Kamu nggak ingat sama sekali dengan Genta?” tanya Erlie tiba-tiba.
“Em, nggak terlalu ingat, Bun.” Rhesya memasukkan potongan buah mangga ke dalam blender.
“Dulu kamu pernah menginap di sini. Tapi memang sudah sangat lama, waktu papamu lagi dalam masalah. Dia membawamu menginap di sini…” Erlie menghentikan cerita karena mencicipi masakan di telapak tangannya, “dulu kamu sekecil itu. Sekarang udah cantik banget. Dulu juga malu-malu ketemu sama Genta, sekarang juga sama. Haha, kalian sangat lucu.”
“Papa cuma bilang kalau punya teman di Perumahan Mawar Indah. Dulu pernah menginap di sana, tapi Rhesya nggak terlalu ingat.”
“Kamu masih kecil itu. Genta juga pasti tak ingat. Haha.” Erlie mematikan kompor. Hidangan terakhir yang siap ia sajikan di atas piring.
Suara deru blender terdengar bising, sampai tidak menimbulkan nada percakapan dari keduanya. Erlie sibuk dengan semua piring di atas meja dapur, sedangkan Rhesya sibuk dengan jus mangga disusul alpukat untuknya.
“Bunda menata piring-piringnya di meja makan dulu ya, Sya.”
“Baik, Bunda.”
Erlie berlalu meninggalkan Rhesya yang sibuk memasukkan buah terakhir untuk Genta. Ia mengambil sekotak gula pasir bersiap menuangkan satu sendoknya pada potongan alpukat, air, dan es batu.
“Buat gue?”
Rhesya terlonjak seketika. Ia cepat berbalik, sebelum membulatkan bola mata. Ia hampir berteriak jika saja tidak menyadari sedang di mana sekarang dirinya berada. Buru-buru ia memutar tubuh sedikit menutup wajah dengan kedua telapak tangan, memunggungi Genta.
“Sorry, sorry. Cuma mau bilang gulanya gue mau kasih sendiri.”
Rhesya yang mendengarnya hanya mengangguk tanpa berbalik menatap lelaki yang hanya mengenakan handuk berwarna biru menutup bagian bawah, sedangkan bagian atasnya ia biarkan bertelanjang begitu saja dengan rambut basah. Apakah pria itu sudah gila?
“Udah. Jangan terlalu cair banget ya, smoothies aja. Gue lebih suka smoothies.”
“I-iya, Kak.”
“Oke. Makasih.”
Rhesya menghela napas lega ketika mendengar langkah kaki Genta meninggalkan dapur. Tidak bisa dibiarkan, Rhesya sudah melihatnya. Bodohnya ia kini teringat bagaimana pria itu menatapnya aneh ketika bola matanya membulat lebar. Bagaimana tidak? Jantung Rhesya seolah berhenti memompa dan berdenyut tidak karuan.
“Rhesya? Tak apa, Nak?”
“Hah? Enggak, Bun.”
“Udah selesai, kan? Ayo ke meja makan. Bunda gantian bikin jusnya. Genta juga udah selesai mandi.”
“Kamar mandinya di bawah, Bunda?” tanya Rhesya memastikan jika Genta tidak dengan sengaja turun ke dapur hanya untuk menaruh gula pada minumannya sendiri.
“Kamar mandi di kamar Genta lagi diperbaiki. Kenapa, Rhesya?”
“Hah?”
Erlie menggoda Rhesya nakal. Sudah pasti Rhesya melihat putranya keluar dari kamar mandi. Rona di pipi Rhesya memang tidak bisa membohongi dirinya. Erlie mencolek hidung Rhesya gemas, sebelum meletakkan jus-jus dalam gelas itu di atas nampan. Rhesya sungguh kewalahan menghadapi beberapa hal malam ini. Atau justru dirinya yang gila karena terngiang apa yang dilakukan Genta? Benarkah begitu?
Meja makan yang penuh akan hidangan. Rhesya sesekali mencuri pandang pada Genta yang sibuk menyuapi keponakan di pangkuan. Lucu sekali bagaimana balita itu menempel pada Genta, seolah begitu nyaman, atau justru rindu dengan pamannya?
“Kalian ini satu sekolah tapi tidak pernah bertemu?” tanya Cakra sesekali mengunyah makanan.
Genta akhirnya mendongakkan kepala. Ia menatap Rhesya yang menatap ayahnya, sebelum manik itu bertemu dengannya dari seberang meja. Genta mengerutkan kening bingung. Karena ia pun tidak pernah melihat Rhesya di sekolah, atau justru Rhesya yang tidak pernah muncul di hadapanya.
“Em, kalau Rhesya sesekali lihat Kak Genta, tapi nggak tahu kalau Kak Genta anak sahabat papa.”
“Iya? Di mana? Lo anak IPA?”
Jantung itu seolah ingin melompat. Tidak mungkin jika Rhesya berkata jujur di atas meja ini, bukan? Tidak mungkin ia mengatakan jika yang sedang ia perhatikan adalah Ethan yang otomatis ia akan mencari tahu teman-teman atau orang-orang yang ada di sekeliling Ethan juga.
“Em, gue Bahasa, Kak.”
