"Kak Genta.”
“Hem? Udah?” Genta membuka matanya, lantas berdiri menatap Rhesya yang terlihat begitu cantik dengan segala penampilan sederhananya. Genta tersenyum lembut. Benarkah? Bahkan Rhesya hampir melupa akan senyum Genta beberapa hari ini.
“Iya, udah Kak Genta. Maaf ya, lama. Ayo.” Rhesya balas tersenyum pada Genta.
“Kunci dulu semua pintu, kosong soalnya. Om Ferdinan ke kantor, kan?”
“Iya. Kak Genta tunggu di luar aja, gue yang kunciin.”
Genta mengangguk. Setelah pria itu melangkah keluar, Rhesya cepat mengunci semua pintu rumahnya. Ferdinan memang begitu sibuk dengan semua pekerjaan. Tidak ada hari libur atau apapun di akhir minggu. Rhesya terbiasa akan kehidupan sendirinya di dalam rumah. Biasanya jika sempat, Sheren akan berkunjung untuk menonton drama atau film. Lengkap dengan gosipan kakak-kakak kelas SMA Merah Putih.
“Kuenya tadi lo simpen di mana?” tanya Genta sambil menaiki motornya, tidak lupa mengaitkan tali helm untuk Rhesya.
“Kulkas, Kak. Nggak papa, kan?”
“Nggak papa. Aman.”
Rhesya mengangguk dengan senyum kecil di bibir berpoles liptint samar. Seperti hari-hari biasanya, di atas motor Genta. Keseharian Rhesya yang akan terasa kurang jika tidak ia lewatkan. Daun-daun di panas terik yang gersang. Sesekali Genta memainkan spionya untuk menatap wajah Rhesya yang sibuk mendongak dengan senyum tipis di bibirnya menekuri langit-langit biru tanpa awan. Sampai lelah Genta membuktikan jika ia tidak sedang jatuh cinta. Mana mugkin?
“Sya, lo mau mandang langit kayak gitu juga nggak akan jatuh langitnya.”
Rhesya terkejut mendengar suara Genta dari balik helm yang menutupi wajah. Wanita itu menunduk kembali, sebelum tersadar jika spion motor Genta terarah padanya. Rhesya menangkap mata Genta yang menyipit karena senyum dari spion juga. Secara tidak sadar, Rhesya menyembunyikan perasaanya yang mulai menghangat lagi ketika bersama Genta.
“Udah bisa senyum, nih?” Rhesya gantian menggoda Genta yang tiba-tiba melirik menatapnya dari cermin kecil itu.
“Emang biasanya nggak?”
“Nggak tahu. Kesambet kali, Kak Genta.”
“Kenapa ya, gue juga bingung.”
“Pegangan kalau bingung, Kak.”
“Nih pegangan, nih...” Genta menggenggam betis kaki Rhesya yang membuat wanita itu terkejut, lantas memukul pundak Genta karena motor yang bergoyang dan hilang keseimbangan.
“Kak Genta! Astaga! Kaget. Kalau jatuh gimana?!” tawa Rhesya tidak habis pikir dengan Genta. Pria itu juga tertawa dan kembali fokus pada jalanan di depan sana.
Mungkin Genta hanya harus bersabar. Menunggu kapan waktu yang tepat untuk memantapkan hatinya mengenal lebih jauh Rhesya. Atau menempatkan Rhesya di dasar hatinya. Hanya waktu, bukan? Genta akan mencoba lebih sabar lagi. Kali ini mungkin untuk kedua orang tuanya.
Motor berhenti tepat di dalam garasi rumah Genta. Dua mobil putih dan hitam milik ayah dan kakak Genta juga masih terparkir. Lebih malu lagi adalah keluarga Genta yang sudah di luar rumah menunggu kedatangan mereka. Lihatlah bagaimana senyum Erlie begitu lebar sambil menuruni anak tangga mendekati kedua anak yang sudah turun dari motor dan sibuk melepas helm.
“Halo, Rhesya. Cantik sekali. Apa kabar?” tanya Erlie langsung memeluk Rhesya.
“Halo, Bunda…” senyum Rhesya tulus pada wanita itu, “alhamdulilah baik, Bunda. Bunda apa kabar? Terima kasih Bunda kuenya.”
Keduanya melepas pelukan, lantas Erlie dengan lembut mengelus sayang kepala Rhesya. Seolah ia telah resmi menjadikan Rhesya putri bungsu dalam keluarganya.
