Bau kotoran merpati perlahan hilang. Aku sudah tidak lagi menggigil setiap malam karena terlalu sering bermain air. Namun, aku masih merasa waswas setiap kali keluar rumah, takut jika kotoran merpati kembali menimpaku. Apalagi saat aku menyadari jumlah merpati di lingkungan tempat tinggalku semakin bertambah. Bekupon-bekupon mulai terlihat menghiasi atap rumah warga. Lingkungan ini sudah tidak lagi aman, untukku.
Satu-satunya cara agar kepalaku aman dari kotoran merpati ialah dengan mengenakan payung setiap kali keluar rumah.
Bulan Oktober ini, hujan sesekali menyapa. Langit selalu mendung namun hujan belum tentu turun—cuaca yang menyejukkan sekaligus membingungkan bagi manusia. Ada yang maju mundur untuk jalan-jalan keluar rumah, ada yang sudah menenteng payung dengan sia-sia, dan ada yang terus memanggil pawang hujan agar acara pernikahan mereka berjalan lancar. Namun bulan ini juga ada aku yang membingungkan bagi ibu-ibu kepo karena mengenakan payung saat langit mendung.
“Gorong udan lapo gawe payung, Mbak Dara?”
“Biar nggak gosong, Bu.”
“Gosong teko endi, Mbak? Langit e mendung ngene,” ucap salah satu dari mereka yang berhasil mengundang gelak tawa.
“Meskipun mendung, kulit kita juga masih bisa kebakar. Itu lihat aja tangan ibu-ibu pada merah karena kelamaan ngerumpi di luar,” jawabku yang membuat mereka sontak terdiam dan saling beradu pandang.
Salah satu dari mereka lalu tertawa, “Arek enom saiki ancen out of the box. Srengenge ae nggak onok kok isok gosong?”
“Ot op gedebok iku opo, Mbak?”
“Out of the box, Mbak. Guduk gedebok.”
“Ora isok boso Enggres aku.”
Gelak tawa terdengar. Mereka sibuk sendiri membahas keluguan salah satu anggota mereka sehingga aku bisa melarikan diri.
Aku pun segera berjalan untuk pulang. Namun sesampainya di depan kontrakan, aku dikagetkan dengan kedatangan Zaki. Cowok itu berdiri di depan pagar sambil celingak-celinguk. Saat dia melihat kedatanganku, Zaki segera mendekatiku.
“Ra..”
“Kamu ngapain ke sini?”
Zaki tidak menjawab pertanyaanku. Cowok itu memegang kedua lenganku, mengecek seluruh badanku yang baik-baik saja. Lalu dia juga menempelkan punggung tangannya pada keningku, “Kamu sakitkah, Ra?”
Segera aku menepis tangannya menjauh dariku. Zaki terlihat terkejut dan mencoba mendekatiku, tapi aku segera melangkah mundur.
“Pulang aja, Ki.”
“Kamu kenapa, Ra? Semingguan ini nggak ada kabar.”
“Jangan temui aku lagi! Kita nggak sedeket itu.”
“Setelah kecupanmu malam itu?” tanya Zaki dengan keningnya yang mengerut. Dia menatapku seolah tidak percaya aku menyebut hubungan kami tidak dekat.
“Maaf kalau itu berarti buat kamu, tapi enggak buat aku. Cukup sampai sini aja, Ki. Sekarang kita jalani hidup kita masing-masing,” kataku membuat Zaki terkekeh, dia membuang mukanya. Untuk pertama kalinya Zaki tidak menjatuhkan pandangannya padaku. Rasanya begitu aneh. Seolah hatiku berkata bahwa aku ingin terus ditatap olehnya.
Namun tetap pada pendirian bahwa aku tidak boleh menerima apa pun bentuk kebahagiaan termasuk cinta dari Zaki, maka aku pun melangkah maju untuk masuk ke kontrakan. Langkahku dihadang olehnya. “Kita bahkan baru mulai, Ra. Secepat itu kamu mengakhirinya?”
