Rhesya memandangi dinding sebuah ruang tamu. Bercat cream terang dengan pantulan lampu gantung bergaya klasik yang menghias langit-langit di atas ia duduk pada sebuah sofa. Bola mata Rhesya berhenti tepat di pigura foto keluarga. Ia memandangi lelaki yang berdiri di tengah dua kakak perempuannya, kemudian ayah dan bundanya di sisi paling ujung. Tunggu dulu. Rhesya tampak tidak asing dengan wajah lelaki dalam foto itu. Seperti ia pernah sesekali melihatnya, namun di mana?
“Oh itu, anak, saya. Bukannya dia satu sekolah sama kamu?” tanya wanita bernama Erlie itu pada Rhesya yang terlihat begitu bingung dan canggung.
“Kakak kelas jauh sepertinya, Er…” jawab Ferdinan, ayah Rhesya sembari menyeruput teh hangat.
“Ah, nggak. Kalau Rhesya kelas satu SMA terus baru masuk kemarin, anak aku baru kelas dua. Dia masuk IPS, Rhesya masuk apa, Nak?”
“Bahasa, Bu.”
“Ah iya. Jangan panggil Bu coba. Bunda saja, hehe. Kenalan coba sama anak Bunda. Siapa tahu kan, ya…” Erlie menatap Ferdinan yang tampak setengah tidak peduli.
Siapa tahu apa? Batin Rhesya. Sebelum dirinya menatap Ferdinan yang meletakkan kembali gelas ke atas meja kaca. Lagipula untuk apa Ferdinan tiba-tiba mampir dan mengenalkan dirinya pada salah satu sahabatnya. Bahkan Rhesya hanya meminta dijemput setelah pulang dari les tambahan Bahasa Perancis dan Ferdinan tanpa sepengetahuannya, membelokkan mobil ke arah salah satu bangunan di Perumahan Mawar Indah, tengah kota.
“Coba sebentar. Elok…”
Erlie memanggil anak tertua di keluarga mereka yang telah menjadi seorang ibu. Rhesya mengetahuinya karena Kak Elok inilah yang pertama kali membukakan pintu untuknya dan Ferdinan dengan membawa balita lucu di gendongan. Beberapa kali juga Erlie dan Cakra membicarakan perihal Kak Elok yang sudah berumah tangga pada mereka. Malam ini kebetulan suaminya sedang jadwal piket malam. Jadilah Kak Elok mampir ke rumah orang tuanya sebelum suaminya yang diceritakan berprofesi menjadi seorang polisi itu datang menjemput.
“Iya, Bun.”
“Tolong itu adikmu. Masa belum kasih salam, ini ada Om Ferdinan, lho.”
“Bentar, Bun. Elok panggilin di atas.”
“Emang suka ngawur anaknya,” senyum Erlie menatap Rhesya, seolah sedang memaksa wanita itu untuk menjadi putrinya sendiri.
Berbeda dengan Rhesya yang hanya tersenyum simpul menanggapi Erlie. Sebelum ia memutuskan untuk beralih menatap Cakra yang juga tengah sibuk mengobrol dengan papanya. Ia jadi teringat kalimat yang keluar dari mulut Cakra ketika ia pertama kali memasuki rumah dan bersalaman tadi.
“Udah punya pacar belum nih …”
Rhesya dengan polos menjawab belum dan tidak memiliki pacar. Ia mendadak curiga dengan pertemuan kedua keluarga ini. Apa yang sedang Ferdinan rencanakan padanya kali ini? Apalagi mendengar tanggapan Erlie yang begitu bahagia ketika melihatnya.
“Nah ini, Bun anaknya. Malah tidur habis maghriban. Linglung kamu ntar.” Elok menoyor kepala pria di hadapannya yang berusaha berjalan dengan mata setengah terpejam.
Rhesya melihat Cakra yang hanya menggelengkan kepala, seolah terbiasa dengan sikap putranya. Kemudian Ferdinan yang tampak lebih akrab dengan pria di hadapanya, sampai-sampai yang ia beri salam pertama kali adalah Ferdinan. Padahal yang duduk lebih dekat dengan posisinya berdiri adalah Rhesya.
