Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Festival sudah bubar.

Lentera-lentera yang semula menyinari malam satu per satu mulai dimatikan, meninggalkan hanya sedikit cahaya rembulan yang mulai tenggelam di balik awan tipis. Suara riuh yang dulu mengisi udara kini hanya tinggal kenangan samar, digantikan oleh hening yang menebal. Seperti dunia sudah bergerak maju, meninggalkan kami yang masih terperangkap di dalam momen ini, yang tidak bisa kami lepaskan.

Stand makanan satu per satu ditutup dengan bunyi pelan kain digulung dan kayu ditumpuk, menandakan bahwa malam ini sudah berakhir. Namun di antara detik-detik yang mengalir, kami tetap diam di sini, seperti dua orang yang tidak ingin meninggalkan tempat ini. Sakura masih duduk di sampingku, tangannya masih menggenggam tanganku, erat, seperti ada sesuatu yang ingin ia pegang agar tidak lepas begitu saja.

Kepalanya sudah tidak bersandar di pundakku, tetapi bahunya masih menyentuh bahuku, tetap dekat, seolah tubuh kami belum siap untuk benar-benar mengambil jarak. Seperti ada sesuatu yang kami berdua takutkan untuk dilepaskan, sesuatu yang sulit untuk dijelaskan, tapi begitu nyata.

“Malam ini… indah,” katanya akhirnya, suaranya lembut, hampir seperti bisikan yang bertahan di udara malam yang dingin.
Aku mengangguk, meskipun dadaku terasa berat, lebih berat dari biasanya. Karena di balik kata-kata indah itu, ada sesuatu yang menggantung, sebuah ketidakpastian yang tak bisa dipungkiri. Aku tahu dia merasakannya juga. Kami berdua merasakannya.

***

“Besok…” kataku, suara itu hampir terhenti begitu saja di tenggorokanku.
Lalu diam. Suasana kembali hening. Aku bisa merasakan Sakura menunggu, seperti ia tahu kalimat apa yang akan aku katakan, tapi ia memilih untuk diam, memberiku waktu untuk mengungkapkannya.

Ia menoleh, wajahnya tetap tenang, tetapi ada kilat kegelisahan yang bisa aku baca dari matanya. “Besok apa?” tanyanya pelan.

Aku menarik napas, mencoba menenangkan dada yang terus berdebar. “Besok… aku masih nggak tahu gimana caranya bisa legal di sini,” kataku akhirnya. Kalimat itu keluar seperti debu yang sudah lama disimpan, seperti sebuah beban yang terpendam lama, akhirnya muncul begitu saja.

Sakura menunduk, mungkin mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku tahu,” katanya singkat, tetapi cukup untuk membuat hatiku terhimpit.

Aku menunduk, merasa berat untuk melanjutkan. “Dan... kamu juga tahu, orangtuamu nggak bakal senang kamu dekat dengan orang kayak aku.” Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan itu, ketakutan bahwa segala yang kami punya akan berakhir karena kenyataan yang tidak bisa kami hindari.

Dia diam sejenak. Aku bisa merasakan wajahnya semakin dekat, seperti ia ingin mengatakan sesuatu, tapi juga tahu betapa sulitnya itu. Lalu ia mengangguk, pelan. “Mereka akan marah.”

Aku melanjutkan, merasa semakin gelisah. “Dan kamu bisa kehilangan banyak hal.” Kata-kataku berat, seperti batu yang terlempar ke dalam danau yang tenang, membuat riak yang mengguncang kedamaian kami.

Sakura tidak membantah. Untuk sejenak, suara yang terdengar hanya angin, melesat lembut di antara daun-daun yang bergoyang, dan dengung jauh dari stasiun yang hanya terdengar samar.

***

Aku ingin mengatakan, kalau begitu kita berhenti saja. Tapi lidahku menolak, seperti ada suara dalam diriku yang menahan kata-kata itu. Aku ingin bertanya, ingin tahu apakah Sakura masih ingin melanjutkan, meskipun kami tahu betapa sulitnya itu.

Sebaliknya, aku bertanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Kamu... masih mau lanjut?”