Aku hanya bergeming.
“Sore itu saya nunggu satu jam lebih, tapi kamu bahkan nggak keluar. Se-enggaknya bilang ke saya kalau kamu emang mau batalin janji kita. Seminggu ini saya juga selalu hubungi kamu, tapi enggak pernah satu pun ada balasan dari kamu, Ra. Kalau emang dari awal kamu menganggap semua yang kita lakuin enggak ada artinya, jangan kasih saya harapan. Jangan persilakan saya masuk ke dalam hidupmu!”
Untuk pertama kalinya aku melihat wajah Zaki yang tidak bersahabat. Keningnya terus mengerut dengan sorot matanya yang begitu tajam. Suara Zaki juga tidak selembut yang selalu aku dengar selama ini.
“Aku pernah bilang ke kamu kalau aku benci kebahagiaan yang sementara.”
“Tahu dari mana kamu kalau kebahagiaan yang pernah kamu dapetin itu sementara?”
“Enggak ada kebahagiaan yang abadi di dunia ini, Ki.”
“Enggak! Kamu salah, Ra. Kamu sendiri yang bikin kebahagiaan itu jadi sementara. Kamu sendiri yang menolak kebahagiaan itu karena kamu selalu ingin jadi manusia dengan nasib yang paling buruk.”
Aku terkejut mendengar perkataan Zaki. Tega sekali dia berkata seperti itu saat aku mati-matian bertahan dari nasib buruk ini?
Zaki kembali terkekeh, “Saya nggak salah kan, Ra? Kamu emang terlihat nyaman dengan hidup penuh traumamu itu.”
“Maksud kamu apa, Ki? Siapa yang mau hidup dengan trauma?!”
“Kamu, Ra! Kamu suka hidup penuh dengan trauma.”
Jawaban Zaki membuat hatiku sakit. Tidak pernah aku mendapat kalimat menyakitkan seperti ini.
Mataku sudah berkaca-kaca sejak tadi. Untungnya payung merah yang aku gunakan ini berguna menjadi tameng agar Zaki tidak bisa melihat mimik wajahku. Rasanya akan begitu memalukan jika Zaki menyadari aku sedang menahan tangis. Namun, payung merah ini tidak akan bisa menyembunyikan tangisku yang sudah tidak bisa lagi aku bendung. Sebelum air mataku turun, aku segera melangkah pergi dari hadapan Zaki. Aku tidak mau lagi terlihat cengeng di hadapannya.
Kepergianku juga tidak lagi ditahan oleh Zaki, cowok itu malah berteriak, “Kamu akan kalah sama traumamu itu kalau kamu enggak lawan, Ra!”
Aku kembali bersandar di balik pintu. Jika malam itu aku tersenyum bahagia memegang bibirku, kini aku menangis kencang sambil memegang payung yang masih terbuka. Semua yang Zaki ucapkan begitu menyakitkan untukku. Cowok itu tidak pernah tahu bagaimana aku dengan susah payah bertahan untuk tetap hidup dengan semua trauma masa lalu. Dia tidak pernah tahu bagaimana aku terus mencoba untuk meyakinkan diriku bahwa hidup akan berjalan baik-baik saja. Zaki hanya tahu bahwa aku adalah manusia yang hidup berdampingan dengan trauma masa lalu.
“Kenapa nangis, Ra?” Tiba-tiba saja Ibu keluar dari kamar dan menghampiriku. Wajah beliau terlihat begitu khawatir, namun aku tidak bisa menjawabnya.
Ibu mengintip dari balik jendela. Terdengar suara motor Zaki dari luar yang perlahan menghilang. “Kamu habis berantem? Kenapa? Cerita sama Ibu.”
Tangisku semakin kencang. Payung yang sedari tadi aku pegang telah aku jatuhkan. Lantas aku berlari masuk ke dalam kamar. Aku curahkan semua rasa sakit yang menusuk hatiku di balik selimut. Begitu kencang. Begitu sesak. Begitu lama. Zaki begitu jahat.
