Luka yang Tak Terlihat
Christian dan Marco bukanlah sekadar dua nama yang sering disebut dalam lingkaran anak motor, mereka adalah sahabat sejak bangku SMP. Keduanya tumbuh bersama di jalanan kecil di pinggiran kota, sama-sama memiliki semangat pemberontak dan kecintaan terhadap kecepatan. Mereka belajar membetulkan motor bersama, mencuri waktu di bengkel milik Om Jali, hingga merakit motor butut jadi mesin beringas. Semua yang melihat mereka berdua akan tahu: Christian dan Marco adalah dua sisi dari koin yang sama.
Namun, ada yang tidak semua orang tahu: Marco menyimpan luka yang diam-diam bertumbuh dalam diam. Luka yang berasal dari rasa sayangnya yang tak pernah sempat ia ungkapkan—untuk seorang gadis bernama Nafa.
Marco pertama kali melihat Nafa saat SMA, di acara pekan olahraga antar sekolah. Ia masih ingat jelas bagaimana gadis itu berjalan santai sambil tertawa bersama teman-temannya di sisi lapangan basket. Menunggu waktu untuk bertanding volly.
Waktu itu Marco hanya bisa memandang dari tribun penonton, mengenakan jaket sekolahnya dengan lencana kebanggaan di dada. Nafa dari sekolah favorit, dan Marco tahu diri: dia hanya anak sekolah teknik biasa dengan nilai pas-pasan dan catatan kenakalan di ruang BK. Tapi sejak hari itu, nama Nafa tertanam dalam memorinya, seperti lagu yang tak kunjung padam.
Dia mencoba mencari tahu tentang Nafa. Mengingat nama sekolahnya, menelusuri sosmednya diam-diam, bahkan pernah sengaja lewat di sekitar sekolah Nafa hanya untuk melihat apakah ada kesempatan bertemu lagi. Namun, tak pernah ada momen yang cukup pas untuk menyapa. Tidak ada waktu yang tepat. Tidak ada keberanian yang cukup.
Ketika SMA usai, dan jalan hidup membawa Marco dan Christian lebih dalam ke dunia geng motor, persahabatan mereka tetap solid. Tapi diam-diam, Marco mulai merasakan ada jarak yang ia ciptakan sendiri. Apalagi ketika Christian bercerita tentang seorang gadis yang ia temui saat mendaki gunung bersama teman-temannya—seorang gadis yang menurut Christian "beda dari yang lain". Christian menyebutkan namanya... dan Marco membeku.
“Nafa?” ucap Marco setengah berbisik waktu itu.
“Iya. Kau tahu dia?” Christian menatap Marco dengan heran.
Marco menelan ludah. “Nggak. Nama yang cantik aja.”
Sejak hari itu, rasa iri dan kecewa mulai menggerogoti hatinya. Bukan salah Christian. Bukan juga salah Nafa. Tapi hidup terasa begitu tak adil ketika seseorang yang tak pernah kau lupakan, justru jatuh cinta pada sahabatmu sendiri.
Kemudian datang pemilihan ketua geng motor. Persaingan yang awalnya hanya simbolik, berubah jadi ambisius dan panas. Marco, yang merasa selama ini selalu berada di bawah bayang-bayang Christian, mulai menunjukkan taringnya. Ia ingin diakui. Ia ingin berdiri di atas. Ia ingin Christian tahu bahwa dia juga bisa.
Pertengkaran-pertengkaran kecil mulai sering terjadi. Perbedaan visi, perdebatan tentang arah kelompok, hingga sindiran-sindiran tajam yang dulu tak pernah keluar dari mulut mereka. Dan puncaknya terjadi malam itu.
Malam ketika Marco menantang Christian dalam adu balap. Semua anak geng tahu taruhan mereka tidak main-main.
Jika Marco menang... Nafa akan jadi miliknya.
Tapi Christian tidak tahu bahwa Marco menyimpan dendam lama. Bagi Christian, itu hanya taruhan bodoh dari emosi yang memuncak. Tapi bagi Marco, itu adalah pertarungan untuk harga diri. Untuk cinta yang tak pernah sempat ia ungkap.
Dan malam itu... semuanya hancur.
Tak ada yang tahu bahwa di balik suara mesin yang meraung dan lampu jalan yang kabur di antara asap dan angin malam, ada dua hati yang dulu begitu dekat kini saling melukai. Tak ada yang tahu bahwa sebelum semuanya berakhir, Christian sempat berteriak menyuruh Marco berhenti. Tapi Marco sudah terlalu jauh.
Kini, waktu telah berlalu. Christian selamat, meski luka itu masih terasa. Marco... pergi untuk selamanya, membawa serta rasa bersalah yang tak pernah bisa ditebus.
Dan di antara kenangan itu, Christian hanya bisa duduk sendiri di tepi pantai, menatap ombak dan bertanya: kapan persahabatan berubah menjadi permusuhan?
Ia tak pernah tahu bahwa cinta yang tak pernah sempat diungkapkan... bisa membunuh perlahan, bahkan tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.
