Rhesya berlari menuju kelas IPS 2 di jam istirahat kedua. Jam istirahat yang sedikit lebih panjang daripada jam istirahat pertama. Apa lagi tujuanya jika tidak ingin bertemu Genta. Lelaki itu tidak datang menjemputnya tadi pagi. Rhesya pun sadar jika kemarin sore mereka baru saja terlibat pertikaian di bawah air hujan. Ia tidak akan lupa.
Rhesya melongok jendela kelas Genta yang sedikit sepi karena beberapa anak pergi menuju masjid sekolah untuk beribadah dan ada pula yang berkerumun di kantin atau lapangan. Tetapi Rhesya tidak melihat Genta sama sekali di dalam sana. Baru ketika ia sampai di ambang pintu, tiba-tiba Lana keluar dari dalamnya, bersama Alvian.
“Sya? Cari Genta?” tanya Alvian.
“Iya, Kak.”
“Nggak masuk. Demam katanya.”
“Demam?”
“Emang lemah banget, baru kena air hujan dikit aja demam.” Alvian bergumam sendiri.
“Nggak ngasih tahu lo?” Lana giliran bertanya.
“Nggak, Kak Lana.”
“Kenapa, tumben?” Alvian jadi ikut penasaran.
“Em…”
Alvian mengangguk-angguk mengerti seolah menjawab pertanyaanya sendiri, padahal Rhesya belum sempat menjelaskan apa-apa. Alvian lebih sering mendengar curahan hati Genta ketimbang anak-anak yang lain. Ia pasti akan lebih mudah memahami jika keduanya sedang betengkar. Apa lagi masalah mereka ketika sedang tidak berkomunikasi, kalau tidak bertengkar?
“Sya?”
Rhesya memutar badan. Ethan. Pria itu sudah berdiri di belakang tubuhnya, dengan satu tangan ia tenggelamkan ke dalam saku celana. Seolah mengerti jika mereka berdua butuh waktu sendiri, Alvian cepat mendorong tubuh Lana supaya pergi meninggalkan ambang pintu. Meskipun Lana kebingungan, namun pria itu tidak juga berontak dan menanyakan apa yang terjadi.
“Kak Ethan?”
“Ada apa?” tanya Ethan.
“Em, Kak Genta…”
Ethan menghela napas. Ia sudah dapat memahami hanya dari melihat ekspresi Rhesya yang gugup dan gusar ketika menatapnya. Genta pasti tidak selamban itu untuk mengetahui fakta apa yang tengah terjadi di sini. Ethan meraih pergelangan tangan Rhesya, lantas menuntunya pergi meninggalkan lorong kelas IPS, yang pastinya akan menimbulkan gosip jika terlalu banyak anak yang melihat Ethan berbicara dengan seorang wanita.
Rhesya hanya bisa mengikuti ke mana Ethan membawanya menghindar dari kerumunan. Ia tidak berhenti memandang tangan Ethan ketika menggenggam pergelangan tanganya. Bagaimana cara pria itu menangkup tanganya yang kecil pada telapak tangan Ethan yang besar. Rhesya tersenyum samar. Ia tahu perlahan ini akan menjadi terakhir. Sebelum beberapa keputusan harus segera ia ambil.
Keduanya berhenti di lapangan sepak bola yang sepi. Hanya ada beberapa anak yang duduk-duduk di pinggir seberang. Jarak mereka begitu jauh, sehingga tidak mungkin anak-anak itu melihat Ethan dan Rhesya dengan jelas. Ethan melepas cekalan tanganya dari Rhesya, lantas berbalik.
“Genta udah tahu? Dia hari ini nggak berangkat. Kenapa dia bisa sakit?”
“Kemarin Kak Genta pulang hujan-hujanan di motor.”
“Sama lo juga? Lo juga sakit?” Ethan menempelkan punggung tanganya pada kening Rhesya.
Kedua mata mereka bertemu dalam teduh pohon kersen yang rimbun. Angin-angin pukul 12 siang membuat keduanya hanyut dalam suasana yang terasa begitu aneh. Mereka pernah berpelukan di pinggir kolam renang, dengan pernyataan cinta bagai angin lalu dari mulut Ethan yang membuat Rhesya sesak.
