Suasana ruangan tertutup dalam sebuah café mewah pusat kota sedikit memanas. Genta membuka pintu kaca tebal itu bersama Alvian. Semua tatap mata di dalam sana langsung tertuju pada kedua anak itu, sebelum kembali fokus pada diri masing-masing.
“Bilang apa ini salah gue, Ka?” Wanita itu masih melanjutkan pertanyaannya yang sempat menggantung karena gesekan pintu.
“Nggak ada yang nyalahin lo, Reen.”
“Lan…” Aureen beralih menatap Lana yang sedari tadi hanya diam mendengar celotehannya, mencoba mencari pembelaan dari pria itu.
“Nggak ada yang perlu disalahin, Reen. Udah lah. Masalah kita cuma gimana caranya Hito balik lagi ke basket Merah Putih.” Saka mulai hilang kewarasan. Bagaimanapun juga ia adalah kapten basketnya. Ia yang paling banyak bertanggung jawab terhadap turnamen besar sekolahnya bulan depan.
“Lo doang yang bisa bujuk dia. Kita mohon kerja samanya.” Izal sedikit ikut menimpali dengan nada lirih, takut menyinggung wanita di hadapannya.
“Ethan ke mana?” tanya Genta ikut duduk di sebelah Izal.
“Keluar barusan,” jawab Saka, sebelum beralih lagi menatap Aureen yang berkacak pinggang dan berdiri di hadapan mereka semua.
“Reen. Lo tahu kan kalo imbasnya bakalan sebesar ini? Lo tahu kan Hito bagian penting dari basket sekolah? Kita nggak bisa nambahin atau masukin pemain baru, karena semua pemain yang bakalan turnamen bulan depan nggak ada yang bisa ngambil dan berdiri di posisi Hito. Ini masalah pribadi kalian, kenapa harus dibawa kelompok? Bentar lagi turnamen Reen, astaga…” Saka mengacak rambut frustasi menerima ini semua, belum lagi setresnya menghadapi pelatih basket sekolah yang selalu memukulnya ketika memboloskan Hito di jam ekstrakurikuler.
“Ka. Lo nggak pernah mikir gimana perasaan gue? Lo cuma bisa mikir basket-basketan lo doang, sialan, Ka!”
“Bujuk Hito balik lagi ke basket. Gue nggak peduli mau dia benci kita atau marah sama Ethan. Intinya bujuk dia balik lagi. Gue nggak mau tahu.” Saka mulai mengambil kendalinya seolah tengah menjelma sebagai kapten basket di sekolahnya yang tegas dan disiplin.
Aureen menyunggingkan bibirnya kelu menahan air mata yang hendak jatuh. Memang percuma berbicara dengan Saka. Sikapnya begitu menyebalkan jika sudah kerasukan kepemimpinan di ranah paskibra atau basket. Aureen beralih menatap Genta lama, membuat Genta berdehem dan pada akhirnya membuka suara, “Reen. Apa yang bikin lo mutusin Hito? Lo bisa duduk dulu. Pikirin ini baik-baik.”
Genta tidak munafik. Aureen ini begitu cantik. Ketika pertama kali melihat wanita itu datang ke gedung olahraga SMA untuk pertandingan basket putri, tatapan mata Genta tidak lepas darinya. Namun, ketika ia tahu Ethan dan Hito memenuhi list daftar lelaki yang dapat mencuri hati Aureen, lagi dan lagi Genta memilih menyudahi. Aureen begitu serasi ketika bersanding dengan pria sekelas Hito ataupun Ethan. Kemudian dirinya? Hanya penonton setia keduanya.
“Tapi Hito kalau dipikir masuk akal sih semarah itu…” Alvian tiba-tiba berkomentar dengan nada bicara tak seriusnya seperti biasa, “gimana ya. Lo udah punya Hito tapi yang lo hubungin Ethan, gimana ceritanya, Reen? Mereka temen kita. Tolong, Reen.”
“Vian. Lo mau gue kasih tahu satu hal dari Hito dan ambisi dia di belakang kalian?” Aureen mulai muak menutupi.
“Jangan mulai, Reen…” Lana berusaha menyudahi.
“Biar, Lan. Biar semuanya denger. Biar semuanya tahu. Kalau Hito cuma mandang Ethan itu saingannya. Biar semua denger, kalau tiap hari yang Hito pikirin cuma gimana caranya ngalahin Ethan! Apa kalian nggak tahu muaknya gue tiap hari nanggepin sifat kekanak-kanakan dia yang nuduh gue selingkuh mulu sama Ethan?! Ethan aja nolak gue, sialan!” Aureen menangis kali ini.
“Reen, udah.” Lana menarik pergelangan tangan Aureen supaya berhenti membentak Saka, maupun Alvian.
“Saingan?” Izal mengerutkan kening, “saingan apa? Ini ada apa sih?”
“Jangan dengerin udah…” Lana bangkit dari duduknya meraih pundak Aureen, “pergi ya. Kita pulang.”
