Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
MENU
About Us  

Aku tergantung di belakang kursi dapur, dibiarkan terayun pelan oleh tiupan angin pagi yang masuk dari jendela tua yang engselnya berderit. Dapur ini kecil, lantainya keramik putih yang mulai kusam, dengan dinding yang dulunya berwarna krem tapi kini lebih mendekati warna kopi susu basi. Perabotannya tidak banyak—hanya lemari kayu mungil, kompor satu tungku, dan meja makan bundar dengan empat kursi yang salah satunya pincang. Tapi di balik semua itu, tempat ini terasa seperti satu-satunya ruang di rumah yang masih memeluk Aditya erat-erat.

Di meja bundar itu, Aditya duduk diam. Rambutnya belum disisir, seragam sekolahnya belum dikenakan, dan matanya masih menyisakan bekas kantuk. Tapi bukan karena bangun kesiangan. Ia bangun justru lebih pagi dari biasanya.

Nenek berdiri di depan kompor, sendok kayunya sibuk mengaduk tumisan kangkung di atas wajan. Di tangan kirinya, ia menggenggam botol kecap manis yang tutupnya sudah retak. Bau bawang putih dan cabai menyelinap ke setiap sudut ruangan.

“Dit, kamu sakit?” suara nenek memecah keheningan.

“Nggak, Nek. Aku cuma... pengin bantu,” jawab Aditya sambil berdiri. Ia mulai mengambil piring dari rak, lalu menyusunnya satu per satu di atas meja. Tangannya sempat gemetar saat memegang piring terakhir, tapi ia mencoba tetap tenang.

Nenek menatap cucunya sebentar, lalu tersenyum kecil. “Tumben.”

“Aku mimpi Ibu,” gumam Aditya tiba-tiba. “Dia dateng ke rumah, duduk di kursi tempat Nenek biasa duduk. Tapi dia nggak ngomong apa-apa. Cuma senyum, mandangin aku.”

Sendok kayu di tangan nenek berhenti bergerak. Ia menoleh, matanya mengerjap pelan. “Mungkin dia kangen.”

Aditya mengangguk. “Aku juga.”

Suasana dapur mendadak terasa seperti museum kenangan. Setiap aroma, perabot, dan percakapan seperti menyimpan gema masa lalu yang tidak pernah benar-benar hilang.

“Kamu masih inget wajahnya?” tanya nenek pelan.

“Inget, tapi samar,” jawab Aditya. “Kadang aku ngerasa bersalah. Kenapa aku nggak bisa inget lebih banyak?”

“Itu bukan salahmu, Dit. Kamu masih kecil waktu itu.”

“Dulu aku pengin tanya ke Ayah... soal Ibu. Tapi Ayah malah pergi. Udah lama banget, Nek. Rasanya kayak... dia lari dari semuanya.”

Nenek duduk perlahan di kursi di seberang meja, sendok kayu ditaruh di atas piring kecil.

“Waktu ibumu meninggal, ayahmu nggak sanggup ngadepin semuanya. Dia jadi pemarah. Nenek juga sering bertengkar sama dia. Tapi ninggalin anak sendiri... itu pilihan yang nggak bisa Nenek maafkan sampai sekarang.”

Aditya menggigit bibir bawahnya. Aku bisa merasakan ada guncangan halus dari punggungnya. Bukan karena takut, tapi karena beban lama yang ia pendam akhirnya menemukan jalan keluar.

“Pakde yang bantuin kamu sekolah. Dia memang nggak sering datang, tapi dia selalu bilang: ‘Aditya harus sekolah, bagaimanapun caranya.’ Dia kerja keras di kota buat kamu.”

Aditya menunduk. “Aku nggak pernah bilang makasih langsung ke Pakde.”

“Bilangnya ke Nenek dulu aja. Nanti Nenek sampaikan,” kata nenek dengan senyum kecil.

Setelah makan pagi sederhana itu, Aditya tidak langsung bersiap sekolah. Ia duduk lebih lama di dapur, seperti sedang memahat sesuatu di pikirannya.

“Nek... kalau misalnya nanti aku sukses, aku pengin bangun rumah buat Nenek. Dapurnya gede, ada jendela kaca, biar Nenek bisa masak sambil liat halaman.”