Sore ini aku tidak lagi melihat Zaki yang selalu mengatakan ‘Saya orang baik, Ra’. Mungkin Zaki yang itu sudah mati atau mungkin dari awal Zaki yang itu memang tidak sebaik ucapannya. Lagi pula mana ada orang jahat mengakui kejahatannya, sama juga dengan orang baik yang tidak akan menyadari kebaikannya.
Lucu sekali, selama ini aku telah tertipu oleh ucapan Zaki.
Mungkin aku juga telah tertipu oleh kebaikannya yang telah meluluhkan hatiku. Memoriku tentang Zaki yang menghiburkan dengan nyanyian, memoriku tentang Zaki yang memberiku mawar curian, hingga memoriku tentang Zaki yang mendengarkan ceritaku tanpa cacian sepertinya hanya sebuah mimpi buruk yang aku alami beberapa bulan terakhir. Dan sekarang aku ingin bangun dari mimpi buruk ini.
Tapi semakin aku mencoba bangun dari mimpi buruk ini, aku semakin merasa semua ini begitu nyata. Kebaikan Zaki adalah sebuah kenyataan. Ibu pun mengakuinya.
Dua minggu sebelum aku mendaratkan kecupan di pipinya yang dingin, Zaki pernah membantuku.
Siang itu, debt collector datang menagih hutang. Kebetulan Ibu sedang pergi menjenguk Mas sehingga aku yang menjamu mereka. Aku sudah katakan dengan baik-baik bahwa hutang itu akan kembali kami cicil setiap bulannya, namun mereka malah mengamuk hingga menjatuhkan cucian Ibu yang tergantung di teras. Alhasil cucian Ibu kembali kotor.
Tentu saja aku tidak terima sehingga aku layangkan protes kepada mereka dengan berani, tapi protesanku sepertinya hanya sebuah kicauan burung bagi mereka. Dengan senyum sinisnya, mereka menghinaku. Bahkan salah satu dari mereka berani memegang pergelangan tanganku sambil mengatakan jika aku tidak segera bisa melunasi hutang, tubuhku sebagai gantinya. Debt collector cabul!
Saat aku berusaha melepaskan genggaman tangan yang cukup kuat itu, tiba-tiba Zaki datang menghajar debt collector cabul dengan sekali pukulan. Teman debt collector membalas pukulan Zaki, tapi dengan mudah Zaki menghindarinya dan secepat kilat kedua debt collector itu telah merangkak gopoh pergi dari hadapan Zaki. Siang itu, aku baru tahu ternyata Zaki jago bela diri.
“Kamu gapapa, Ra?” tanyanya memegang pergelangan tanganku yang merah.
“Kamu kenapa bisa di sini?” tanyaku balik sambil menarik tanganku dari genggaman Zaki.
Dia tersenyum. Kemudian Zaki memutar gitarnya ke depan. “Saya lagi rajin ngamen,” jawabnya, lalu menggenjreng sinar gitar.
Aku mengajaknya masuk ke teras, melihat cucian Ibu yang telah kotor terkena tanah.
Betapa terkejutnya aku saat Zaki memberikan gitarnya padaku sementara dia mengangkat cucian itu ke bak. Zaki duduk di dengklek kecil yang biasanya Ibu gunakan untuk mencuci pakaian. Saat aku menyuruhnya berdiri, Zaki menyuruhku pergi. “Kamu duduk aja, Ra. Tangan kamu, kan, lagi sakit.”
“Tapi ini bukan tanggung jawab kamu, Ki.”
“Masa saya biarin kamu cuci ini? Nggak gentleman,” katanya sambil mulai mengucek cucian Ibu yang kembali kotor.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maka aku duduk di sampingnya, menemaninya.
Saat aku merasa sungkan, Zaki malah tersenyum lebar. Dia bahkan mengajakku bermain perang busa sabun seperti anak kecil.
