Selesai dengan dibilas air, Pak Hans memberikan handuk kecil dan salep dalam kemasan botol kecil, pada Rei. Kembali duduk di meja mereka, tanpa memberi kesempatan pada Nara yang bisa melakukannya sendiri, Rei mengerikan luka Nara dengan handuk secara pelan-pelan, setelanya mengoleskan salep dengan lembut.
Nara berpikir bahwa apa yang Rei lakukan adalah bentuk rasa bersalah. Nara tidak berpikir sama sekali bahw Rei mungkin memiliki perasaan padanya walau sedikit.
Dari salah satu meja di mana Sheila berada, Sheila pun mulai bertanya-tanya perihal sikap perhatian Rei. Apa Rei memiliki perasaan pada Nara? Tapi, kadang sikapnya begitu dingin dan tidak peduli pada Nara. Benar-benar membingungkan..
Mengobati Nara pun selesai, dan Nara bernafas lega bahwa tangannya tidak perlu disentuh Rei lagi. Bukan karena jantungnya berdetak keras, melainkan Nara tidak ingin memancing emosi siapa pun.
"Sebelum pertemuan ini dibubarkan Bapak akan memberikan kalian pr yang akan dikerjakan secara kelompok! Amati 5 bahan dapur/rumah tangga dan uji apakah mereka bersifat asam atau basa. Akan dikumpulkan saat pertemuan selanjutnya!" Setelahnya kelas dibuburkan.
Rei berlalu begitu saja bersama Liam dan Affandra. Bersikap seperti tanggung jawab Rei sudah selesai, tidak ada yang perlu dilakukannya lagi. Sheila hampiri Nara yang masih terduduk di sana, memandangi lukanya yang sudah tidak terasa sepanas sebelumnya.
"Rei memang langsung mengobati luka kamu, tapi apa dia sudah meminta maaf?" tanya Sheila sembari menatap Nara.
Nara menggelengkan kepalanya. "Biarkan saja, lagi pula dia sudah mengobati luka aku. Terlebih Rei gak sengaja."
"Hanya dalam sehari Rei 2 kali membuat orang-orang semakin penasaran dengan hubungan kalian." Lalu, Sheila menghela nafas.
.
.
Malam telah datang menyapa Nara yang tengah melamun sembari memandangi luka-nya itu. Di depan tv yang menyala tapi tidak mendapat perhatian Nara. "Kerjaan kamu itu ya, kalau gak main game, nonton drakor, nonton orang korea yang nari-nari itu, melamun," kata Ibu-nya yang baru saja tiba dengan wajah selalu tak habis pikir dengan Nara. Ibu-nya ikut duduk di sofa panjang, samping Nara.
Tidak mendapat respon dari Nara yang masih saja melamun, ditepuknya lengan Nara dengan sedikit keras. Lamunan Nara pun buyar. "Sakit, Ibu!" keluh Nara.
"Belajar sana! Memangnya ada yang didapat dari melamun? Kamu tiba-tiba jadi jenius?" tanya Ibu-nya yang lebih ke menghina.
"Nara gak harus sempurna." Itulah kalimat andalan Nara saat Ibu-nya mulai marah-marah.
"Tapi, gak dengan sebodoh itu! Mau jadi apa kamu kalau nilai di rapot pas-pas'an banget gitu. Contoh lah Kakakmu itu yang sukses menjadi Dokter."
Selalu, selalu dan selalu. Ketika membicarakan kapasitas otaknya Nara, Ibu-nya berakhir membandingkan Nara dengan Almeira-Kakak Nara. Suka dibandingkan seperti itu membuat Nara kerap kali berpikir, apa ia bukan anak kandung Ibu-nya? Kalau keluarga ia yang sekarang bukanlah keluarga sesungguhnya.
"Gak semua orang seberuntung Kak Meira yang memiliki otak sepintar itu, Bu."
"Kalau gitu, berusaha!"
Nara menghela nafas. "Ibu pikir aku mau kayak gini?!"
"Kamu itu gak ada usahanya sama sekali makanya tetap aja kayak gini-gini juga."
Ibu-nya itu benar-benar tidak bisa lembut pada Nara yang sesungguhnya memerlukan support. Alih-alih bersikap tidak mau mengerti, bukankah seharusnya seorang Ibu merangkul anaknya? Memberikan pelukan hangat yang mereka butuhkan. Kata-kata yang membuat mereka semangat dalam menghadapi kerasnya dunia.
