Pagi ini, Ibu mengajakku pergi ke makam Bapak sebelum aku berkuliah ke Yogyakarta. Katanya Ibu mau pamer ke Bapak karena berhasil menyekolahkanku hingga kuliah. “Bapakmu harus tahu, Ra, kalau tanpa main judi aja Ibu bisa kuliahin kamu,” katanya selama dalam perjalanan di atas becak.
Sesampainya di pemakaman, kami berdua pun turun dari becak. Ibu memberikan selembar uang dua puluh ribu yang diterima tukang becak dengan senyum sumringah. Tukang becak itu bahkan mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil perlahan berjalan pergi.
Aku dan Ibu pun masuk ke pemakaman yang sepi. Ibu berjalan di depanku untuk menuntunku mencari jalan yang nyaman di pemakaman yang padat ini. Sembari berjalan Ibu juga memintaku untuk melihat ke bawah, mencari bunga kamboja berkelopak enam.
“Emangnya kalau nemu bunga kamboja kelopak enam bakal jadi kaya, Bu?”
“Bukan kaya, Ra. Tapi apa yang kamu mau bisa terkabul.”
“Lah, iya, sama aja, dong, Bu. Kalau Dara maunya kaya, kan, berarti bakal dikabulin. Tahu gitu, dulu Bapak kenapa enggak nyari bunga kamboja kelopak enam aja,” celetukku.
“Iya, ya. Pasti sekarang Ibu udah jadi ibu-ibu arisan yang gelangnya sampai ketiak, Ra,” kata Ibu membuat semburat tawa keluar dari mulutku.
Ibu yang juga tertawa men-ceples nisan Bapak. “Harusnya kamu dulu tanya aku dulu, Mas. Enggak pernah mau nurut sama istri jadi mati duluan, kan.”
Ternyata, sudah meninggalkan pun masih bisa mendapat ceples-an dari Ibu.
“Eh, ini siapa yang naruh mawar di makam Bapak, Ra? Kamu?” tanya Ibu yang membuatku segera mengecek mawar yang Ibu tunjuk.
Di bawah nisan Bapak, ada setangkai bunga mawar merah segar, seperti baru saja seseorang menaruhnya di sana. Bunga mawar yang identik dengan bentuk cinta Zaki membuatku yakin jika cowok itulah yang menaruhnya di makam Bapak.
“Iya, Bu,” jawabku berbohong.
Melupakan mawar merah itu, Ibu pun menyuruhku untuk membersihkan makam Bapak dari daun-daun kering. Sementara Ibu menyiram nisan Bapak dengan air yang beliau bawa. “Kamu masih ingat nggak, Ra? Dulu bapakmu kalau pulang narik buat makan siang pasti siram kepalanya pakai air kran.”
“Masih, Bu. Dara juga sering lakuin itu.”
“Kamu emang mirip banget sama bapakmu, Ra. Lesung pipi, suka bantu orang, pencinta hewan, bahkan sampai ngorokmu pun mirip bapakmu.”
“Kapan Dara ngorok?!”
“Kamu tidur mana tahu.”
Aku memutar bola mataku. Mungkin memang sepertinya aku sesekali pernah mendengkur. Tapi, masa sih mirip Bapak?
Masalahnya suara dengkuran Bapak begitu keras mirip seperti babi. Mana mungkin dengkuranku seperti dengkuran bapak-bapak. Ibu pasti melebih-lebihkan saja.
“Kamu tahu kenapa Bapak kasih nama kamu Dara?” tanya Ibu yang aku jawab dengan gelengan kepala.
Selama Bapak masih hidup, aku belum pernah bertanya mengapa beliau memberiku nama Dara. Pernah aku menebaknya bahwa kemungkinan karena Bapak begitu menyukai burung dara.
“Karena bapakmu suka warna merah, Ra.”
“Dara dari darah?”
Ibu mengangguk sambil mengusap-usap nisan Bapak yang basah. “Karena dalam diri kamu mengalir darah Bapak dan Ibu. Bapak yakin suatu saat nanti kamu akan jadi sosok yang pemberani dan sosok yang dibutuhkan oleh semua orang, terutama keluarga, Ra.”