“Bunda baik, Rhesya. Udah dicicipi belum?”
“Belum sempet Bunda. Tadi buru-buru ke sini, jadi Rhesya taruh di kulkas dulu.”
“Nggak papa. Nanti biar bareng-bareng sama papamu nicipinya.”
“Iya, Bunda.”
“Halo, Sya.” Itu suara Cakra yang sudah sangat bersiap hendak menuju mobilnya.
“Halo, Om.” Rhesya mencium tangan Cakra sopan dengan senyum manis yang tidak akan luntur dari wajahnya.
“Ayah. Panggil Ayah saja. Kayak Genta sama Kak Elok. Jangan sungkan gitu.”
Apa? Canggung sekali Rhesya ketika mendengar pria yang terlihat kaku dan serius ketika pertama kali mereka bertemu malam itu, mencoba akrab dengan dirinya.
“Iya, Yah. Apa kabar?”
“Baik alhamdulilah. Papamu kemarin ke kantor Ayah. Ngajak mancing. Haha.”
“Papa emang suka mancing selain rawat tanaman, Yah.” Rhesya menjawab malu-malu.
“Iya. Ayah bilang sama Papamu itu. Tidak sekalian dijadikan rumahnya suaka margasatwa.”
“Ayah bisa saja. Nanti Papa lupa kerja, kalau rumahnya dijadiin cagar alam.”
Semua orang di sana tertawa, juga Rhesya yang tanpa dosa menertawakan orang tuanya sendiri. Begitu pula dengan Genta yang ikut terbahak mengingat sikap Ferdinan memang seaneh itu.
“Ya udah. Kami tinggal dulu ya, Sya. Kalau mau makan, masak, istirahat, nonton tv, atau apapun jangan sungkan ya. Udah telat banget ini.” Bunda mengelus sayang pundak Rhesya.
“Iya, Bun. Hati-hati di jalan, Ayah juga.” Rhesya menyalami tangan kedua orang itu.
“Ta, pergi dulu ya.” Cakra menepuk kepala Genta ringan, disusul Erlie yang mengecup sedikit pipi Genta sebelum berlalu memasuki mobil.
“Hai Rhesya. Titip Abil, ya…” Elok datang menghampiri Rhesya sambil menyerahkan balita dalam gendonganya pada Rhesya.
“Iya Kak Elok. Hati-hati di jalan, Kak.”
“Agak rewel. Tapi nanti dikasih susu aja pasti diem, kok. Nanti siang juga tidur,” senyum Elok yang terlihat sangat cantik di mata Rhesya, meskipun telah menjadi ibu satu anak.
“Nanti Rhesya buatin susu buat Dek Abil, Kak.”
“Oke. Makasih banyak, Rhesya, ya,” ujar Kak Elok, sebelum beralih menatap Genta,” titip, Dek.” Ia menepuk pundak pria itu, disusul oleh Rion.
Rhesya bagai mimpi ketika kini anak bernama Abil itu telah berpindah di gendonganya. Balita bermata bulat terang itu begitu tenang ketika melihat kedua orang tuanya melambaikan tangan sambil memasuki mobil.
“Dada, Mama…” Rhesya seolah mewakili Abil yang tangan mungilnya ikut terangkat menyambut lambaian mamanya.
“Akur-akur kalian!” teriak Erlie.
“Iya, Bun.” Genta dan Rhesya menjawab serempak.
Sunyi terasa melonggarkan udara, setelah dua mobil itu berlalu. Kini tersisa dirinya, Abil, dan Genta. Pria itu cepat menutup pintu gerbang rumahnya tanpa mengenakan alas kaki. Lihatlah bagaimana kini jaketnya saja sudah merosot sampai pundak. Ibu kota memang sedang terik-teriknya.
“Ayo,” ajak Genta mendahului langkah Rhesya menaiki anak tangga teras rumah.
Rumah Genta, ya? Rhesya masih tidak asing dengan rumah ini, tentu saja. Namun, kini statusnya telah berbeda. Ia telah menjadi calon yang dijodoh-jodohkan oleh dua pihak keluarga. Ia menurunkan Abil dari gendonganya ke lantai karpet ruang tengah dengan banyak mainan berserakan.
“Berantakan banget Abil, ih.” Genta melepas jaketnya, sembari menaiki anak tangga menuju kamar.
“Nggak papa dong, Om.” Rhesya yang menjawab untuk Abil yang hanya termangu-mangu menatap dirinya.