Sakura menoleh ke arahku, matanya yang biasanya cerah kini tampak lebih tajam, lebih penuh dengan keyakinan. Seperti ia ingin memastikan bahwa bagian hidupnya ini tidak ada yang disembunyikan, tidak ada yang disisakan untuk keraguan.

“Kalau kamu mau… aku juga mau,” katanya dengan suara yang tidak ragu, meskipun aku bisa mendengar sedikit ketegangan dalam kata-katanya.

Aku tertawa kecil, pahit. “Itu jawaban yang nggak praktis.” Kata-kataku keluar lebih kecut daripada yang aku harapkan, dan aku bisa merasakan rasa sakit itu mengalir melalui suaraku. Tidak ada janji yang mudah, tidak ada solusi yang tepat. Hanya ada kenyataan yang harus dihadapi.

“Cinta bukan proyek praktis,” katanya cepat, hampir seperti ia sudah menyiapkan jawabannya. Lalu menambahkan dengan senyum tipis, “Aku tahu. Aku belajar itu malam ini.”

Aku menatapnya lama, mencoba menyelami apa yang ada di dalam dirinya. Wajahnya dibingkai cahaya sisa lentera yang tinggal satu-dua, tetapi itu cukup untuk menunjukkan kepercayaan diri yang mulai tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang selama ini mungkin ia simpan rapat-rapat, akhirnya mulai ia tunjukkan.

“Aku belum tahu jalan keluarnya, Sak,” kataku akhirnya, suaraku lebih rendah, hampir berbisik. “Kalau aku nggak bisa dapat visa, aku bisa dideportasi. Kalau ketahuan kerja ilegal, Yamamoto-san juga bisa kena masalah.” Kata-kataku seperti menumpahkan seluruh ketakutanku, ketakutan yang tidak bisa aku sembunyikan lagi.

Sakura tidak menjawab langsung, tetapi tangannya yang tadi agak longgar sekarang mempererat genggaman. Aku bisa merasakan kehangatan itu, seperti ada kekuatan yang mengalir dalam genggaman tangannya, memberi aku sedikit kekuatan untuk melawan ketakutanku.

Lalu dia berkata pelan, dengan suara yang sangat lembut namun tegas, “Kalau satu-satunya jalan adalah jalan gelap... aku akan tetap jalan di sebelah kamu.”

***

Mataku terasa panas lagi. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang bergerak di dalam dadaku, sesuatu yang ingin keluar, tetapi aku menahannya. Tidak ada air mata yang mengalir, tetapi ada perasaan yang hampir tidak bisa aku tahan. Aku menunduk, berusaha mengendalikan napasku. Tapi di dalam kepalaku, ada gambar-gambar yang saling berputar, gambar tentang masa depan yang kabur, tentang potensi kehilangan, dan tentang kami yang terjebak di dalamnya.

Namun, meskipun semuanya terasa semakin berat, ada satu hal yang tidak bisa aku pungkiri: perasaan ini. Perasaan yang datang begitu murni, seperti air yang jernih dan tak terhalang. Perasaan yang ada di antara kami, yang lebih nyata dari apapun yang bisa diukur dengan akal sehat atau logika.

Kami tidak saling mengatakan apa-apa lagi. Keheningan malam itu terasa seperti pelukan yang lebih kuat dari apapun yang bisa kami lakukan dengan kata-kata. Kami duduk dalam kegelapan yang tidak menakutkan, hanya kami dan dunia yang tiba-tiba terasa sangat jauh. Sakura, yang duduk di sampingku, masih memegang tanganku dengan erat, seperti ia ingin memastikan bahwa tidak ada jarak di antara kami.

Aku bisa merasakan setiap detak jantungnya, setiap hembusan napasnya yang halus. Meskipun dia tidak berbicara lagi, aku tahu dia merasakan hal yang sama. Kami berdua tahu bahwa malam ini bukan malam untuk berbicara banyak. Ini adalah malam untuk merasakan, untuk hanya duduk bersama dan membiarkan perasaan ini meresap, seiring waktu yang perlahan berlalu.

“Aku…” kata-kataku mulai terhenti lagi. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahku seolah enggan mengucapkannya. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan ketakutan yang menggerogoti diriku, ketakutan akan kehilangan ini, ketakutan akan masa depan yang tak pasti.