Satu jam kemudian, Zaki telah selesai menjemur cucian sebanyak satu bak penuh. Dia langsung terduduk lemas di sofa ruang tamu. Aku pun memberinya minum dan sepiring nasi. Kali ini Zaki yang menerimanya dengan sungkan. “Jadi ngerepotin, Ra,” ucapnya sambil mengambil sepiring nasi dariku.
“Aku yang udah ngerepotin kamu.”
“Yaudah berarti kita seri,” katanya, lagi-lagi tersenyum lebar. Lalu dia mengisyaratkan untuk izin memakan sepiring nasi yang aku jawab dengan anggukan kepala. Zaki memakannya dengan lahap.
Siang itu, setelah menghabiskan makan, Zaki pamit pulang. Katanya dia mau melanjutkan mengamen di taman. Aku mengucapkan terima kasih atas bantuannya, tapi Zaki selalu mengatakan kami seri hanya karena aku memberinya sepiring nasi. Zaki juga berpesan jika debt collector cabul datang lagi, aku harus menghubunginya agar dia bisa menjagaku. Memangnya dia pengawalku?
Kebaikan Zaki hari itu diketahui Ibu yang menyadari cucian beliau masih mamel selepas pulang dari lapas. Aku pun menceritakan kebaikan Zaki kepada Ibu. Mendengar ceritaku, Ibu pun mengatakan jika beliau ingin bertemu dan berterima kasih langsung pada Zaki. Katanya Ibu ingin memasakkan makanan yang enak untuk Zaki sebagai balas budi.
Pada akhirnya aku tidak bisa menyangkal bahwa memoriku tentang Zaki bukanlah mimpi buruk. Semua yang dia berikan kepadaku; senyum lebarnya, kebaikannya, dan keberadaannya adalah kenyataan. Dan sekarang aku tidak ingin bangun dari kenyataan ini, aku ingin bersama Zaki selamanya.
Pintu kamarku terbuka. Ibu masuk dan mendekatiku. Aku segera berhambur ke pelukannya, masih dengan wajah yang basah.
“Bu, Dara berhak buat bahagia, kan?” tanyaku dengan suara tersengal-sengal.
Ibu terus mengusap rambutku. Usapan itu cukup membuatku menjadi lebih tenang.
“Sudah sembilan tahun, Ra, kamu harus melanjutkan hidup kamu. Bapak pasti bahagia di sana kalau lihat putri kecilnya sekarang sudah besar dan ceria kayak dulu lagi.”
“Emangnya Bapak nggak marah kalau Dara bahagia?”
“Bapak marah kalau kamu nggak bahagia.”
Jawaban Ibu membuatku teringat akan ucapan Zaki yang menyebut jika aku terlalu nyaman dengan trauma masa lalu. Aku terlalu menutup diri dari kebahagiaan baru hanya karena aku merasa hidupku telah mati sejak sembilan tahun lalu. Semua yang aku rasakan sekarang adalah akibat dari jiwaku yang tidak pernah mau bergerak maju. Selama ini hanya ragaku yang melanjutkan hidup hingga aku kehilangan jiwaku, aku kehilangan semuanya.
Sekarang aku ingin hidup lagi. Aku ingin merasakan dan terus mendapatkan kebahagiaan. Maka dari itu, aku akan mematikan trauma masa lalu yang telah mencekikku selama sembilan tahun.
Payung merah yang telah terkatup kembali aku buka.
Malam ini semua orang telah tertidur lelap. Tidak ada ibu-ibu yang bergosip, tidak ada anak-anak yang sedang main kejar-kejaran, tidak ada pengendara maupun pedagang yang lewat, juga tidak ada pemuda dan bapak-bapak yang sedang memandikan merpati. Mereka semua sedang menikmati malam yang dingin dengan bermimpi indah.
Merpati-merpati juga tidak mau kalah. Malam ini mereka juga sedang menikmati malam yang dingin dengan makan malam enak dari perempuan berpayung merah.
“Selamat makan.”
* * *