew coffe? Apakah makanan dan minuman kesukaanku itu juga kebetulan? Benarkah aku hanya terlalu spekulatif?

Apapun itu, aku hanya kurang nyaman. Aku duduk diam di salah satu kursi, Joe pasti akan datang padaku. Terlepas dari kejanggalannya, suasana di sini begitu tenang, angin musim gugur bertiup ringan, aku merapikan rambutku dengan ikat rambut yang ada di pergelangan tanganku.

Joe benar-benar datang tidak lama kemudian, lelaki itu tersenyum tipis dan duduk di seberang meja, tidak terlihat lagi bayangan tangan di pundaknya, aku hanya merasakan tekanan ringan—itu berarti bayangan tangan itu masih menempel.

    “Belum dimakan?” Dia bertanya sambil menata makanan yang dibawanya sendiri. Itu hash browns dengan bacon dan telur, Joe juga membawa black coffe.

   “Menunggumu,” aku mengangkat pisau dan garpu, menyembunyikan rasa senang saat memotong toast. “Terimakasih makanannya, Joe.”

Joe menggelengkan kepala, tatapannya jahil, tapi dia hanya mulai memakan makanannya. “Kau suka?”

Suka sekali, kurasakan kenyal—lumernya dan manisnya lobster bercampur lembut gurihnya avocado dalam mulutku. “Lumayan.”

Joe terlihat menahan dengkusan geli, “Ekspresimu seperti mengatakan itu lebih dari lumayan.”

“Kalo bilang lebih dari lumayan, kau berencana memesan tempat khusus lagi?” Aku bergumam, sibuk dengan toastku.

Ada jeda, Joe menyesap black coffenya. “Bukan ide buruk. Kau suka di sini?”

Aku tersenyum, menahan rasa tidak percaya pada jawabannya. Kualihkan pembicaraan dengan mengomentari tampilannya. “Bajumu tidak biasa. lagu apa yang kau mainkan barusan?”

 “Totetanz karya Franz Lizt.” Joe melahap gigitan besar baconnya.

 “Terdengar asing, jangan bilang lagu dari abad ke-19.”

“Populernya sih sejak abad ke-14, tapi puncak apresiasi dalam seni dan musik pada abad ke-15 hingga ke-19.” Joe menjelaskan.

“Seleramu kun—eh vintage maksudku, itu menarik.” Aku lekas menyesap cold brew coffe-ku.

   “Kuno.” Joe memainkan alat makannya, “ya...sesuai mood mungkin? Aku juga menyukai hal modern, mau tau sesuatu yang aneh? Aku hanya bisa memainkan Totetanz, instrumen yang lebih mudah seperti Kiss the Rain sama sekali tidak bisa.”

   “Mungkin karena tidak berminat?” Sepertiku yang hanya bagus menggambar yang kuinginkan.

  “Aku terbiasa tidur dengan iringan instrumen Kiss The Rain.” Tatapan Joe lurus padaku, dari balik kacamatanya kulihat dia begitu memperhatikan wajahku, “...tidakkah menurutmu aku aneh? Ada yang mengatakan aku semacam kerasukan, bagaimana menurutmu?”

    Aku refleks tersenyum, pertahanan diri yang akan muncul saat ada yang mengusik terkait ‘kepekaanku’. “Kau memang kuno, Joe. Kerasukan itu tidak ada, kan. Ada penjelasan ilmiahnya yang pernah kubaca, sayang sekali aku lupa.”

    Joe menghela napas samar, “Yasudahlah. Nanti siang ingin makan apa?”

"Kan tidak ada layanan makan siang di penginapan ini?" Aku meletakkan peralatan makanku.

Sangat berbeda denganku, piring Joe masih menyisakan setengah makanannya, tapi lelaki itu sudah meletakkan alat makannya sepertiku. Dan tersenyum singkat kearahku.

Aku menelengkan kepala, sudah menebak tapi sengaja bertanya. "Apa?"

"Aku  mengajakmu makan siang, Lyn."

"Terimakasih tawarannya." Aku tersenyum singkat, "Tapi aku tidak biasa makan siang Joe."

"Tidak, kau harus makan siang." Joe bergumam lirih.

"Pardon?" Ada apa dengan lelaki ini?

Joe buru-buru menggeleng, "Kalo begitu, kita makan malam bersama?"

Aku menyerah. "Tentu, di tempat makan penginapan biasa."

"Tempat ini sayang jika tidak dipakai, Lyn."

A.s.t.g.a. "Oke oke. Terserah deh."

Joe membicarakan banyak hal denganku, mungkin karena sebaya, kami cocok untuk membicarakan ini dan itu, berbicara dengannya sekarang mengubah pandanganku pada penampilan kunonya.

Andai saja intensitas di bahunya tidak menguras energiku, pasti akan lebih menyenangkan. Kurasakan kepalaku mulai linglung, mungkin juga karena belum meminum obat, sudah lewat dari setengah jam dari jadwal. Kupikir aku bisa menahannya, tidak kuduga aku akan mual ditengah pembicaraan. Aku membekap mulutku, kepalaku sibuk mencari-cari alasan masuk akal saat Joe menatapku bingung.

"...Aku suka kopi, tapi lambungku tidak." Kilahku.