“Padahal kelas kita nggak terlalu jauh.” Genta menyuapi mulutnya dengan potongan sayur hijau.
“Gue lihat lo di kantin biasanya, kalau nggak di tempat parkir, Kak.”
“Oh, sama manusia yang namanya Hito, Ethan?”
Nama itu akhirnya tersebut juga. Tidak salah lagi. Ia adalah Genta, lelaki yang ia lihat biasanya ikut bergabung dan duduk-duduk bersama Ethan. Rhesya mengangguk semangat setelah mendengar nama Ethan disebut dalam meja makan ini.
“Kalian kenapa nggak berangkat sekolah barengan aja?” tanya Erlie.
Rhesya terbatuk tiba-tiba yang membuat Genta cepat menyodorkan air minum padanya. Apa maksudnya berangkat ke sekolah bersama? Otaknya begitu lamban berjalan. Pelan-pelan ia meminum air putih dari Genta.
“Ngapain, Bun?” tanya Genta.
“Langsung aja, Cakra. Biar mereka lebih paham.”
Ucapan terakhir Ferdinan membuat degup jantung Rhesya bertalu. Ia mendongak menatap Genta yang bahkan lebih santai daripada reaksinya. Pria itu sibuk menghabiskan makanan untuknya dan balita di pangkuan.
“Jadi begini. Kami sudah memutuskan, akan menjodohkan kalian.” Cakra menjelaskan dengan lebih terbuka. Hal paling tidak masuk akal yang diterima otak Rhesya. Ia hanya mampu mematung dengan mulut sedikit terbuka. Ini tidak benar, bukan? Lantas bagaimana perasaannya pada Ethan? Ia beralih menatap Genta. Pria yang cukup lumayan tampan di matanya, meskipun tidak dapat menggantikan posisi Ethan dalam hal apapun.
“Masih jaman jodoh-jodohan, Yah?” Genta menanyakannya dengan nada terkesan bercanda.
“Ah, kalian bisa saling kenal dulu. Bisa lebih deket dulu.” Erlie berusaha menengahi kekagetan kedua anak itu.
“Serius, Bun?” tanya Genta menenggak habis smoothies dalam gelas.
“Apa kamu lihat wajah bercanda kami?”
“Serius, Om?” tanya Genta lagi pada Ferdinan. Kali ini pria itu sangat mewakili pertanyaan di hati Rhesya yang tidak mampu ia lontarkan.
“Iya. Kalian bisa saling kenal dulu aja. Rhesya agak pemalu dan tak pandai ngobrol sama orang. Tolong bantuannya Genta, ya.”
Suasana sedikit berubah. Kedua manik Genta dan Rhesya saling bertemu. Genta dengan kebingungannya dan Rhesya dengan segala kemustahilannya. Bagaimana bisa? Perjodohan ini membuat Rhesya berhenti mengunyah makanan. Mengapa harus ada perjodohan di saat ia telah membuka hati pada seseorang setelah sekian lamanya ia kunci? Mengapa justru pria itu adalah Genta, sahabat Ethan sendiri? Bagaimana perasaan Rhesya yang hampir setengah tahun ini bertahan pada Ethan, kemudian apa iya akan jatuh melebur begitu saja?
“Lo nggak papa?” tanya Genta mengejutkan.
“Ah, iya. Nggak papa, Kak.”
“Lo punya pacar? Atau orang yang lo suka?”
Pertanyaan macam apa lagi? Mengapa Genta begitu lancar menanyakannya? Rhesya terpaksa menggelengkan kepala. Padahal ia sangat berharap bisa berkata jujur jika kini ia sedang jatuh cinta dengan pria lain. Ethan, namanya. Bola mata mereka bertemu dalam diam. Perjodohan ini begitu cepat dikatakan.
Ada orang lain, jelas dia bakalan nolak perjodohan ini, batin Genta menyunggingkan senyum tipis di bibirnya sembari menundukkan kepala kembali, mencium-cium pipi keponakannya gemas.
“Bisa kan ya, Sya?” tanya Ferdinan, “Papa percaya sama Genta. Papa lihat Genta tumbuh. Papa sama Genta juga sudah dekat. Kami tidak saling canggung. Genta anak baik. Papa bisa jamin itu. Iya kan, Genta?”
“Ah iya, Om. Nanti bisa sama diatur.”
“Om percaya sama kamu.”
Mereka terlibat perjodohan. Bukankah ini mimpi buruk untuk siapapun? Genta adalah lelaki baik. Sekilas yang dapat Rhesya tangkap dari pertemuan di meja makan. Bagaimana ia begitu menyukai anak kecil dan memperlakukan orang lain tanpa mengenal apakah ia teman dekat atau hanya sebatas teman. Namun tetap saja, Ethan sudah terlebih dahulu mencuri perhatiannya. Bagaimana kini Rhesya harus bersandiwara di atas kebohongan keluarga? Bagaimana?
“Memang Kak Genta nggak ada pacar?” tanya Rhesya di teras dapur seusai mencuci piring dibantu Genta.
“Gue udah putus setahun lalu. Lo kali. Lagi suka sama orang? Lo bisa nolak perjodohannya kapan aja. Nggak perlu sungkan sama gue atau orang tua gue.”
“Em, enggak kok.”
“Berarti setuju?”