Perlahan, Rhesya meraih tangan Ethan. Ia menurunkan tangan itu dari keningnya, lantas ia genggam erat. Sedang tatap teduh mata Ethan masih menyambut dalam mata Rhesya yang tidak dapat melepaskan pandangan dari pria itu.
“Gue baik-baik aja, Kak.”
“Syukur kalau gitu,” lirih Ethan.
“Kak Genta, udah tahu semuanya. Gue bingung harus apa. Gue udah terlalu dalem masuk di kehidupan Kak Genta. Gue buat dia kecewa, sorry. Gue nggak bisa nepatin permintaan lo Kak Ethan.”
“Jangan minta maaf, Sya. Biar gue bantu bicara ya sama Genta. Gue jengukin dia nanti balik sekolah. Gue bisa lewatin latihan Ardyaksa.”
“Bukanya Ardyaksa mau lomba juga perwakilan kota? Kak Ethan pasti sibuk banget akhir semester ini.”
“Gue nggak pernah bolos latihan. Gue bisa bilang Saka, biar dia sampaiin ke Leon. Gue nggak bisa biarin hubungan kalian berantakan gara-gara gue. Jangan sampai masalah Hito keulang lagi.”
“Ini bukan gara-gara lo Kak Ethan. Ini karena gue…” Rhesya menunduk, menekuri rumput yang mulai mencuat panjang, “karena gue yang tiba-tiba suka sama lo. Karena gue yang tiba-tiba jatuh cinta sama lo. Salahin gue aja, Kak.”
Ethan menepuk pelan kepala Rhesya, membuat empunya merona tanpa berani mendongak menatap Ethan. Apa benar ini sentuhan tangan Ethan di kepalanya? Sebelum tiba-tiba usapan itu berubah menjadi sentilan lembut yang membuat Rhesya meringis kecil.
“Nggak usah ngomong aneh-aneh. Lo udah jadi bagian dari kita, karena lo bentar lagi bakalan jadi pacar Genta. Kayak Aureen yang jadi pacar Hito. Atau Bila yang jadi pacar Izal. Kita bisa nyelesaiin semuanya sama-sama.” Ethan tersenyum lembut. Senyum yang membuat Rhesya berharap jika masih ada kesempatan lagi dan lagi. Padahal itu akan sangat mustahil datang kepadanya.
“Gitu ya…” Rhesya menunduk kembali.
“Sya, Genta itu bukan Hito yang emosian. Dia paling sabar di antara kita, kalau lo pengen tahu…” Mendengar sepenggal kalimat tentang Genta dari Ethan, Rhesya akhirnya mendongak, memerhatikan bicara pria itu, “dia nggak pernah bisa pakai kekerasan kalau marah. Dia bakalan lebih banyak ngehindar, kayak sekarang. Tindakan dia kali ini, gue nggak pernah anggep itu cara pecundang buat kabur dari masalah. Dia bukan manusia yang suka nyelesaiin masalah pakai marah-marah. Dia bahkan biasa lepasin emosinya ke dirinya sendiri, bukan ke orang lain. Lemahnya cuma, dia jadi banyak ngerendahin diri, dan mikir kalau dia nggak berguna.”
“Benalu…” Rhesya menyambung kalimat panjang Ethan lirih, “dia selalu anggep dirinya sendiri cuma tanaman parasit. Kak Genta nggak pernah mau terbuka sama dunia, dia selalu nahan dirinya sendiri buat keluar dari zonanya.”
“Karena itu Genta, Sya. Makanya gue selalu minta lo jangan kecewain dia. Genta orangnya baik banget. Dia orangnya nggak aneh-aneh. Dia nggak pernah maksain sesuatu. Gue yakin lo juga pasti mulai ada perasaan sama dia, meskipun lo selalu ngehindarin itu karena masih ada gue. Tapi, Sya…”
“Kak Ethan…” potong Rhesya menatap bola mata Ethan, “suka sama lo bukan suatu kesalahan kan, Kak? Bukan suatu dosa, kan? Gue cuma benci kenapa semuanya bisa terlambat.”