Nenek tertawa kecil, mengibaskan tangan. “Yang penting kamu bahagia dulu, Nak. Rumah bisa dibangun, tapi kamu harus punya dasar yang kuat. Kalau kamu nggak kenal siapa dirimu, rumah sebagus apapun nggak akan bikin kamu betah.”

Aditya diam. Kata-kata itu menancap. Dalam. Tepat di tempat yang selama ini paling hampa.

Sebelum berangkat, Aditya masuk ke kamar dan mengambil selembar kertas. Ia menulis sesuatu dengan cepat, lalu melipatnya dan memasukkannya ke kantong kecil di bagian dalam tasku.

Tulisan tangannya belum rapi, tapi isinya terasa berat:

Gue pernah nyalahin semuanya: keadaan, keluarga, bahkan diri sendiri. Tapi hari ini, gue pengin pelan-pelan berhenti nyalahin. Gue pengin belajar ngerti. Biarpun sakit, setidaknya ada yang bisa gue bangun dari puing-puingnya.

Aku menyimpan kertas itu di dalam kantong terdalamku, bersama mimpi-mimpi lain yang pernah ia tulis dan simpan diam-diam.

Di Sekolah

Hari itu, Aditya tampak lebih tenang. Tapi aku tahu, banyak yang berputar di kepalanya. Ia duduk di bangku kelas, tangannya menggambar sesuatu di pojok buku catatan. Bukan doodle seperti biasanya, tapi gambar denah rumah kecil dengan halaman luas dan pohon mangga di belakangnya.

Raka menepuk pundaknya dari belakang. “Eh, lo nggak biasanya gambar rumah. Arsitek?”

“Bukan. Cuma... pengin punya satu nanti,” jawab Aditya, tersenyum samar.

Bayu datang dan bergabung. “Kalo lo bikin rumah, pastiin ada ruang khusus buat gaming. Biar channel lo tambah niat.”

Mereka tertawa pelan. Tapi Aditya hanya senyum tipis.

“Ada ruang keluarga juga,” katanya, nyaris seperti gumaman.

Kelas kembali hening setelah guru masuk. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang sudah berubah dari Aditya hari itu. Ia mulai berdamai. Bukan dengan semua luka, tapi dengan kenyataan bahwa tidak semua luka harus disembuhkan segera. Beberapa cukup dikenali dulu.

Malam Hari

Di kamarnya yang kecil, dengan dinding bercat biru pudar dan poster game yang sudah mulai mengelupas, Aditya duduk menatap layar laptop. Channel YouTube-nya masih kecil, tapi komentar-komentar di video terbarunya kembali menyentuh hatinya:

“Gue juga ditinggal ayah gue. Makasih udah berani cerita, Dit. Nggak nyangka gue nemu yang relate banget.”

“Gue nggak deket sama keluarga gue. Tapi denger lo ngomong, gue jadi pengin pelan-pelan coba terbuka.”

Aditya menulis draft video baru: “Apa Itu Rumah?”

Ia mengetik pembukanya:

“Buat sebagian orang, rumah itu tempat mereka tumbuh dan berkembang. Tapi buat gue, rumah itu tempat gue belajar jadi diri sendiri, meskipun ditinggal orang yang harusnya tetap tinggal.”

Dan aku, si ransel hitam yang selalu menempel di punggungnya, tahu betul: rumah itu tidak harus selalu berbentuk bangunan. Kadang, rumah itu ada dalam bentuk seseorang yang duduk bersamamu di dapur sambil masak kangkung dan menepuk bahumu tanpa banyak kata. Kadang rumah itu adalah secarik kertas kecil yang ditulis dengan jujur dan disimpan di dalam tasku.

Dan kalau Aditya belum menemukan rumahnya sepenuhnya di dunia luar, setidaknya, ia sudah mulai membangunnya di dalam dirinya sendiri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Reandra
1931      1138     67     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Yu & Way
166      135     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Is it Your Diary?
180      146     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Atraksi Manusia
514      380     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Kaca yang Berdebu
112      92     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Pasal 17: Tentang Kita
139      59     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Metanoia
53      45     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Trying Other People's World
155      132     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Sebelah Hati
1054      661     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Loveless
7242      3418     609     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...