Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya.
Udara dingin masuk lewat celah jendela kecil, menusuk hingga ke tulang.
Aku membungkus diri dengan selimut tipis yang sudah mulai kusam, tapi hangatnya tetap mengingatkan aku pada sesuatu yang hilang.
Biasanya, aku langsung turun ke dapur, tapi pagi ini aku duduk diam di futon, memandangi ponsel mati di tanganku.
Layar gelap, kosong, seperti hatiku yang penuh tapi kosong sekaligus.
Sakura tidak datang kemarin. Tidak ada catatan kecil yang terselip di meja. Tidak ada suara langkahnya di tangga.
Dan aku? Aku merasa lega.
Rasa lega yang aneh, seperti ketika kau akhirnya bisa bernapas setelah lama menyimpan sesak.
Tapi juga penuh kegelisahan, karena tanpa dia, aku punya waktu untuk berpikir.
Dan pikiranku berputar liar, seperti roda yang terus berputar tapi tidak pernah menemukan ujungnya.
Sejak hari pertama aku menerima bantuan Sakura, aku tak pernah berhenti merasa tergantung.
Seperti beban yang menempel di punggung, berat dan tak terlihat.
Aku merasa seperti seseorang yang diselamatkan bukan karena pantas, tapi karena kasihan.
Dan siapa yang ingin selamanya jadi objek kasihan?
Aku ingin lebih dari itu. Aku ingin berdiri sendiri.
Tapi di sini aku masih bertanya:
Apakah aku benar-benar bisa?
Atau aku hanya bertahan karena tidak tahu harus ke mana lagi?
Aku menggenggam ponsel itu erat-erat, berharap ada pesan, tapi hanya hampa yang kuterima.
Dan di keheningan pagi itu, aku mulai merasakan ketakutan yang lebih besar daripada dingin di luar jendela.
Ketakutan bahwa aku tidak akan pernah bisa benar-benar bebas.
Bahwa aku hanya akan jadi beban yang tak pernah bisa aku lepaskan.
***
Sore itu, aku sedang mencuci wajan yang sudah hampir bersih.
Suara air mengalir dan bunyi sikat beradu dengan senyap yang memenuhi ruang kecil itu.
Pintu restoran berbunyi, lonceng kecil berdenting, tapi aku tidak menoleh.
Langkah Sakura masuk seperti biasa, ringan dan tak terburu-buru.
Tapi aku sengaja membiarkan punggungku menghadap ke arahnya.
Aku belum siap untuk melihatnya, belum siap menghadapi kehadirannya yang selalu membawa campuran perasaan rumit.
Dia duduk di kursi dekat dapur dengan tenang, tanpa berkata apa-apa.
Kami berdua terperangkap dalam keheningan yang terasa berat.
Beberapa menit berlalu, tapi udara masih tegang, penuh kata-kata yang tak terucap.
Akhirnya, dia memecah diam.
“Kamu marah?” suaranya pelan, hati-hati, seperti menanyakan sesuatu yang rapuh.
Aku menggeleng pelan, masih sibuk menggosok panci.
“Enggak,” jawabku singkat.
Tapi suaraku tak meyakinkan bahkan untuk diriku sendiri.
“Kamu... beda,” katanya lagi, matanya menatap ke arahku meski aku masih menghindar.
Aku tahu, dia merasakan ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata.
Aku menaruh panci di meja perlahan, mataku turun menatap permukaan kayu yang kasar.
“Aku cuma... mikir,” kataku akhirnya, suara nyaris seperti bisikan.
Dia diam, memberi ruang untukku membuka semua yang ada di kepala.
Sebuah ruang yang jarang kudapatkan selama ini.
“Kamu tahu nggak, Sakura?” aku mulai, menengadah dan bertemu dengan tatapan kosongnya yang sabar.
“Kadang aku merasa kayak... proyek. Kayak kamu ambil aku dari jalanan, terus rawat, kasih makan...”
Aku terdiam, menyesuaikan napas.
“Dan aku takut. Takut kamu terlalu baik. Dan aku... terlalu rusak.”
Sakura tetap diam.
Dia tidak menanggapi, hanya berdiri perlahan dan melangkah ke dapur.
Tapi keheningan itu bukan ketidakhadiran, melainkan kehadiran yang berat dan penuh arti.
***
Dia berdiri di depan dapur, diam tapi hadir di sana, seperti bayangan yang tak bisa aku abaikan.
Aku masih berdiri, menatap lantai yang mulai basah oleh tetesan air dari cuci piring tadi.
Suara detik jam dinding terdengar jelas, mengisi ruang kosong di antara kami.
Aku ingin menatapnya, ingin mencari jawaban di matanya, tapi aku takut.
Takut kalau aku membuka terlalu banyak luka yang belum siap kuhadapi.