Ethan meraih pundak Rhesya, “gue bersyukur, gue pernah jadi bagian di hidup lo Rhesya. Meskipun cerita kita cuma sebatas ini, sebatas hysteria sama Dufan, tapi Sya… Setiap sama lo, gue nggak akan pernah lupa momen berkesan itu. Makasih banyak, Sya. Lepasin gue ya. Ada orang yang lebih sayang sama lo, orang yang bisa kasih lo kepastian daripada gue yang gila ngejar masa depan, sampai lupa perasaan gue sendiri.”
Rhesya mengangguk meskipun berat. Setidaknya, ia mendapatkan pengakuan luar biasa dari orang yang selama ini ia cintai diam-diam. Orang yang selama ini ia perhatikan dari jarak jauh, orang yang membuatnya menghadapi pedihnya kenangan hysteria. Seseorang yang membuatnya tidak pernah berhenti tersenyum, hanya dari melihat tawanya ketika menjahili orang-orang.
“Maaf ya, Kak.”
“Nggak papa. Gue baik-baik aja.”
***
Genta melepaskan satu petikan nada senar pada gitarnya. Pria itu hanya mencoba menghilangkan sisa demam semalam dengan menyetel kunci-kunci gitarnya di balkon dengan angin yang bergerak tenang di sore hari pukul setengah lima. Tidak lupa juga susu putih yang setengah mendingin di atas meja.
“Ta, kamu belum makan.” Erlie membuka pintu balkon, yang ketujuh kalinya untuk mengingatkan putranya yang sudah mirip seperti mayat hidup. Pria itu sudah tinggal tulang, kini ketambahan tidak mau menyentuh nasi sedikitpun.
“Nanti, Bun.”
“Demam kamu itu kapan turun kalau nggak makan juga. Pakai hoodie-nya. Angin di luar dingin banget, Ta. Nanti pusing lagi.” Erlie masih tidak lelah membujuk putranya, sampai ia beringsut ikut duduk di sofa sebelah Genta.
“Nanti Bun, masih minum susu.”
“Ta, kamu ini kenapa? Nggak baisanya begini.”
Genta masih fokus dengan senar-senar gitarnya. Menulikan telinga dari pertanyaan Erlie, sambil membunyikan nada intro sebuah lagu tanpa menatap wanita yang mulai merasa khawatir padanya. Tidak mau tahu, Erlie menahan senar gitarnya menggunakan telapak tangan, yang membuat bunyi nada itu berhenti dan mau tidak mau Genta menoleh menatapnya.
“Cerita sama Bunda. Jangan begini, Genta.”
“Nggak papa, Bun. Nanti Genta pasti makan.”
“Kamu nggak pernah begini, Genta. Tolong cerita sama Bunda ya, Nak. Ada apa?” Erlie meraih kening pria itu. Diusapnya rambut Genta yang bergerak-gerak tertiup angin. Genta menyerah. Ia menurunkan gitarnya dari pangkuan, lantas ia pindahkan ke sudut tembok di belakangnya.
“Emang bisa ya Bun, dua orang nggak saling kenal, terus jatuh cinta?” tanya Genta.
“Hem? Bisa jadi, kenapa enggak?”
“Kenapa Bunda sama Ayah nggak bisa?”
Erlie diam. Ucapan Genta yang tiba-tiba itu membuatnya ragu untuk menjawab. Bahkan Erlie pun bingung sendiri dengan perasaanya. Ia menatap dua mata Genta yang terlihat begitu terluka.
“Kenapa Genta harus ngerasain apa yang Bunda rasain dulu? Kenapa harus Genta?”
“Ta…” Erlie meraih pergelangan tangan anak itu.
“Bunda udah punya tiga anak, Bunda udah punya satu cucu. Kenapa juga Bunda belum bisa jatuh cinta sama Ayah? Kalau Bunda aja nggak bisa percaya sama cinta sebuah perjodohan, dan Bunda masih cinta sama orang di masa lalu Bunda, yang mana itu adalah cinta pertama Bunda, kenapa justu imbasnya ke Genta sama kakak-kakak Genta. Kenapa, Bun?”
“Genta, kamu mana bisa paham, Ta?”