“Lo pikir gue tua banget apa, Sya? Om, om apaan.” Selang beberapa detik saja, Genta sudah datang kembali menuju ruang tengah mengenakan kaos abu polos dan celana pendek hitamnya. Pria itu menghilang di balik tangga dapur, mengambil dua gelas cokelat dingin untuk Rhesya.
“Terus apa dong?” Rhesya menahan tawanya.
“Ec…ec…” Abil berusaha meraih gelas di tangan Genta yang ia letakkan di atas meja.
“Nggak boleh, Abil. Dingin. Sini-sini…” Genta meraih tubuh Abil, lantas ia dudukkan pada pangkuan.
“Itu siapa?” Genta membisikkan pertanyaanya di telinga Abil lirih sambil menunjuk pada Rhesya di hadapan mereka.
“Kenalan ayo…” Rhesya mengulurkan tanganya, “Halo Dek Abil. Kenalin Kakak, Rhesya.”
“Tante itu. Tante Rhesya. Buru, Abil,” ledek Genta dengan senyumnya menatap Rhesya yang memicingkan mata tidak percaya padanya.
“Kakak. Apa sih, tante, tante…” Rhesya menekuk wajahnya.
“Tante Sya. Gitu Abil, bilang.” Genta masih terus mengajari keponakanya dengan hal-hal aneh.
“Nce, Ca…”
Genta tertawa terbahak seketika itu juga karena berhasil mengerjai Rhesya yang membuka mulutnya tidak percaya. Belum lagi kesal ketika melihat puas wajah Genta meledeknya.
“Wah emang nggak cocok sih balita kalau sama lo, Kak. Sesat banget ajaranya.”
“Tuh dia penasaran. Lihatin lo mulu.”
“Siapa sih, Dek Abil?” Rhesya menyentuh tangan berisi menggemaskan Abil yang sibuk memerhatikanya.
“Buatin susu aja, Sya. Di dapur itu.”
“Bobok jam berapa biasanya Dek Abil?” Rhesya bangkit dari duduknya.
“Jam sebelasan. Makanya buatin susu aja.”
Rhesya mengangguk, lantas berlalu ke dapur.
“Nce… Ca…”
Genta tertawa lagi ketika melihat Abil berontak dari pangkuanya dan duduk di karpet ketika melihat Rhesya menghilang dari balik dinding dapur. Ia mulai mengajak Abil bermain dengan benda-benda plastik yang berserakan di karpet, walaupun berakhir memasukkan semua benda ke dalam mulut.
“Jorok Abil.” Genta juga tidak lelah mengambil benda-benda yang masuk ke dalam mulut anak itu. Sesekali walaupun Genta harus kena jambak karena membuat Abil marah dan geram dengan semua larangan Genta.
“Minum susu dulu, Dek Abil.” Rhesya mengocok susu dalam botol bayi itu pelan-pelan, sambil mendekat lagi pada mereka.
“Taruh aja, Sya. Udah bisa minum sendiri dia.”
Rhesya menaruh dot-nya ke karpet, yang langsung disambut semangat oleh Abil. Kedua orang itu memerhatikan bagaimana cara lucu anak berusia sekitar 3 tahun, mulai sibuk menikmati susunya.
“Kata Kak Elok rewel? Kok nurut gini, Kak?” tanya Rhesya.
“Nggak tahu. Biasanya tuh gampang nangis kalau ditinggal Kakak. Gue juga nggak bisa jagain sendiri kalau udah nangis. Makanya Bunda minta tolong.”
“Gue emang calon ibu yang baik sih di masa depan. Aura gue positif gitu lho kalau deketan sama anak kecil.”
“Iya, emang. Kan kata Abil lo tadi udah jadi tante.”
“Kak Genta!” Rhesya memukul sedikit kaki Genta, yang menyambutnya dengan tawa tanpa dosa.
“Merem-merem tuh Abil tuh.”
Rhesya mengelus sayang kepala Abil, sambil menidurkan anak itu di karpet dengan boneka yang menjadi bantalnya. Menidurkan anak kecil bukan hal yang mudah. Bahkan walaupun dengan mata sayu, Abil masih dapat menyedot susunya dengan mata yang sesekali terbuka lagi jika mendengar atau merasakan getaran kecil.
“Kak Genta. Apa gue boleh nanya sesuatu?”
“Tanya aja.” Genta meminum cokelat dingin dalam gelas, sambil menyandarkan tubuh pada front skirt sofa di belakangnya.
“Kenapa Kak Genta mau nerima perjodohan ini?”
