"Berarti setuju?”
Rhesya memasukkan beberapa buku mata pelajaran ke dalam tas merah mudanya. Pertanyaan terakhir Genta semalam bahkan tidak dapat ia jawab dengan baik.
“Em, kita bisa lihat ke depannya mungkin, Kak.”
Rhesya menepuk jidatnya sendiri jika mengingat jawaban tidak masuk akalnya semalam. Belum juga ia sempat bernapas lega dari ingatan Genta dengan handuk birunya. Pikiran bodoh Rhesya yang terus mengiringinya sampai di atas meja makan bersama Ferdinan yang sudah rapih dengan kemeja formalnya seperti biasa.
Hari-hari Rhesya berjalan seperti yang lalu. Seolah daun jatuh yang tidak pernah jauh dari pohonnya. Anak dan ayah itu terlibat saling diam karena kepribadian yang sama. Ferdinan bukan ayah yang baik untuk diajak berkomunikasi atau menceritakan keseharian Rhesya di sekolah. Entah lingkungan persahabatan atau bahkan percintaan.
Rhesya menjalani hampir penuh tahun-tahunnya bersama Ferdinan tanpa sosok ibu yang pergi meninggalkan mereka sedari Rhesya kecil. Rhesya menjadi korban perceraian orang tua sedari ia duduk di bangku sekolah dasar. Entah di mana sekarang sosok mama itu berada. Bahkan Rhesya sudah melupa akan wajah ibu kandungnya.
“Papa berharap kamu bisa kenal dekat dengan Genta.” Ferdinan yang pertama membuka pembicaraan seusai tegukan air putih dan sapuan tisu di bibirnya.
“Papa serius?”
“Papa tak pernah membicarakan soal laki-laki denganmu, bukan? Jadi kali ini Papa serius.”
Rhesya mengangguk. Ferdinan memang dapat dikatakan sebagai seorang strict parent. Ia akan berusaha apapun caranya supaya Rhesya tidak pulang membawa seorang laki-laki selain kerja kelompok, dan itu pun harus bersama teman wanita lainnya. Hal yang membuat Rhesya harus menyembunyikan perasaannya untuk Ethan pada Ferdinan. Bukan hanya Ethan, mungkin juga pria lain ketika ia duduk di bangku sekolah menengah pertama. Mengingat itu, Rhesya jadi tidak enak makan.
Ting Tong…
Kedua orang di meja makan itu menoleh ke ruang tamu bersamaan. Tidak seperti biasa di jam pagi seperti ini ada yang memencet bel rumah mereka. Ketika Rhesya membuka pintu dengan menenteng sepatu, hampir saja jantung dalam dadanya melompat ke jalanan. Tidak dengan pria di hadapannya yang melepas helm dengan santai.
“Kak Genta?”
“Disuruh Bunda. Ayo, keburu telat.”
“Oh Genta…” Ferdinan menghambur keluar, “udah sarapan belum, Ta?”
“Pagi, Om.” Genta menyalami tangan Ferdinan, tidak lupa menciumnya. Pemandangan yang membuat Rhesya menggigit bibir karena merasa canggung sekaligus aneh. Baru kali ini ada pria yang mencium tangan Ferdinan di hadapannya, bahkan tepat di teras rumahnya, “udah kok, Om. Tadi dimasakin Bunda.”
“Bagus.” Ferdinan tersenyum sumringah menepuk pundak Genta yang berlapis hoodie abu, “ya sudah kalian berangkat, ya. Takut terlambat. Jagain anak Om ya, Ta.”
“Beres, Om.” Genta tersenyum pasti sambil mengacungkan ibu jarinya.
“Em, ya udah, Pah. Aku berangkat ya.”
“Iya.”
“Assalamualaikum, Om.” Genta menuruni anak tangga teras terlebih dahulu sambil menenteng helmnya.
“Waalaikumsalam. Hati-hati bawa motornya, Ta.”
“Iya, Om. Aman.”
Rhesya yang kini mati-matian menahan degup jantungnya ketika Genta membantu dirinya mengenakan helm yang entah mengapa bisa begitu sesuai dengan kepalanya yang kecil. Wajah Genta terasa jauh lebih dekat daripada semalam. Rhesya mendongak, sambil menggembungkan pipinya, berusaha menahan gugup dengan bola mata berpendar ke sana-kemari, mencoba mengalihkan pandangan ketika Genta mengaitkan chin strap pada helmnya.
“Kenapa?” tanya Genta menggoda Rhesya yang terlihat lucu di matanya ketika sedang salah tingkah.
“Hah? Apa, Kak?”
Genta membalikkan badan sembari merogoh saku celana seragam. Ia mengeluarkan sebuah ponsel hitam dari dalam kantong, lantas membuka fitur kamera. Rhesya yang tidak siap hanya bisa membengong ketika Genta mengangkat ponsel itu ke udara dengan kamera depan menghadap mereka.
“Laporan buat Bunda.”
Mengerti, Rhesya menarik kedua jarinya di dekat pundak Genta membentuk huruf ‘V’ lantas tersenyum tipis pada kamera. Hanya satu jepretan, tetapi Rhesya dapat melihat senyum ringan di bibir Genta ketika memeriksa ulang foto mereka.