“Om…” sapanya lantas mencium tangan Ferdinan.
“Tidur mulu.” Ferdinan menepuk pundak pria itu, yang dibalas dengan cengiran.
Rhesya masih terus menatap pria dengan rambut terurai sedikit panjang menutup jidat sampai tulang pipi. Sampai ketika pria itu mulai fokus untuk menyalaminya, barulah wajah mereka bertemu. Tidak salah, Rhesya sama sekali tidak ragu setelah melihatnya secara langsung dalam jarak dekat. Dia…
“Genta.”
Ia lebih dulu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan pada Rhesya.
Genta? Itu namanya?
“Em, Rhesya.”
Ketika Rhesya membalas uluran tangan itu, seketika bagian lain dalam dirinya menolak lupa jika pria itu adalah teman Ethan. Rhesya sama sekali tidak menyangka jika pada akhirnya, orang tuanya justru mengenal pria yang selalu bersama Ethan. Bahkan kedua orang tua mereka bersahabat semenjak Rhesya masih kecil. Genta. Rhesya baru saja tahu nama pria itu, walaupun sesekali melihatnya di lapangan sekolah atau bahkan kantin ketika jam istirahat pertama bersama Ethan dan sekumpulan anak-anak IPS lainnya.
“Ah, lucunya mereka, Yah. Udah serasi itu,” bahagia Erlie menepuk pundak suaminya yang hanya manggut-manggut menanggapi.
Seketika Rhesya melepas jabatan tangan keduanya. Rhesya merasa dingin tulang tangan Genta sedikit mengorek sedikit memori dalam otaknya. Mengingatkanya pada sosok Ethan yang beberapa kali mengambil alih pandangan darinya.
“Genta mandi dulu deh, Bun.”
“Jam segini baru mandi. Ya sudah buru. Terus ikut makan malam.”
“Genta mau ke kota sama temen-temen.”
“Ta, nggak mau nemenin Om Ferdinan makan dulu?” tanya Cakra dengan hisapan rokok terakhirnya.
Rhesya justru ingin sekali bertanya, apa teman-teman yang Genta maksud adalah Ethan? Wanita itu terus menatap Genta yang tampak menyerah jika sang ayah telah memberi perintah. Sesuai dugaan Rhesya, Genta adalah anak kesayangan kedua orang tuanya. Sebagai anak bungsu yang masih membutuhkan perhatian lebih. Hidup seperti Genta pasti impian semua anak, tidak seperti dirinya.
“Nongkrong bisa kapan-kapan, Ta. Om nggak sering lho ke sini.” Ferdinan mengimbuhi seolah berbicara dengan putranya sendiri, atau justru karena ia sangat ingin memiliki seorang anak laki-laki?
“Bohong banget, Om. Tapi nggak papa sih, sekalian Genta sebenernya mau bahas soal wayang-wayangan kemarin.”
“Wayang-wayangan?” tanya Erlie yang juga mencetak kerut di kening Rhesya.
“Tugas praktek bahasa daerah. Kelompok Genta dapet wayang golek. Om Ferdinan kan pakarnya. Haha…”
Tawa itu seperti tidak asing, Rhesya seolah baru mendengarnya. Tidak diragukan lagi, teman-teman Ethan adalah yang paling elite dari lingkaran pertemanan sekolahnya. Bukan semacam geng sekolah, mereka banyak dipertemukan oleh ekstrakurikuler dan kelas yang sama, atau bisa dikatakan sebagai, “kebetulan satu kelas”. Untuk semacam geng sekolah, Rhesya pun telah mengetahui, jika sekolah mereka memiliki perkumpulan geng yang ramai diperbincangkan, sedangkan Ethan maupun Genta tidak termasuk di dalamnya.
“Boleh. Ya sudah tak usah ke mana-mana. Wawancarai Om saja kalau begitu setelah makan.”
“Cakep. Om bantu banget. Bentar, ya.”