SISI KETIGA
POV Marco
(Flashback – Beberapa bulan sebelum kecelakaan)
Kalau ada yang bilang luka di tubuh lebih sakit daripada luka di hati, Marco akan tertawa.
Karena bekas luka di pelipisnya, yang ia dapat saat kabur bareng Christian dari tukang roti yang marah, sudah lama sembuh. Tapi rasa sesak yang muncul setiap kali mengingat Christian—dan sekarang, Nafa—masih tajam seperti silet.
Mereka bertiga tak pernah benar-benar satu frame. Tapi semuanya berawal dari segitiga.
Tato kecil di jari tengah— membentuk segitiga. Janji anak SMP yang naif dan penuh amarah pada dunia.
“Lo jagain punggung gue, gue jagain lo. Satu lagi? Bebas. Kita harus tetap bebas.”
Segitiga itu mereka ukir di jari dengan uang jajan pas-pasan pada malam pertama mereka kabur dari panti dan tidur di atap sekolah.
Dan bagi Marco, segitiga itu adalah lambang hidup.
---
π Hidup di Rumah Setengah Lengkap
Marco tak pernah tahu siapa ayah dan Ibunya dia di besarkan di panti asuhan
Ibu asuh mengatakan mungkin saja orang tua Marco masih hidup tapi tidak ingin memelihara Marco karena dia anak dari hubungan haram, itu yang tertulis di secarik kertas saat Marco di temukan dekat panti.
Kenyataan itu yang membuat Marco merasa dunia ini tidak adil..
Makanya, saat Christian mengulurkan tangan di kelas 7 SMP, membela Marco dari anak-anak yang mengejeknya anak tak berayah, Marco langsung merasa: ini dia keluarga yang gue pilih.
Dan mereka bertahan. Melewati masa remaja penuh pelanggaran kecil. Bolos sekolah. Naik motor butut yang mereka bongkar pasang bareng. Hingga akhirnya mereka punya nama di jalanan.
Christian jadi ketua. Marco si tangan kanan.
Dua serigala di malam yang sama.
---
πͺ Pertemuan Pertama dengan Nafa
Pekan olahraga antar sekolah. Marco duduk di tribun, menyemangati adiknya yang ikut lomba mural.
Lalu dia melihat cewek itu.
Rambut dikuncir. Kaus olahraga biru. Sorot mata fokus. Tapi setiap kali tertawa dengan temannya, dunia serasa berhenti sebentar.
Marco bahkan gak tahu siapa namanya. Tapi ia ingat perasaan itu: hangat dan menggelisahkan.
---
π₯ Retaknya Segitiga
Marco mulai merasa sendiri saat Christian makin jarang nongol. Semenjak Marco mendominasi geng motor, Christian mulai fokus ke pekerjaan baru nya menjadi diving guide.
Marco marah.
“Gue kira kita mau taklukin jalanan bareng? Lo kabur? Jadi kayak cowok mellow yang nyari ‘arti hidup’?”
Tapi Christian tak menjawab. Hanya senyum.
Senyum yang Marco benci karena terlalu damai.
Lalu suatu malam, Christian muncul lagi. Bawa motor merahnya. Dan seorang cewek.
Cewek itu.
Cewek yang pernah membuat Marco jatuh cinta dari tribun jauh.
Dan mereka gandengan tangan.
Marco merasa ditikam dua kali.
Satu karena Christian datang lagi dengan dunia barunya.
Dua, karena ternyata cewek itu milik Christian dan yang pasti akan memilih Christian
Tapi Marco menahan semua itu. Karena ia bukan pecundang.
---
πKencan Ke-3 (Nafa dan Christian)
Christian menang telak malam itu.
Marco melihat cara Nafa menatap Christian—dengan bangga. Dengan cinta.
Dan Marco tahu, ia tak bisa bersaing.
Karena sejak SMP, Christian selalu jadi pahlawan dalam cerita mereka.
Marco? Hanya sidekick yang tidak pernah dapat babak sendiri.
---
π― BALAP KEDUA – Ulang Tahun Nafa
Christian menghilang lagi beberapa minggu. Marco berpikir ia takkan kembali. Tapi kemudian ia. Entah mengapa dia melihat Nafa sangat cantik malam itu.
Marco melihat Nafa dari dekat malam itu. Senyumnya sama seperti saat dulu di tribun voli.
Dan saat tahu namanya, Nafa, Marco hampir ketawa.
“Lo nama cewek dari binder yang dulu gue tulis, Fa,” katanya dalam hati.
Tapi Nafa tidak tahu.
Nafa tidak pernah tahu Marco pernah suka diam-diam.
Dan malam itu, Nafa hanya menatap Christian.
"Hi my brother, Christian. " Sapa Marco yang saat itu sudah menjadi rivalnya " Malam ini aku pasti menang "
"Kita lihat saja" Kata Christian datar
Marco melirik Nafa. "Kalau aku menang, serahkan wanita ini padaku" Tangannya menyentuh dagu Nafa
Sebenarnya Dia tidak ingin melakukan hal itu pada Nafa. Semua dia lakukan agar Nafa mau melihat kearahnya.