Setelah menaburkan bunga ke makam Bapak, Ibu berbisik di samping nisan Bapak. “Mas. Hari ini putri kecilmu, Dara akan pergi jauh buat kuliah di Jogja. Dara mau kejar cita-citanya jadi dokter hewan. Doakan putrimu supaya jadi orang hebat dan berguna bagi banyak orang, ya, Mas.”
Air mataku menetes. Kerinduanku pada sosok Bapak kembali terasa. Kini, gantian aku yang berbisik ke nisan Bapak.
“Bapak…Dara udah besar. Dara udah enggak pernah ngompol lagi karena takut ke kamar mandi malam-malam. Sekarang, Dara izin pamit untuk kejar mimpi Dara jadi dokter hewan. Doain supaya Dara bisa bikin klinik hewan bareng Mas Yanto seperti yang pernah kami bicarakan malam itu, Pak, di meja makan. Bapak masih ingat, kan?”
Sebelas tahun lalu, makan malam terakhir bersama Bapak. Malam itu kami hanya makan tahu dan tempe goreng yang dipenyet dengan sambal bawang. Meskipun begitu, kami sangat menikmati masakan Ibu yang sederhana.
“Bapak. Tadi siang Dara udah cuci handuk Bapak, jadi besok kita ke THR, ya?”
“Yanto baru ambil rapor besok. Kalau Yanto enggak ranking satu kita nggak bakal…”
“Pasti ranking satu, Mas,” ucapku memotong kalimat Mas Yanto yang terdengar putus asa bahkan sebelum tahu hasilnya.
Aku tahu betul bagaimana perjuangan Mas selama ini. Dia selalu belajar di mana pun tempatnya. Bahkan saat mengawasiku bermain di lapangan kampung bersama teman-teman, Mas tetap membawa bukunya. Dibanding bermain, dia memilih untuk belajar sembari sesekali mengawasiku karena itu adalah perintah Bapak.
Mas Yanto adalah orang terpintar yang pernah aku temui. Selama ini dia selalu bisa menjawab rasa penasaranku dengan jawaban yang tidak memaksakan dan mudah untuk aku pahami. Dia bahkan bisa mengajariku mengerjakan lima butir soal matematika yang membuatku menangis karena tidak bisa mengerjakannya sendirian.
Dibalik kepintarannya, Mas Yanto punya satu kekurangan, yaitu kurang teliti. Mas Yanto selalu berakhir di peringkat dua karena kurang teliti ketika menghitung atau membaca soal. Dia selalu diburu-buru waktu ingin menjadi yang pertama. Namun, janji Bapak yang mengatakan akan mengajak kami bermain ke THR jika Mas Yanto berhasil mendapat ranking pertama pasti telah membuatnya berubah. Aku yakin kali ini dia akan mendapat ranking pertama untuk pertama kalinya.
“Besok kita semua bakal senang-senang. Main semua permainan yang ada,” ucap Bapak membuatku dan Mas Yanto saling bertukar pandang memberikan wajah bahagia.
“Katanya di sana ada mainan boom-boom car, ya, Pak?” tanya Mas Yanto terlihat excited.
“Ada dong. Permainan di sana banyak banget. Ada roller coaster, rumah hantu, kereta, sama boom-boom car juga ada.”
“Nanti kamu lawan aku, Ra,” kata Mas Yanto sambil mengangkat dagunya untuk menantangku.
“Siapa takut?” kataku sambil melipat kedua tangan di depan dada, lalu ikut mengangkat dagu.
Bapak dan Ibu tertawa melihat tingkah kami berdua.
“Kalau Dara, sih, besok mau beli gulali. Boleh, kan, Pak?”
“Boleh. Besok adalah hari yes buat kalian berdua.”
“ASIK!!” sorakku dan Mas bersamaan.
“Nanti kalau kita besar, Mas bantuin Dara bangun klinik hewan, ya. Mas, kan, mau jadi arsitek. Nah, bisa tuh Dara jadi klien pertamanya. Terus, nanti Dara jadi dokter hewan di sana. Bapak sama Ibu enggak perlu capek-capek kerja, deh.”