Setelah senyum aneh di bibirnya yang sedikit kemerahan pudar itu, Genta melesat masuk lagi ke dalam. Degup jantung Rhesya kembali melega meskipun tidak sepenuhnya. Ketika ia hendak mengambil teh hangatnya kembali di atas meja, Erlie tiba-tiba bangkit sambil menatapnya.
“Rhesya, bantu Bunda siapin makan malam, ya.”
Rhesya hampir tersedak ketika mendengarnya. Ia baru pertama kali datang bertamu dan kini seolah sudah saling mengenal dengan bunda Genta, lantas dengan lancang membantunya memenuhi dapur.
“Bantu, Sya.” Ferdinan menimpali Rhesya yang masih mencoba menetralisir segala situasi di tempat ini.
“Ayo. Ikut Bunda.”
Mau tidak mau, suka tidak suka. Rhesya akhirnya terpaksa bangkit dari duduknya. Entahlah, kini ia pun merasa aneh ketika mengekor langkah Erlie menyusuri ruang tengah yang dilengkapi tv dan sofa, kemudian sudut tangga menuju lantai dua yang minimalis. Seketika ingatanya berputar pada sosok Genta yang menuruni anak tangga dengan kaos putih polos dan celana cokelat pendeknya beberapa menit lalu. Jadi, malam ini ia berkunjung ke rumah salah satu teman Ethan?
Rhesya sampai di dapurnya. Suasana yang sangat canggung, sedangkan Rhesya bukan pribadi ceria yang mudah akrab dengan siapapun. Ia hanya bisa berdiri di depan kulkas melihat Erlie mulai menyalakan kompor dan memanaskan beberapa hidangan.
“Ada yang bisa Rhesya bantu, Bun?” Ah, lagi-lagi terpaksa Rhesya menyebut wanita di hadapannya dengan panggilan itu.
“Ah, tidak usah yang berat-berat. Rhesya bisa buatkan jus? Mangganya di kulkas. Ada pisang juga, Rhesya sukanya apa? Sekalian papamu juga buatkan buah kesukaan dia apa. Bunda siapkan makanan dulu.”
“Baik, Bunda.”
Rhesya mula-mula membuka almari es di belakang tubuhnya dengan hati-hati. Beberapa buah-buahan menyembul di dalamnya. Rhesya mengambil satu mangga untuk papanya, sedangkan untuk dirinya, ia memilih alpukat.
“Oh iya, tolong Rhesya ambilkan satu alpukat buat Genta, ya. Buat Kak Elok sama ayah nanti biar Bunda saja.”
Bukankah itu terlalu jelas? Bagaimana cara Erlie mencoba mengenalkan dirinya dengan Genta lebih jauh? Tapi apa? Alpukat? Rhesya menutup pintu almari es, beralih menatap Erlie yang masih sibuk dengan teflon di atas kompor.
“Rhesya buatkan untuk Kak Genta juga, Bun? Tak sekalian Bunda sama Kak Elok?”
“Iya, Sya. Mereka biar Bunda saja yang buatkan. Tolong buatkan untuk Genta, ya. Gulanya dikit saja, satu sendok. Dia kurang suka manis,” senyum Erlie dengan sedikit kerlingan mata menggoda pada Rhesya, yang seketika mencetak semu merah di pipinya.
Buru-buru ia mengupas semua buah-buahan itu satu per satu. Ia terlalu canggung dan malu membalas semua yang dimaksudkan Erlie. Apa ini perjodohan? Ah, bodoh. Mengapa juga Rhesya harus terjebak di rumah ini? Jika tahu tujuan papanya adalah datang ke sini, tentu saja ia memilih pulang menggunakan taksi.
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
417
315
22
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Fidelia
2157
940
0
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Bunga Hortensia
1643
97
0
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu.
Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting.
Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Liontin Semanggi
1609
972
3
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel.
Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah.
Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar.
Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya.
Sejak saat...
Only One
1095
750
13
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati.
Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3037
1167
26
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja.
Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
VampArtis United
1215
743
3
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd]
Kalian harus baca ini, karena ini berbeda...
Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting.
Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Maju Terus Pantang Kurus
1223
681
3
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss.
Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
399
289
2
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir?
Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh.
Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Penantian Panjang Gadis Gila
325
245
5
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik.
Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.