“Nggak, Lan.” Aureen menepis tangan Lana kasar, dengan mata berkaca mendekati Saka, “lo udah tahu itu kan, Ka? Hah? Lo cuma nutupin dari mereka. Sorry, kalau gue cuma dijadiin pelampiasan ambisi Hito buat ngalahin Ethan, gue mundur. Urus basket lo sendiri.”
Setelah mengatakannya, Aureen bersiap pergi, sebelum suara Genta kembali menengahi perdebatan panjang ini, “tapi lo masih suka sama Ethan? Boleh gue nanya sesuatu?”
Semua mata tertuju pada Genta. Terutama Aureen yang menghentikan langkah dan membalikkan badan. Ia mengusap air mata di pipi untuk menatap Genta.
“Apa?”
“Apa alasan lo nerima Hito, kalau lo masih suka sama orang lain? Apa karena lo kasihan sama Hito yang ngasih semua waktunya buat lo? Lo kasihan karena dia setengah ngemis buat dapet perhatian dari lo? Buat apa kalau ujungnya lo bakalan putusin dia. Gue bukan belain Hito. Tapi gue rasa ini permasalahan umum. Gue cuma pengen tahu alesan seorang cewek nerima cinta baru dari orang lain, padahal dia masih suka sama seseorang. Apa?”
Aureen mendadak terbungkam dengan pertanyaan Genta. Belum menjawab saja, ia merasa sudah kalah dengan pertanyaan tenang namun terdengar menyudutkan dirinya. Jika dipikir-pikir. Benar juga. Untuk apa ia berlari pada Hito di saat ia masih mencintai Ethan? Meskipun ia berusaha keras untuk melupakan Ethan di saat menjalani seluruh harinya bersama Hito.
“Susah ya, Reen?” tanya Genta lagi.
“Gue suka sama Hito. Dia bikin gue nyaman. Tapi dia terlalu takut gue masih lari ke Ethan. Gue muak.”
“Itu nggak jawab alesan lo jadiin Hito pacar lo. Karena suka? Lo nerima dia jadi pacar lo di saat lo habis ditolak Ethan. Hito bukan pelarian Aureen. Dan lo juga bukan pelampiasan Hito buat bersaing sama Ethan. Tapi ini masalah umum yang bisa semua orang rasain.”
“Lo lagi di fase itu? Lo takut orang yang lagi lo jagain pergi sama orang yang beneran dia suka?” tanya Aureen yang membuat Genta menelan saliva kasar.
“Iya.”
Semua orang terlibat diam karena ucapan Genta yang tiba-tiba merubah suasana. Bulan purnama yang dingin semakin membekukan hati mereka. Memikirkan siapa yang salah dan benar dalam hubungan ini. Bulan purnama yang sama juga menari di atas langit tempat Ethan berpijak. Ia menghentikan mobilnya di sebuah minimarket tengah kota. Ia memutuskan pergi meninggalkan café ketika melihat Aureen datang.
Ethan masih memikirkan cara terbaik untuk berbicara dengan Hito. Walaupun tidak kunjung ia temukan sekalipun. Pria itu keluar dari dalam mobil, kemudian berjalan memasuki minimarket. Tujuannya adalah mengambil minuman kaleng soda di almari es.
Ketika ia hendak membayar, pelanggan di depannya terlihat mencari-cari uang receh di dalam dompet karena minimarket tersebut kehabisan koin untuk kembalian. Ethan yang tidak sengaja juga ikut mendengarnya, bergegas mengeluarkan dompet dari dalam saku celana levi’s hitam pendek selutut.
“Pakai ini dulu aja,” ujar Ethan berdiri di samping wanita itu, “ini, Bang.” Lantas menaruh lembaran uang kertas dengan jumlah sesuai yang ditunjukkan di layar monitor.
Wanita itu menoleh seketika. Sama seperti Ethan yang ikut menatap wanita di sampingnya seusai memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku.
“Kak Ethan?”
“Rhesya?”
Rhesya merasakan kupu-kupu menari di perut yang membuatnya terlonjak di tempat, ketika mendapati Ethan yang kini telah berdiri di sampingnya. Masih tidak percaya, Rhesya berusaha mencubit kecil lenganya sendiri. Terasa sakit, sampai membuatnya meringis sedikit. Ini bukan mimpi.
“Pakai uang gue dulu aja.”
“Jadi repotin Kak Ethan.”
“Nggak papa, kapan-kapan bisa dibalikin, santai.”
“Makasih banyak Kak Ethan.” Rhesya menunduk malu-malu sambil menahan senyum dan denyutan di jantungnya.
Setelah menerima sebungkus plastik belanjaan yang ia beli, giliran Ethan yang meletakkan sekaleng soda di atas meja kasir. Rhesya masih menunggu Ethan selesai, kemudian keluar bersama dari dalam minimarket.
“Besok di sekolah gue ganti ya, Kak. Makasih banyak.” Rhesya mencoba tersenyum pada Ethan, meskipun kaku. Gugup Rhesya semakin tidak terkendali ketika Ethan mengangguk dan membenarkan topi hitamnya.
“Rumah lo di daerah sini?” tanya Ethan.