Genta menelan tegukanya, kemudian meletakan benda itu lagi di atas meja.
“Emang gue bilang kalau nerima?”
Rhesya merasa malu. Benar juga. Kapan Genta mengatakan jika ia setuju dengan perjodohan ini? Lantas mengapa sikap Genta seolah menerima semuanya tanpa ada perlawanan atau setidaknya penolakan kecil?
“Em, nggak sih, Kak.”
“Tapi gue tahu alasan bunda sama ayah jodohin gue. Awalnya agak berat, tapi gue nggak bisa nyalahin jalan pikiran mereka juga.”
“Masalah pribadi ya, Kak?” tanya Rhesya masih fokus menatap Genta, walaupun tanganya masih sesekali mengelus-elus lembut kening dan kepala Abil supaya tertidur.
“Tapi gue bakalan cerita ke lo aja nggak papa. Karena lo orang yang dijodohin sama gue.”
“Gue dengerin, Kak Genta.”
Genta memulai ceritanya, katakan saja ini adalah kata-kata yang keluar dari mulut Genta setelah beberapa hari ini, ia lebih banyak mengunci mulutnya di hadapan Rhesya.
“Jadi, dulu bunda sama ayah itu terlibat perjodohan. Mereka membangun rumah tangga itu nggak saling cinta, Sya. Mungkin di luar, kalian bisa mandang keluarga gue ini harmonis banget. Tapi sebenernya kita udah banyak hancur di dalem, Sya. Bunda sama ayah nggak pernah akur sebetulnya. Mereka cuma akur di depan anak-anak. Pisah kamar juga gue sering lihat, karena mau nggak mau, cuma gue yang masih tinggal satu atap sama mereka.”
Rhesya hampir tidak menyangka. Rumah tangga cemara yang ia lihat, rupanya tidak seindah yang ada di otak dangkalnya. Rhesya hampir tidak dapat melihat celah kekurangan di keluarga Genta. Tetapi setelah Genta menceritakan kalimat pengantar panjang, seolah kini, Genta memiliki sisi lain yang lebih rumit di beberapa bagian hidupnya.
“Bunda dulu masih punya pacar dan ayah udah punya tunangan yang dijanjiin bakalan nikah. Tapi nyatanya, mereka harus dijodohin. Kesel sama marahnya mereka berdua dilampiasin ke anak-anaknya. Bahkan sampai sekarang, gue masih belum lihat cinta di mata mereka berdua. Mereka sering berantem malam hari. Kadang bunda sampai pulang ke tempat nenek pagi-pagi, yang akhirnya ninggalin gue sama ayah di rumah. Tapi setelah adanya Abil, mereka jadi makin bisa menerima. Walaupun belum ada cinta.”
“Kenapa nggak ada dalam otak gue sama sekali, Kak. Apa lo baik-baik aja?”
“Gue baik-baik aja. Karena gue denger dari dua belah pihak, nggak cuma sepihak. Jadi, gue bisa rasain kesel dan marahnya mereka. Lah gimana? Jalanin hubungan punya tiga orang anak tanpa cinta? Bahkan bisa jadi mereka punya anak Kak Elok itu karena tuntutan dua pihak keluarga. Gue nggak pernah nyalahin kalau akhirnya mereka jodohin Kak Elok sama Kak Rion. Untungnya mereka berdua bisa langsung jatuh cinta. Lah kakak kedua gue, Kak Tsania, sampai harus kabur ke Bandung pakai alesan kuliah.”
“Apa papa tahu semua ini?”
“Om Ferdinan pasti tahu. Bahkan pasti pembicaran kita bakalan dijodohin di masa depan itu, udah di rencanain dari kita kecil.”
“Tapi…”
“Kenapa harus lo yang jadi imbasnya?” tanya Genta.
Rhesya tidak menjawab pertanyaan Genta, yang membuat Genta yakin jika memang itu yang ada di pikiran Rhesya. Dirinya dan Rhesya jelas jauh berbeda. Ia banyak ditekankan untuk perjodohan, sedangkan Rhesya memiliki banyak pilihan dalam hidupnya.
“Karena lo anak Om Ferdinan,” jawab Genta asal, walaupun dalam hati dibenarkan oleh Rhesya.
“Rhesya, mau ikut gue bentaran? Gue pindahin dulu Abil ke keranjang bayi di kamar Kak Elok.”