“Tapi aku dibayar, kan, Ra?” tanya Mas membuatku terdiam.
Aku meringis sambil menggaruk-garuk belakang kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. “Emangnya nggak bisa gratis, ya, buat adik Mas satu-satunya yang cantik ini?”
Mereka semua malah tertawa mendengar pertanyaanku.
Sekarang, setelah sebelas tahun berlalu, meja makan kami tidak pernah seramai dulu. Tidak ada Bapak yang selalu membuat lelucon atau bercerita horor dan juga tidak ada Mas Yanto yang tetap membawa bukunya. Bahkan mulai besok sudah tidak ada aku yang cerewet menceritakan semua kegiatanku. Meja makan kami hanya akan tersisa Ibu yang tidak bisa mengomel dan men-ceples kami bertiga yang tidak kunjung memakan masakan beliau.
“Ra, barang-barang kamu udah aku angkut ke mobilnya Vania. Dia juga udah nungguin di depan,” kata Nando saat masuk ke kontrakan menemuiku yang terdiam menatap meja makan.
“Makasih, ya, Ndo. Bentar lagi aku keluar.”
“Yaudah, aku tunggu di luar, ya.”
Setelah kepergian Nando, aku pergi ke kamarku yang beberapa barangnya sudah aku kemasi. Dua tahun lamanya kamar ini telah menjadi saksi bagaimana Dara yang tanpa ekspresi akhirnya mekar kembali.
Merasa cukup melihati kamar yang kosong itu, aku pun menutupnya dan berjalan keluar karena orang-orang pasti sudah menungguku. Namun, langkahku terhenti saat melihat foto keluarga yang Ibu pajang di atas televisi. Foto keluarga yang memiliki noda darahku itu tetap Ibu pajang karena itu satu-satunya foto keluarga yang kami punya. Mungkin, keluargaku memang sudah tidak utuh seperti dalam foto itu, tetapi aku masih bisa merasakan cinta dan kasih sayang kami yang masih utuh.
Aku memotret foto keluarga itu dengan kamera ponsel.
“Kamu bawa aja fotonya, Ra,” kata Ibu yang menyusulku karena tidak kunjung keluar.
“Udah Dara foto. Yang asli buat Ibu aja,” kataku sambil memperlihatkan hasil jepretanku.
Ibu tersenyum lebar. Cukup lama Ibu menatapku tanpa mengucapkan satu kata pun. Mata Ibu terlihat berkaca-kaca. Pasti Ibu merasa berat sekali karena aku pun harus pergi meninggalkan beliau sendirian.
“Ra. Sering-sering telepon Ibu ya, kalau kamu lagi senggang. Terus tiap libur semester main ke Surabaya, ya? Temenin Ibu makan,” kata Ibu dengan suara serak sambil mengusap-usap rambutku.
Melihat Ibu berkaca-kaca membuatku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku. Air mataku bahkan menetes tanpa sempat bisa aku tahan. Suaraku tercekik dan hanya bisa membalas perkataan Ibu dengan anggukan kepala.
“Air mata kamu, kok, masih ada aja, sih, Ra?” celetuk Ibu sambil menghapus air mataku yang tidak bisa berhenti menetes. “Sudah, yuk. Nanti kamu ketinggalan keretanya.”
Lagi-lagi aku cuma bisa menganggukkan kepala.
Kini, setelah sebelas tahun berlalu, Ibu kembali menggenggam tanganku untuk keluar dari persembunyian kami. Ibu menggenggam tanganku dengan kuat sambil tersenyum meskipun matanya berkaca-kaca. Akan tetapi, kali ini kami tidak lagi pakai baju serba hitam seperti dulu, melainkan warna merah.
Hari ini, aku telah benar-benar melepas ikatan trauma yang selama ini mencekik leherku. Tidak akan ada lagi Dara tanpa ekspresi, tidak akan ada lagi Dara pembenci merpati, dan tidak akan ada lagi darah yang menetes. Mulai hari ini, Dara akan kembali hidup dengan darah yang telah kembali bersih.
TAMAT