Sakura menoleh perlahan, matanya yang biasa penuh keceriaan kini tampak lebih dalam, lebih serius. Dia menatapku tanpa berkata apa-apa, hanya dengan pandangan yang bisa meredakan kegelisahanku meski sedikit. Lalu dengan lembut, ia berbicara, “Kamu takut.”

Aku tidak bisa menyangkalnya. “Iya,” kataku akhirnya, meskipun suara itu terdengar lebih seperti bisikan daripada pengakuan. “Aku takut. Aku takut kehilangan... aku takut kita nggak bisa bertahan. Aku takut semua yang kita jalani ini sia-sia.” Aku tertawa kecil, tapi tawa itu terasa kosong, tanpa kegembiraan apapun. “Aku takut kalau kita nggak bisa cari jalan keluar dari semua ini.”

Sakura tetap memandangku, namun aku bisa melihat matanya mulai berbinar lagi. Matanya yang memandangku dengan sebuah pengertian yang begitu dalam, membuatku merasa lebih diterima dari sebelumnya. “Aku juga takut,” katanya, suaranya sangat lembut, seolah mengalir langsung dari hati. “Aku takut kehilangan kamu... aku takut kalau ini semua berakhir dengan cara yang nggak aku inginkan. Tapi kalau aku harus memilih antara tetap bersama kamu atau melepaskan... aku lebih baik bertaruh pada kita.”

Aku mengangkat wajahku, menatapnya lama. Kata-katanya seperti sebuah belati yang menusuk, tetapi dalam cara yang menenangkan. Ia memilih untuk tidak takut, untuk memilih kami, meski dunia seakan menentang kami. Tanpa sadar, aku meremas tangannya lebih kuat. Kami tidak perlu janji besar atau kata-kata indah. Cukup dengan hadir di sini, sekarang, dalam keheningan ini, kami tahu bahwa kami saling memilih.

“Kamu tahu,” aku melanjutkan, meskipun suara itu terasa sangat rapuh, “perjalanan kita nggak akan mudah. Banyak yang akan melawan. Kamu tahu itu, kan?”

Sakura mengangguk pelan, seakan ia sudah mempersiapkan diri untuk semua kemungkinan itu. “Aku tahu.” Ia menatap langit, dan aku mengikuti arah pandangannya, melihat rembulan yang kini bersinar terang. “Tapi aku juga tahu... kadang hidup memang nggak adil. Dan kadang kita harus berani membuat pilihan yang nggak populer.”

Aku bisa merasakan ketegasan dalam suaranya, meskipun ia berkata begitu pelan. Ada sesuatu yang dalam di dalam matanya, sebuah tekad yang sudah tumbuh jauh di dalam dirinya, jauh lebih dalam daripada yang bisa aku bayangkan sebelumnya. Seperti ia sudah siap untuk menghadapi apapun yang datang, asal bersama dengan aku.

Untuk sesaat, kami hanya diam. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan. Kami hanya duduk bersama, membiarkan angin malam mengusap wajah kami, dan perasaan ini, yang semakin kuat, semakin mendalam, mengikat kami dalam kebersamaan yang tidak terucapkan. Mungkin, kami belum tahu bagaimana cara melawan dunia yang memisahkan kami. Mungkin kami tidak punya jawaban atas semuanya. Tapi di sini, di bawah langit malam yang tenang ini, kami sudah memutuskan satu hal.

Kami akan tetap bersama. Apa pun yang terjadi.

Dan dalam diam itu, ada sumpah yang tak perlu terucap: Kami akan bertahan. Kami akan berjuang, bersama.

Karena jika dunia memaksa kami menyerah, kami akan menolaknya dengan satu hal yang lebih kuat dari apapun: Kami akan memilih untuk bersama.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Batas Sunyi
1685      754     106     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Main Character
899      551     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Heavenly Project
463      321     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...
A Missing Piece of Harmony
219      173     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
62      54     1     
True Story
Intertwined Hearts
872      478     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
Kacamata Monita
684      307     0     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Da Capo al Fine
259      219     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Langit Tak Selalu Biru
67      57     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
When Flowers Learn to Smile Again
777      574     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...