Rhesya hanya mengangguk. Ia meminum es cokelat di atas meja sembari menunggu Genta kembali. Sesekali ia menatap dinding dan foto-foto keluarga mereka yang banyak menempel di sana. Benarkah keluarga ini dibangun atas dasar kepalsuan? Apakah sejarah itu akan terulang kembali pada Genta?
Tidak ada raut wajah masam di semua foto-foto itu. Bahkan Erlie dan Cakra sekalipun yang berpose layaknya suami istri yang kasmaran setiap hari. Tetapi ternyata, itu hanya kepandaian mereka melompat dan berpura-pura di antara tekanan keluarga. Rhesya sungguh tidak habis pikir, jika Genta akan merasakan hal yang sama di kemudian hari.
“Ayo, Sya. Bawa aja minumnya. Abil aman kok.” Genta meraih gelas miliknya, lantas berjalan menuju lantai atas.
Rhesya hanya menurut. Ia mengekor langkah Genta menaiki anak tangga dan menelusuri lorong. Sampai keduanya berhenti pada pintu tertutup, berwarna cokelat di sudut paling ujung. Setelah Genta membukanya, seketika balkon ruang lantai dua dengan banyak tanaman hias dan alat-alat musik memenuhi pandangan Rhesya. Ia melangkah masuk dengan hati-hati. Takut menginjak beberapa kabel yang melintang di lantai atau menyembul dari balik karpet.
“Om Ferdinan suka banget di sini. Suka main gitar sama gue, sama rawat taneman ini. Semua punya dia. Lo pasti nggak tahu.” Genta meletakkan gelas es cokelatnya di meja kayu berukiran pohon dan ranting-ranting.
“Serius, Kak? Bagus banget tempatnya.” Rhesya menatap hamparan gedung di depan sana. Angin berdesir menerbangkan rambut cantik Rhesya yang ia sengaja kuncir satu.
“Iya.” Genta menyimpan bungkus rokok milik Ferdinan yang masih tersisa setengah di bagian etalase kaki bawah meja. Ia mendekati gitarnya, lantas duduk pada salah satu sofa. Berbeda dengan Rhesya yang masih termangu memandangi pemandangan di perkotaan sana.
Balkon ini lengkap dengan atap transparan yang dihias tumbuhan merambat, sampai menjuntai ke sisi-sisi bawahnya, sehingga akan terasa teduh dan sejuk di siang hari. Banyak bunga-bunga dalam pot gantung maupun pada susunan rak di sisi kanan dan kiri dinding. Atau pada tralis pagar balkonya. Ada berbagai macam alat musik lengkap dengan microphone juga. Ini dunia Genta, bukan? Rhesya telah melihatnya.
“Siapa aja yang biasa main ke sini, Kak?” tanya Rhesya sambil melangkah kembali ke meja.
“Si Ethan. Alvian sih paling sering sama Izal. Main musik. Buat tempat tongkrongan aja kalau ada temen SMA main ke rumah apa kerja kelompok.”
“Enak banget tahu, Kak. Apalagi kalau malem, ya?” Rhesya duduk di sofa seberang Genta sambil menatap langit-langit atap balkon.
“Nanti juga lo bakalan sampai malam di sini. Pasti mereka lama, orang kondangan ke tempat saudara.”
“Sumpah, Kak? Gue belum kabarin Papa.”
“Tenang aja. Ayah udah ngasih tahu.”
Rhesya mengangguk lega. Seharian berdua di rumah Genta? Apa maksudnya? Pria itu memetik senar gitarnya, sesekali memutar-mutar tuning keys, sampai nada pada senarnya dirasa telah sesuai. Jemari panjang Genta begitu pandai menjepit setiap senarnya. Sesekali juga Rhesya mencuri-curi pandang pada pria yang masih fokus menunduk dengan gitar di pangkuan.
Sampai satu petikan nada yang begitu indah mengalun di tengah siang menunggu dzuhur. Rhesya meminum es cokelat dalam gelas sambil masih fokus menatap Genta yang sepertinya selesai memainkan nada gitar intro sebuah lagu.
“Tuhan… aku berjalan… menyusuri malam,” Genta mulai bernyanyi lirih, “setelah patah hatiku…”
Rhesya banyak mendengarkan lagu Sheila On Seven dari Genta. Membuatnya mengingat sekilas demi sekilas wajah Genta, jika tiba-tiba terputar lagu dari Sheila On Seven.
“Mudah saja bagimu… mudah saja untukmu…” Genta kembali membuat reff lagu itu dapat terdengar lembut dan ringan di telinga Rhesya. Seolah ada versi lain ketika Genta menyanyikanya dengan nada akustik di tangan. Lelaki itu begitu pandai memainkan suara.