“Genta udah ngerasain itu, Bun. Udah, dan apa sekarang Bunda puas? Kenapa Bunda bikin Genta kayak gini? Genta sama Kak Tsania nggak minta dilahirin gini, Bun? Kita cuma mau lahir dari dua pasang manusia yang jatuh cinta. Nggak lebih.”
Erlie menundukan kepala, sambil kedua tanganya mengusap-usap pergelangan tangan Genta yang kurus. Ia memikirkan kebodohanya kali ini. Membangun rumah tangga tanpa cinta memang hal yang begitu tidak wajar. Mempunyai tiga orang anak dan satu cucu, tanpa menjalani indahnya pernikahan atas dasar cinta dan suka sama suka memang membuatnya banyak diliputi marah dan benci. Dendam yang tanpa ia sadari telah berimbas pada anak-anaknya sendiri. Erlie mungkin salah, mungkin.
“Genta, Bunda udah banyak belajar buat mencintai ayahmu. Tapi memang semuanya sulit, Genta. Semuanya butuh waktu, Ta. Siapa yang menginginkan perjodohan itu?”
“Pun sama halnya Genta, Bun. Apa Genta mau?”
“Rhesya orang yang baik buat kamu, Ta.”
“Itu pemikiran yang sama seperti nenek dulu waktu jodohin Bunda sama Ayah, kan? Nenek juga pasti ngira Ayah orang yang bisa bahagiain Bunda dan tepat buat Bunda. Secara finansial, benar. Secara fisik, tercukupi semua kehidupan Bunda.Tapi hati? Batin? Apa Bunda ngerasain cintanya? Bukanya nggak, sampai Genta sebesar ini? Tolong, Bun. Genta udah nggak bisa lanjutin ini lagi. Genta cinta Rhesya, tapi Genta nggak bisa maksain kalau ternyata Rhesya punya cinta pertama yang pasti bakalan susah buat dihapus di hatinya. Genta nggak bisa, Bun.”
Erlie mendongakan kepala, dengan mata berkaca menatap Genta. Ia begitu terkejut mendengar ucapan pria itu. Jadi, ini yang membuat Genta seputus asa itu? Genta sudah jatuh hati pada Rhesya. Erlie hampir tidak menyangka jika ia bisa mendengar kata cinta dari putranya. Ia meraih wajah Genta.
“Genta, kamu mau menyerah?” tanya Erlie hati-hati, “kamu lebih penting dari apapun, Ta. Kalau kamu sudah sampai seperti ini, Bunda nggak bisa maksain apapun, Ta. Bunda mau yang terbaik buat kamu.”
“Tapi Bunda mau jodohin Genta sama orang lain, kan? Genta capek, Bun. Genta susah ngulang semua yang udah Genta lakuin buat Rhesya. Salah Genta kasih semuanya buat Rhesya, tanpa nyisain sedikitpun hati Genta. Bun, kita batalin ya perjodohan ini.”
Erlie tidak yakin, namun melihat lelah di mata Genta, Erlie dengan ikhlas hanya menganggukan kepala dengan satu butir air mata yang menetes di pipi. Genta cepat mengusap bulir di wajah Erlie dengan jemarinya, memastikan Erlie tidak lagi menangis di hadapanya. Ia sudah terlalu sering mendengar Erlie menangis karena pertengkaran kecil dengan Cakra. Ia sungguh membencinya.
“Maafin, Genta.”
“Jangan minta maaf. Justru Bunda yang harusnya manta maaf, Ta. Kamu fokus sama kesembuhan kamu dulu, ya. Apa mau ke rumah sakit. Bunda takut kamu kenapa-napa. Kamu jadi sekurus ini.” Erlie mengusap lagi kening dan rambut Genta penuh sayang. Takut sekali pada keadaan anak kesayanganya dan Cakra satu ini.
“Nggak usah, Bun.”
“Bunda ambilin bubur di bawah, mau makan?”
“Genta nggak enak makan.”
“Dikit aja, ya? Mau ya, Ta.” Erlie setengah memohon pada putranya.
“Dikit aja, Bun.”