“Ayo.”
Rhesya mengangguk. Ia begitu hati-hati menaiki motor Genta. Lagi-lagi tingkah kaku Rhesya ketika bersamanya membuat Genta tertawa ringan di atas motor. Ia melajukan roda itu membelah jalanan kota dengan hal yang berbeda. Sangat berbeda, bagaimana Rhesya masih terus menahan gugup karena ini baru pertama kali ia dijemput seorang lelaki ketika berangkat ke sekolah.
Daun jatuh sepanjang perjalanan tanpa suara dari mereka, seolah ikut menghiasi roda motor Genta. Pagi yang hangat dan kedua manusia yang tidak saling mengenal satu sama lain saling terlibat canggung di atas motor. Rhesya ragu meraih hoodie di pinggang Genta. Sesekali Rhesya mencuri pandang pada pundak pria itu, kemudian spion yang sedikit memperlihatkan lengan Genta atau helm bagian sampingnya. Rhesya mendongak. Dedaunan pohon besar seolah memberinya petunjuk jika kini ia sedang bermimpi. Mimpi indah namun bukan dengan pria yang tepat. Mengapa?
Motor Genta memasuki kawasan sekolah sampai di parkiran. Bersamaan dengan sebuah mobil putih yang terparkir di seberangnya. Rhesya turun dari motor dengan hati-hati. Kemudian melepas helm dibantu Genta.
“Ta!”
Rhesya menoleh bersamaan dengan Genta yang selesai melepaskan helm di kepalanya. Degup jantung Rhesya kian bertalu. Pria itu berdiri di sana, bersandar pada mobilnya dengan tas yang tersemat di pundak sebelah kiri. Pria yang membuat Rhesya merasa ia sedang jatuh cinta diam-diam. Ethan?
“Nanti pulang sama gue lagi, ya.”
“Em iya, Kak.” Rhesya bahkan masih fokus pada Ethan yang menyambut datangnya beberapa anak IPS lain yang mulai turun dari kendaraan mereka masing-masing. Rupanya ini adalah tempat di mana mereka biasa memarkirkan mobil dan motornya bersamaan.
“Ta, lo nggak dateng semalem?” tanya seseorang yang membuat Rhesya menoleh.
“Ada Om Ferdinan.”
“Udah selesai dong tugas kelompok kita?”
“Bangke!” umpat Genta lirih.
“Haha…” tawa pria itu sembari menepuk kepala Genta.
“Lo langsung kelas aja, nggak papa. Gue masih di sini nunggu yang lain,” ujar Genta pada Rhesya.
“Pacar lo, Ta?!” seru seseorang yang baru saja keluar dari mobilnya lantas ber-high five dengan Ethan.
Hito. Lelaki berdarah Jepang itu begitu Rhesya tahu. Hito sudah menjadi bahan perbincangan di dalam kelasnya sejak masa penerimaan siswa. Ia bergabung dalam kegiatan OSIS untuk menyambut kedatangan siswa baru dan mengurus kegiatan masa orientasi, sekaligus dikenal karena aktifnya menjadi pemain basket SMA bersama Ethan.
“Mulut lo!” bantah Genta.
Rhesya mengikuti langkah Genta mendekat pada Ethan dan anak lainya. Ethan bahkan jauh lebih tampan ketika Rhesya melihatnya dalam jarak sedekat ini. Biasanya ia akan melihat Ethan dari kejauhan, namun kini pria yang selama ini ia curi-curi pandang di lapangan atau kantin itu berdiri di hadapannya. Ketika bola mata mereka bertemu, Rhesya hanya mampu menunduk. Mengamati sepatu hitam Ethan. Ia tersenyum diam-diam. Bola mata Ethan begitu indah bagi Rhesya.
“Kak, gue ke kelas, ya.”
“Iya. Hati-hati.” Genta menepuk lirih pundak Rhesya. Menyingkirkan daun yang jatuh di pundaknya.
Rhesya bersemu akan sikap Genta. Apalagi di hadapan Ethan. Ia memberanikan diri mendongak menatap pria yang sedang mengalihkan pandangan pada Hito dan kawanannya yang lain.
Senyum Ethan begitu manis. Ingin sekali Rhesya melihatnya lebih lama. Melihat bagaimana Ethan tertawa karena candaannya sendiri, kemudian crooked teeth-nya, sampai mencetak lesung di pipi sebelah kanan. Rhesya tersenyum samar, sebelum berlalu melewati Ethan.
Ia yakin jika mulai jatuh cinta semakin dalam ketika dengan jelas mendengar suara Ethan. Atau bahkan ketika mata mereka bertemu. Tidak salah lagi. Ia sedang kasmaran dengan pria yang sempat bertukar pandang denganya. Bodohnya Rhesya tidak mampu melawan tatap mata Ethan, sampai-sampai ia menunduk malu. Senyum manis kembali terbit di bibir ranum Rhesya sepanjang langkahnya menyusuri lorong kelas Bahasa. Kupu-kupu itu menari di perutnya.