"My bad," ada nada bersalah, Joe benar-benar menatapku khawatir sekarang. "Aku punya antasida kalau kau mau menunggu, aku akan kembali sebentar lagi?"

Aku mengangkat tangan, menghentikannya yang hendak meninggalkanku.

"Aku punya, kalau begitu bolehkah aku...?" Kutunjuk tangga, Joe mengerti.

Dia mempersilahkan, aku tidak membuang waktu dan turun terburu-buru.

Tempat makan tidak seramai tadi, tapi lorong menuju kamarku begitu sepi dengan lukisan-lukisan realis dengan warna tidak biasa, kurasakan pula aura dingin yang menyelimuti. Aku mempercepat langkah, apa hanya perasaanku?

Kenapa rasanya ruangan nomer 4 terkucilkan dari ruangan manapun? Aku tidak dapat mebuat spekulasi lebih, kini aku setengah berlari saat melihat ruangan nomer 4. Dengan gerakan terburu-buru, aku membuka pintu, rasa lega menyelimutiku, aku tidak terlalu nyaman dengan keramaian, ataupun tempat sepi, ruangan kecil seperti ini rasanya lebih pribadi, dan aku sedikit lega di dalamnya. Meski tentu saja tidak begitu mengingat penghuni ruangan ini yang kini belum terlihat.

Yah, setidaknya belum. Kududukkan diri, tanganku mencari-cari obat, lalu memiumnya.

Kubaringkan diriku diatas kasur, ini masih terlalu pagi untuk berdiam diri, dad biasanya menegurku untuk berkegiatan saat aku libur. Beruntunglah hari ini tidak. Aku tidak perlu terlalu terburu-buru. Tidak ada yang mendesakku, aku mengatur napas, tenang...tenang...tenang.

Tok tok tok.

Aku terperanjat, ternyata diriku tertidur.

"Selamat siang, saya datang untuk layanan kamar." Terdengar suara asing dari balik pintu. “Kiriman makanan untuk anda sudah tersedia.”

Kiriman makanan?

Aku mengusap mataku, suaraku serak saat menjawab. “Tunggu sebentar.”

Masih dalam keadaan setengah sadar, aku merapikan rambut dan membuka pintu. Di depannya ada seorang wanita muda, name tag-nya tertulis ‘Sera’. Di tangannya ada nampan berisi satu piring dengan dua potong sandwich dan segelas jus kiwi.

    Wanita itu tersenyum ramah. “ Selamat siang, Ms. Evelyn, saya Sera, ini makan siang anda.”

Aku hanya diam di ambang pintu.

Mungkin tatapan bingungku terbaca, Sera kembali tersenyum. “Dari Mr. Joey...”

Aku kehilangan minat untuk mempertanyakan lebih lanjut pada Sera, lelaki aneh itu...ada apa dengannya?

“Terimakasih,” Aku mengambil sepiring sandwich dan segelas jus kiwi itu.

“Anda bisa meninggalkan piringnya di dalam, kami akan datang membersihkannya nanti malam. Silahkan menikmati.”  Sera tersenyum, dia berjalan menjauhi ruanganku.

Aku menutup ruangan dan menaruh kudapan itu di tatakan jendela kuno ini. Prilaku Joe yang seperti ini, apa dia berniat memamerkan uangnya karena bisa menyewa banyak fasilitas? Atau dia hanya berusaha menarik perhatianku karena...tertarik?

Aku menahan tawa, cukup terasa lucu. Apa yang dia sukai dariku? Wajah? Mungkin karena ini bukan kali pertama, aku memperhitungkan secara berlebihan. Setelah tertarik, dan semakin dekat, Joe hanya akan seperti lelaki lainnya. Mundur perlahan karena mereka menganggapku aneh.

Itu hal yang sudah biasa, tapi apa aku bisa terbiasa?

Kupandangi sandwich itu ragu, aku harus menyambut Joe bagaimana? Kupejamkan mataku, prilaku Joe yang mengantarkan makanan pada siang hari mirip seperti dad. Aku jarang sekali keluar rumah, jarang keluar kamar jika Lila—kekasih dad ada di sana.

Dad tau aku meminum obat, tapi tidak tau jika aku mejadikannya dua kali sekali—atas persetujuan psikiater, agar aku tidak perlu makan siang. Dad tidak tau, itulah kenpa dia sering mengantarkan makan siang ke kamarku. Oh, kenapa malah merambat?

Kuraba-raba ponselku, pesan dad kusunyikan.., aku membuka aplikasi chat karena penasaran.

Belum dibaca.

Aku mengatur napasku setenang mungkin, menjauhkan kembali hp dan meringkuk. Dadaku terasa tidak nyaman. Dad pasti ‘sibuk’ merenovasi rumahnya. Kubayangkan dad terlalu membicarakan banyak hal dengan Lila, mungkin perencanaan tatanan perabotan, atau berapa kali seharusnya memanggil tukang dan tidak.

Perutku mual.

Ah, sebaiknya aku kembali tidur.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Imperfect Rotation
162      143     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
BestfriEND
42      36     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Time and Tears
271      205     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
Je te Vois
708      459     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Metafora Dunia Djemima
91      74     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
495      244     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
Kini Hidup Kembali
75      65     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
Pasal 17: Tentang Kita
132      54     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Perahu Jumpa
258      217     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Meet You After Wound
269      225     0     
Romance
"Hesa, lihatlah aku juga."