Tanpa pikir panjang Nafa menerangkan sedangkan Marco
"Perempuan sialan! " Marco hendak menampar Nafa dia urungkan karena bukan itu keinginannya, hanya saja dia tidak tahu bagaimana cara nya agar terlihat keren di mata Nafa
Tangan Marco di tahan oleh Christian, Ia mengepal siap memukul Marco, namun Nafa menahan
"Christian, jangan" Kata Nafa lembut, menggenggam tangan Christian "jangan terpancing, Aku yakin kamu akan menang malam ini"
Dadanya terasa sesak seprti ada yang mencekik, sakitnya tak tertahankan saat melihat Nafa menggenggam tangan Christian
Dia meludah seraya berkata "lihat saja nanti, wanita jalang itu akan jadi milikku" Kemudian dia berlalu dengan ego-nya
---
π₯ BALAP KETIGA – Malam Janji Sepihak
Beberapa bulan berlalu. Christian tak kembali.
Marco jadi raja baru. Semua orang memanggil namanya. Bahkan rival-rival lama tak berani menantang.
Lalu kabar itu datang.
“Chris balik ke arena minggu depan.”
Marco tahu ini momen yang dia tunggu.
Ia ingin membuktikan pada semua orang, bahwa ia tidak lagi di bawah bayang-bayang Christian.
Dan ia butuh taruhan.
“Kalau gue menang… Nafa ikut gue malam ini,” katanya pelan tapi tajam.
Teman-temannya terdiam. Tak ada yang membalas.
Karena semua tahu: ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal luka yang belum pernah sembuh.
---
π Malam Kecelakaan
Christian dan Marco berdiri di garis start.
Tatapan mereka bertemu. Dan untuk pertama kalinya, Marco melihat ketakutan di mata Christian.
Balapan itu gila. Kecepatan ekstrem. Jalur licin.
Tapi Marco menang. Dengan tipis.
Nafa terdiam saat Marco menarik tangannya. Ia tak menolak. Tapi jelas, ia tidak tahu maksud dari semua ini.
Marco mengenakan jaket Christian. Helmnya.
Lalu membawa Nafa pergi, berharap dunia percaya ia adalah Christian
“Kalau dia bisa bahagia karena Christian, harusnya dia juga bisa bahagia kalau gue yang jadi Chris,” pikir Marco.
--
Sesaat Sebelum Ledakan
Motor melaju kencang. Angin malam memukul wajah mereka, tapi tangan Marco gemetar di setang.
Nafa di belakangnya diam. Ia memeluk erat. Tapi erasa seperti menjauh.
Samar terdengar "Ian pelan-pelan nanti kita kecelakaan"
Dan Marco tahu… ini salah.
Bukan soal taruhan. Bukan soal kemenangan. Tapi soal dirinya yang mencoba merebut sesuatu yang bukan miliknya—dengan cara paling keji.
Hatinya mulai goyah.
“Gue ngapain, sih…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar oleh siapa pun.
Kilasan masa lalu menyerbu:
Tawa Christian saat mereka berdua tidur di atap sekolah.
Tatapan kagum Marco saat pertama kali lihat Nafa di tribun.
Tato segitiga di jari mereka yang sekarang terasa seperti luka.
Tato yang seharusnya berarti persaudaraan, malah jadi alasan pengkhianatan.
“Lo tolol, Mar. Dia bukan milik lo. Bahkan dia gak pernah ngelihat lo.”
Ia ingin berhenti. Ingin menepi. Ingin bilang ke Nafa bahwa semua ini salah. Bahwa ia cuma cowok kesepian yang haus pengakuan.
Tapi sebelum kata-kata itu keluar sepenuhnya…
Truk besar dari arah berlawanan.
Sorot lampu. Bunyi dentuman.
Gelap.
Sinar lampu. Bunyi klakson.
BRAAAK!!!
Truk itu menabrak motor mereka
Tubuh mereka terpental. Motor terpeleset, menghantam pembatas jalan. Tangki bahan bakar pecah, meneteskan bensin ke aspal panas.
Marco mengerang, mencoba mencari Nafa.
“Fa… Fa... Lo gak papa?”
Marco tak bisa bergerak
Nafa tak menjawab. Ia pingsan beberapa meter dari tubuh Marco, Marco masih menggenggam kalung itu. Kalung yang iya ambil dari Nafa.
Air mata Marco turun.
“Maaf... aku…”
DUARRRR!!
Sebagian motor meledak. Satu bagian serpihan logam menghantam wajah Marco. Dunia tiba-tiba memerah lalu menghitam.
Sebelum semuanya benar-benar lenyap, satu kalimat terakhir lolos dari bibir berdarahnya:
“Maafin aku, Christian... Nafa Bukan ini yang aku inginkan.”
---
Kecelakaan besar itu membuat semua orang terkumpul seketika polisi berdatangan.
Para korban di amankan ke Rumah Sakit terdekat.
Sementara Nafa—yang setengah sadar dan tak berdaya —percaya pria yang membawanya kabur malam itu… adalah Christian.
Dan Marco?
Pergi tanpa sempat menebus apa pun.