Erlie mengangguk dengan senyum lebar. Sambil mengusap sisa-sisa air di matanya, wanita itu beranjak berdiri, kemudian mengusap pundak Genta. Menyuruh pria itu untuk menunggu sebentar, selagi ia mengambilkan semangkuk bubur di dapur untuk Genta. Tepat ketika ia menuruni anak tangga, tiba-tiba suara bel rumahnya berbunyi tiga kali.
“Lho, tamu?” gumam Erlie sambil datang menuju pintu depan rumah, yang terus nyaring terdengar bel yang dipencet berulang “iya, sebentar…”
Erlie memutar kuncinya, lantas membuka pintu. Bukan Cakra yang pulang dari kantornya di sore hari begini, justru seorang laki-laki berpakaian seragam lengkap dan mengenakan jaket hitam di tubuhnya yang tinggi. Erlie tersenyum berbinar.
“Nak Ethan… aduh, si ganteng. Sini masuk.” Seperti biasa, Erlie serlalu menyambut Ethan dengan senang hati. Siapa pula yang akan menolak kedatangan pria itu di rumah mereka?
“Makasih banyak, Tante. Em, Genta ada, Tan?”
“Genta ada itu di balkon. Temenin ya, Nak. Oh ya sekalian ini…” Erlie berjalan menuju ke dapur, diikuti Ethan yang mengekor di belakangnya, “tolong bawakan bubur buat Genta, belum makan dia dari pagi, susah makan kalau sakit.”
“Siap, Tan. Oh ya, ini ada camilan buat Tante sama Om Cakra.” Ethan meletakkan satu bingkisan di atas meja dapur ketika Erlie sedang menuangkan bubur hangat di dalam mangkuk.
“Kan Nak Ethan jadi repot-repot. Kalau mau main, tinggal main aja. Nggak usah bawa apa-apa.”
“Sedikit kok, Tan.”
“Ah kamu ini. Mau minum apa, Ganteng?” Erlie menutup kembali panci bubur di atas kompor, lantas membalikan badan.
“Adanya apa, Tan?”
“Kopi kesukaan kamu, Torabika Creamy Latte, ada itu di tempat minuman sachet, Nak.” Erlie meletakan mangkuk bubur dan sendok di atas nampan.
“Tante tahu aja lagi…” Ethan langsung mengorek isi dalam tempat yang dimaksud Erlie untuk menemukan bungkus kopi yang ia cari.
“Seduh aja pakai es di kulkas. Sini Tante buatin.” Erlie membuka kulkasnya, kemudian mengambil sekotak penuh es batu di freezer, sedangkan Ethan mulai memasukkan bubuk kopinya pada satu gelas berukuran sedang.
“Genta baik-baik aja kan, Tan?” tanya Ethan sambil mengisi sedikit gelasnya dengan air panas dari dalam dispenser, kemudian diaduknya rata.
“Lagi ada masalah sama Rhesya. Kamu coba ngobrol ya sama dia. Kali aja jadi lebih baik. Tante tahu ini salah, Tante…” Erlie mengambil gelas di tangan Ethan untuk menuangkan beberapa petak es batu ke dalamnya, sambil diisi air dingin, “salah Tante karena secara nggak langsung buat hidup Genta berantakan. Tante salah, Than.”
“Tante nggak perlu nyalahin diri sendiri. Ini bukan salah siapapun…” Ethan ingin bilang jika ini malah jadi salahnya. Andai Erlie tahu jika duduk permasalahanya ada pada dirinya.
“Kenapa berhenti?” tanya Erlie mengaduk es kopi untuk Ethan, sebelum dipindahkan ke atas nampan bersama dengan mangkuk bubur untuk Genta.
“Nggak papa, Tan.”
“Ya sudah, Tante titip Genta sama kamu, Nak. Tolong temenin ya, sekalian tolong bawain ini. Pastiin dia makan.”
“Siap, Tante. Makasih banyak kopinya, Tan.” Ethan tersenyum manis, sambil membawa nampan itu menggunakan kedua tanganya.
“Tante yang makasih, sampai repot-repot dibawakan camilan.” Erlie menepuk pundak tinggi Ethan, sambil mengantar pria itu sampai ruang tengah menuju anak tangga.