"Nggak bilang-bilang lo punya cewek,” ujar Lana menepuk bahu Genta.
“Genta, punya cewek?” Ethan mulai mengompori dengan wajah khas julidnya, “lo guna-guna?”
“Sembarangan lo.”
Ethan tertawa terbahak, disusul yang lain. Tidak puas rasanya jika sehari tanpa melempar candaan nyeleneh pada Genta. Seolah memiliki daya bertahan lebih kuat, Genta pun masih mampu melawan candaan mereka, terutama Ethan.
“Lo sendiri, Than?” tanya Alvian, “betah jomblo kenapa? Nggak nyari mangsa lagi?”
“Mau dibawa ke mana Saskia.” Hito ikut meledek, “lo masih suka dia. Tinggal balikan lagi aja. Dia juga masih suka lo. Haha.”
“Cupu.” Genta menimpali.
“Lo yang cupu!” Ethan menepuk kepala Genta, “ngapain juga balikan sama mantan, bego. Kayak nggak ada yang lain aja.”
“Ada?” tanya Hito.
“Mentang-mentang punya pacar lo nggak usah nanya gitu, bego. Pacar lo pernah deketin gue, lo nggak inget?” Ethan tertawa disusul lainya.
Hanya Hito yang tertawa terpaksa. Benar juga. Jika dipikir-pikir dirinya dan Ethan memang tidak sebanding. Hebatnya lagi dalam urusan wanita, Ethan akan lebih banyak berdiam sedangkan dirinya berusaha. Ketika Hito menyerah, justru Ethan yang akan mencaci-makinya. Lalu untuk apa ia masih betah berlama-lama di sini bersama Ethan, jika mengingat kekasihnya pernah berusaha keras mendapatkan pria itu.
Genta melirik pada Hito disela tawanya. Lelaki berdarah Jepang itu berusaha menyembunyikan khawatir. Atau justru karena Genta selalu melihat Hito hendak mengejar popularitasnya bersaing dengan Ethan. Genta selalu melihat tatapan iri Hito pada Ethan.
“Kita nunggu siapa lagi sih, woy. Malu heh dilihatin Kang Sapu,” ujar Alvian, “Halo, Kang,” pada akhirnya si lelaki bodoh itu menyapa juga.
“Iya, Mas Vian.” Tukang sapu sekolahnya ikut menimpali seolah akrab dengan Alvian. Bagaimana tidak? Alvian selalu meminjam korek pada penjaga kebersihan itu di sela jam-jam kelas kosong, atau menyimpan bungkus rokok padanya ketika razia.
“Saka sama Izal?” jawab Lana.
Orang-orang yang disebut Lana datang juga selang beberapa menit, mendekati bel berdering. Diikuti mobil Izal atau Fachrizal di belakangnya. Genta yang melihat kedua manusia seperti angka satu dan sepuluh berjalan itu, langsung bersiap melangkah menuju gedung, diikuti tapak sepatu lainnya di belakang.
“Will,” sapa Ethan pada anak Great Glory di lobi gedung. Great Glory adalah nama sekelompok besar anak-anak SMA Merah Putih, semacam tradisi angkatan.
“Than. Basket kemarin menang skor berapa?” tanya William mengganti posisi Saka di samping Ethan.
“Tim lo main mirip tikus got semua,” ledek Ethan.
“Sial!” William tertawa, juga tidak kalah puasnya dengan Ethan, “duluan.”
Bersamaan dengan William yang berjalan mendahului mereka, Hito pun memisahkan diri di lorong utama. Ia memasuki lorong lantai 11 MIPA, sedangkan yang lainnya menuju lorong kelas 11 IPS. Ethan, Saka, dan Izal memasuki kelas 11 IPS 3, sedangkan Genta, Vian, dan Lana memasuki kelas 11 IPS 2, sehingga kelas mereka saling berhadapan di ujung taman sekolah.
“Cewek tadi siapa, Ta?” tanya Alvian yang duduk sebangku dengan Genta. Di sampingnya, Lana duduk bersama si ketua kelas yang paling bertanggung jawab bernama Abraham, anggota dewan pramuka dan ketua organisasi pecinta alam.
“Anak Om Ferdi.”
“Iya? Sekolah di sini juga?”
“Hm, baru masuk kemarin. Kelas satu.”
“Yee, kok bisa barengan sama lo?” Alvian mengeluarkan ponsel di dalam sakunya.
“Kayaknya orang tua gue udah mulai jodohin gue sama dia.”
“Sumpah? Cantik, sih. Tapi lo harus hati-hati kalau bawa cewek di antara kita,” bisik Alvian di telinga Genta, berharap tidak terdengar Lana di bangku sampingnya.
“Apaan?”
“Lo lupa di antara kita ada Ethan? Gue lihat juga cewek yang dijodohin sama lo itu lihatin Ethan mulu.”
Ethan, ya? Genta akan mengibarkan bendera putih jika harus bersaing dengan Ethan. Siapa pula yang akan membunuh dirinya sendiri berperang dengan Ethan Aditama? Bahkan Ethan tidak perlu bergerak banyak. Ia hanya butuh berdiam diri saja, sudah pasti ia akan menang. Pria itu hebat dalam segala hal, bahkan digadang-gadang akan menjadi kandidat pencalonan putra-putri ibu kota dua periode tahun ini. Popularitas pria itu sudah tidak diragukan lagi. Bahkan sekelas, sepopuler, dan sekaya raya Hito saja kalah menghadapi Ethan. Apalagi dirinya?
“Langsung ngerenung lo? Dih, sinting.”
“Geli, Al.”
“Terus gimana sama Lana?” bisik Alvian lagi. Dia memang biang gosip di antara kawanannya yang lain.
Genta memutar kepalanya pada Lana. Arkham Maulana. Pria itu juga begitu populer di kalangan anak basket, tidak jauh berbeda dari Ethan dan Hito. Lana pribadi pendiam yang serius akan hidupnya. Kekayaan keluarganya setara dengan Ethan dan Hito. Pria itu irit bicara di luar, tetapi akan banyak mengoceh ketika bersama Ethan, Hito, dan Saka. Mereka anak-anak elite yang sesungguhnya membuat Genta sedikit minder.
“Dia diem aja udah banyak cewek ngejar, apalagi sekali ngedipin calon cewek lo itu,” lanjut Alvian.
“Masa bodoh. Gue juga dijodohin doang, kalau misal dia nolak juga gue masih it’s okay.”
Satu daun kering jatuh di hati Genta. Meski ia sedikit tidak terima. Padahal ia sendiri yang mengucapkannya. Namun, lagi dan lagi itu hanya bentuk pertahanan dirinya di hadapan mereka. Ia sudah terbiasa dicaci Ethan. Begitu kecil perlawanannya adalah pandai menimpali omongan kotor mereka ketika sedang mengerjainya. Genta akan melakukannya, entah akan sampai kapan ia bertahan dalam lingkaran ini.