“Iya, Kak. Di perumahan belakang minimarket ini. Kak Ethan lagi apa di sini?”
“Mampir aja buat beli minum.”
“Gitu. Em, ya udah, Kak…”
“Mau duduk sama gue?” tanya Ethan spontan sambil menenggak sodanya.
Padahal baru saja Rhesya hendak kabur karena tidak bisa menahan gugup dan degupan jantungnya ketika berdekatan dengan Ethan. Namun, mengapa Tuhan selalu memiliki rencana lain? Mungkin malam purnama ini adalah waktu yang tepat. Jika kali ini ia menolak, sudah pasti Rhesya akan sangat menyesal, karena tidak akan ada hari esok untuk duduk berdua di malam dingin bersama Ethan.
“Boleh, Kak,” senyum Rhesya manis.
“Sini aja, ya. Nggak buru-buru, kan?” tanya Ethan sembari memundurkan kursi bangku kecil yang memang tersedia di teras minimarket.
“Nggak kok, Kak. Ini beli jajan buat nemenin nonton drama korea doang, hehe.”
“Cewek kenapa sih suka nonton gituan?” Ethan meminum soda itu lagi.
“Lucu, Kak, Cinta-cintaan.”
Ethan menggelengkan kepala. Reaksi ringan Ethan yang sudah mampu membuat Rhesya terbengong. Tidak berhenti ia memandang wajah Ethan dengan pakaian serba hitamnya itu. Hitam begitu sesuai untuk pria di seberang meja.
“Lo suka bulan?”
“Hah?” Rhesya terlonjak, sebelum mengalihkan pandangan ke angkasa yang gelap dan dingin. Bulan penuh menggantung cantik di antara gelapnya. Seperti nirwana yang bersinar di dalam palung. Genta?
“Suka bulan?”
“Suka, Kak. Cantik.”
“Gue suka bintangnya.”
“Bintang?”
“Iya.” Ethan menghabiskan soda dalam kaleng.
Sepertinya Rhesya mulai paham mengapa Ethan menyukai benda angkasa bernama bintang. Ia tersenyum lembut sambil memandang wajah Ethan yang masih termangu menatap jutaan bintang di angkasa.
“Boleh gue tebak, kenapa Kak Ethan suka bintang?”
“Boleh. Kalau bener, gue kabulin apa yang lo minta,” jawab Ethan tanpa menatap Rhesya.
Apa? Rhesya semakin menyelam. Mustahil yang selalu ia katakan setiap malam. Tuhan menghadirkan semuanya di depan netra Rhesya. Mungkin hanya Ethan yang bisa membuat hati Rhesya sekencang itu berdegup. Telinga Rhesya seolah menolak mendengar bising kendaraan yang lewat di depan minimarket. Remang itu membuatnya semakin takjub. Ethan, pria itu selalu berhasil membuat Rhesya mengulas senyum indah yang tidak pernah ia lukiskan kepada siapapun.
“Karena bintang mengeluarkan cahayanya sendiri. Bintang tidak seperti bulan yang memancarkan cahayanya karena bayangan matahari. Mirip Kak Ethan.”
Ethan tersenyum. Ethan benar-benar tersenyum di hadapan Rhesya. Menatap perempuan di depannya menggunakan bola matanya sendiri. Lesung pipi Ethan begitu manis, belum lagi gigi crooked miliknya yang banyak mencuri perhatian Rhesya. Sampai Rhesya selalu gagal mengendalikan dirinya sendiri, terutama hati. Organ dalam tubuh Rhesya yang paling lemah jika menghadapi Ethan.
“Lo minta apa dari gue?”
“Hah? Bener jawabannya, Kak?” Rhesya mencondongkan tubuhnya sampai menyentuh ujung meja.
Ethan hanya mengangguk, sambil menjatuhkan tubuhnya pada sandaran kursi besi. Satu tangannya tenggelam dalam saku celana, dan gilanya masih menatap Rhesya. Membuat wanita itu salah tingkah lantas berpikir keras untuk kesempatan emas yang sangat jarang ia temukan. Ia ingin lebih dekat dengan Ethan. Sangat ingin.
“Kak Ethan tahu nggak? Ada satu hal yang pengen gue coba karena gue takut.”
“Apa?”
“Hysteria di Dufan.”
“Jadi, lo mau coba?”
“Mau. Seenggaknya sekali seumur hidup.”
“Lo mau gue nemenin?”
“Bukan cuma nemenin, Kak.”
“Tapi…” Ethan semakin tertarik dengan pembahasan malam ini.
“Beliin tiketnya.”
Ethan tertawa. Kali ini Rhesya benar-benar sampai terpaku. Bulan purnama pasti sedang menertawakan dirinya karena rona merah di pipi Rhesya yang terlalu jelas. Ia biasa melihat Ethan tertawa dari kejauhan karena berhasil mengerjai kawan-kawanannya. Tetapi kali ini, ia sendiri yang membuat Ethan tertawa. Rhesya bahagia, tentu saja.
“Minggu, free?”
“Free, Kak.”
“Gue tunggu di halte bus depan sekolah.”