“Andai saja… lukamu, seperti lukaku…” Genta mengakhiri lagunya di reff pertama. Ia beralih meminum sisa es cokelat yang telah kehilangan es batunya.
“Kenapa Kak Genta nggak ikut band SMA? Padahal Kak Genta bagus banget kalau nyanyi sama main gitar?” tanya Rhesya.
“Gue lebih suka main di luar. Café-café atau ya tempat-tempat band kecil kota. Kalau masuk anak-anak band yang diurus Valdi sama Reno, nggak dulu deh. Walaupun misal lagi ada acara apa gitu di sekolah, gue tetep dapet jatah manggung dari panitia sama OSIS. Siapa lagi kalau bukan Hito yang usulin?”
“Kak Genta nggak mau dikenal banyak orang?” Rhesya ini begitu penasaran dengan siapa Genta yang sebenarnya. Disaat ia bergaul dengan semua anak-anak populer di sekolahnya yang mengejar tenar dan populeritas berpatok pada Ethan, justru Genta seolah lebih suka menjadi bayang-bayang abu di antara mereka.
“Gue udah tenar kok. Nongkrong bareng sama Ethan, siapa sih yang nggak tahu gue?”
“Kak Genta bisa kok jadi diri sendiri. Nggak melulu harus kelihatan, kalau emang itu nggak bisa bikin Kak Genta seneng kayak kebanyakan orang yang suka waktu dipuji. Tapi Kak Genta punya banyak potensi buat ikut aktif di sekolah. Apalagi band sekolah lumayan famous juga.”
“Gue pernah diajak sama Valdi waktu kelas satu. Tapi gue tolak. Gue belum bisa aja waktu itu. Banyak hal yang nggak bisa gue terima. Banyak yang ngerendahin gue juga kalau tiba-tiba gue seolah ikut-ikutan maksain buat jadi terkenal kayak Ethan atau Hito.”
Rhesya menangkap satu hal dari ucapan Genta. Ia terlalu minder dengan dunia yang sedang ia naungi. Pria itu terlalu banyak berpikir bahwa tanggapan semua orang padanya adalah keburukan. Mungkin itu yang membuat Ethan berkata pada Rhesya soal pribadi Genta di parkiran siang itu. Genta ini memang sedikit aneh ketimbang kawanannya yang lain.
“Banyak yang ngirim komentar buruk ke lo?” Rhesya hati-hati mengatakanya.
“Haha, banyak, Sya. Lo nggak pernah lihat akun Instagram gue? Mungkin mereka cuma bercanda, tapi kadang bercanda kejauhan juga nggak ngenakin.” Genta meletakkan gitarnya di atas meja kecil sudut tembok. Ia mengeluarkan ponsel pada sakunya, lantas menunjukan akun Instagram-nya pada Rhesya.
“Baca aja, nggak papa,” santai Genta kemudian berdiri dari sofa, dengan menenteng satu bungkus rokok yang sedari tadi tergeletak di bawah meja, bersebelahan dengan rokok milik Ferdinan.
“Kak Genta ngerokok?”
“Eh. Lo nggak suka bau rokok? Kalau iya gue nggak ngerokok.”
“Enggak, enggak Kak Genta. Papa aja biasa rokok di rumah.” Rhesya meraih ponsel hitam milik Genta di atas meja yang tersodor padanya.
Genta hanya mengangguk lantas menyelipkan sebatang rokok putih itu di sela bibir, sambil melangkah menuju tralis pagar. Membiarkan Rhesya membaca komentar-komentar di postingan sosial medianya.
Rhesya terkadang juga tersenyum jika melihat akun sosial media Ethan ikut berkomentar buruk pada Genta. Meskipun itu hanya sebuah candaan laki-laki, tetapi nyatanya cukup mampu membuat Rhesya menggelengkan kepala. Ia sama sekali tidak percaya jika Ethan mampu meledek temanya sendiri dengan mudah, seolah semuanya hanya lelucon belaka di matanya.
“Kalau lo nanya apa gue setuju sama perjodohan ini…” suara Genta mengalihkan perhatian Rhesya. Ia menoleh pada Genta yang memunggunginya, menatap hamparan kota di terik hari, “gue cuma pengen kedua orang tua gue jatuh cinta, Sya. Cuma itu. Gue mau lakuin apapun buat mereka. Gue pengen kasih mereka cinta.”