Nara yang tidak ingin melukai hatinya lebih dalam, memilih pergi dari sana. Meninggalkan Ibu-nya yang memasang wajah kesal pada Nara yang dianggapnya tidak mendengarkan kata-katanya dengan baik.
Mendudukkan diri di kursi depan meja belajar yang terdapat banyak notes yang tertempel di sana. Beberapa catatan singkat dari pelajaran yang selama ini ia coba pelajari namun tidak juga masuk ke dalam otaknya. Pada dasarnya hanya Nara yang tahu seberapa keras ia berusaha. Nara letakkan kepala di meja. Jika bukan dirinya sendiri yang mengerti, siapa yang akan mengertinya?
Tok tok tok
Nara lihat ke arah pintu yang terbuka, menampakkan Meira yang baru saja pulang. Nara tegakkan badannya, mencoba tersenyum. Meira tersenyum lembut pada adik satu-satunya itu.
Meira letakkan sebuah kotak dari merek cokelat terkenal. "Ayah memberikan 2 kotak sebagai ucapan atas naiknya jabatan Kakak, jadi Kakak akan membagi yang satunya sama kamu."
"Terima kasih, Kak."
"Ya sudah, kalau gitu. Kakak gak akan ganggu lagi." Meira kembali tersenyum, lalu menghilang dari sana.
Entah ada apa dengan keluarganya, selain Ibu-nya yang suka marah-marah, kadang menghina, sering membandingkan, Ayah-nya juga lebih perhatian pada Meira. Meira kerap kali mendapat hadiah dari Ayah-nya. Sedangkan Nara? Pernah mendapat hadiah dari Ayah-nya tapi saat ulang tahun saja, dan sejak SMP, Ayah-nya tidak pernah memberi kado ultah lagi.
Kadang, dunia terasa tidak adil untuk sebagian orang, tapi terlepas dari hal itu, seseorang harus tetap kuat dalam menjalani hidup ini.
"Apa aku lakukan tes dna saja kali ya? Siapa tahu aku beneran bukan anak Ibu sama Ayah," gumam Nara sembari menatap kotak cokelat, dengan wajah sendu.
Tiba-tiba terdengar suara notif masuk pada handphone-nya yang terdapat di meja belajar. Nara ambil handphone yang ada di hadapannya itu. Terdapat pemberitahuan bahwa Nara dimasukkan ke dalam grup chat yang isinya 4 orang oleh teman sekelasnya yang bernama Anin di mana sekelompok dengannya juga.
Anin : hello everyone
Terlihat dari nomor 08196**** sedang mengetik.
Dimas : singkat saja, siapa ketuanya?
Nara mencoba membalas : bukankah Rei sudah yang paling cocok jadi ketua?
Dimas : setuju gue
Anin : aku juga
Namun, si pemilik nama tidak juga menampakkan diri. Padahal pesan itu sampai ke Rei. Apa yang sedang dilakukannya sama tidak bisa membalas pesan? seperti itulah yang dipikirkan Nara.
Dimas : mana nih Rei .. woy, Rei
Rei akhirnya membalas : gimana kalau kasih kesempatan ke Nara?
Nara yang melihat itu menatap tak percaya. Setelahnya Anin dan Dimas tidak cepat membalas seperti sebelumnya.
Nara : ketua itu cocoknya buat yang pintar, karena tanggung jawabnya besar, kalau yang lain gak ngerti, ketua harus bisa membantu teman sekelompoknya
Tentu Nara tidak ingin dibebani dengan ketua kelompok.
Dimas : setuju
Anin : setuju (2)
Rei : sudah gak usah pakai ketua, lagian Pak Hans gak bilang harus pakai ketua
Anin : iya sih, tapi kan biar terorganisir saja kalau ada ketuanya
Rei : gue lagi malas jadi ketua
Nara : demi ketenangan bersama, gak usah pakai ketua saja
Nara pun mencoba menjadi penengah, atau mencoba membela Rei?
Anin : okay, kalau gitu, tapi mau ngerjain di mana?
Dimas : Rumah Rei, gimana? boleh kan, Rei?
Rei : terserah