Tapi di saat yang sama, aku merasa perlu untuk jujur, perlu membiarkan Sakura tahu apa yang kurasakan sebenarnya.
Dengan suara serak, aku mulai berkata, “Sakura... aku...”
Kata-kataku tersangkut, berat seperti batu di tenggorokan.
“Aku takut. Takut kalau aku jadi beban. Takut kalau kamu cuma kasihan sama aku.”
Sakura tidak bicara, tapi langkahnya mendekat.
Tangannya tak terlihat, tapi aku tahu dia ingin mengulurkan sesuatu.
Dia mengambil tas kecilnya, membuka dengan cekatan, dan mengeluarkan secarik kertas.
Kertas itu terlihat biasa, tapi setiap huruf yang tertulis di sana terasa seperti pelukan yang selama ini aku rindukan.
Dia menyodorkan kertas itu kepadaku dengan tangan sedikit gemetar.
Aku menerimanya dengan hati-hati, seolah memegang sesuatu yang rapuh.
Tulisan tangannya rapi dan tenang:
“Kamu bukan masalah.”
“Kamu... pilihan.”
Aku menatap tulisan itu lama sekali.
Terasa seperti dunia berhenti sesaat, mengizinkan aku untuk bernapas dan menerima kata-kata yang selama ini sulit dipercaya.
Lalu aku menatap Sakura.
Dia berdiri di sana, matanya penuh dengan penerimaan yang tulus, tanpa syarat, tanpa penilaian.
Aku belum pernah melihat mata seperti itu selama aku di sini.
Dan entah kenapa, saat itu, air mata jatuh perlahan di pipiku
Bukan karena sedih, tapi karena lega.
Aku membalikkan badan, pura-pura mengaduk baskom kosong agar dia tidak melihatku menangis.
Dia tidak mendekat, tidak menegur.
Dia hanya tetap berdiri di situ, memberi aku ruang untuk merasa dan menerima.
Setelah beberapa menit, keheningan mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih ringan, tapi tetap penuh makna.
Sakura menghela napas pelan, lalu berkata dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, “Kalau kamu mau pergi... aku nggak tahan. Tapi aku juga nggak akan tahanin.”
Aku menoleh perlahan ke arahnya, masih berusaha menahan gejolak emosi yang ada.
“Terus kenapa kamu lakuin semua ini?” tanyaku, suara serak dan penuh tanya.
Dia diam sejenak, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat.
Lalu, tanpa ragu, ia menjawab, “Karena kamu... buat aku merasa manusia.”
Kalimat itu sederhana, tapi berat seperti batu yang dilempar ke danau, menghasilkan riak yang menjalar jauh dan sulit diabaikan.
Aku tidak mengerti sepenuhnya maksudnya, tapi aku tahu aku tidak akan pergi malam ini.
Aku tahu, aku ingin tetap di sini, di tempat kecil ini, bersama orang yang memberiku ruang untuk menjadi aku, meskipun aku merasa rusak dan rapuh.
Malam itu, aku kembali ke futon kecil di lantai atas dengan pikiran yang lebih berat tapi juga lebih ringan.
Berbaring menatap langit-langit kayu yang berpelitur tua, aku mengulang-ulang kata-kata Sakura di dalam kepala.
“Karena kamu... buat aku merasa manusia.”
Mungkin, aku juga mulai merasa seperti manusia lagi.
Bukan hanya proyek. Bukan hanya beban.
Tapi seseorang yang punya tempat, walau kecil dan sederhana.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa... cukup.
***
Hari-hari setelah malam itu terasa sedikit berbeda.
Entah kenapa, langkahku di dapur tak lagi berat. Suara lonceng pintu tak lagi menambah kecemasan.
Ada semacam kedamaian yang aneh, lebih tenang, lebih alami.
Sakura datang seperti biasa, duduk di meja dengan buku sketsanya, sesekali melirik ke arahku tanpa mengucapkan kata-kata.
Tapi ada yang berubah. Tatapannya tak lagi menghakimi atau memberi beban. Sekarang, seolah-olah dia hanya mengamati, tanpa berharap apa pun dariku.
Aku mulai merasa bahwa aku tidak perlu memberi apa-apa untuk tetap berada di sini.
Tidak perlu menjadi sempurna. Tidak perlu memenuhi ekspektasi. Aku hanya perlu ada.
Namun, meskipun semuanya terasa lebih tenang, ada satu pertanyaan yang masih menggangguku: Apakah ini benar-benar pilihan?
Aku menatap Sakura yang tengah asyik dengan buku sketsanya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa takut dengan kenyataan yang belum kuhadapi.
Takut jika aku terlalu nyaman. Takut jika semuanya akan berakhir begitu saja tanpa aku sempat mempersiapkan diri.
Saat aku menatapnya, Sakura yang tidak sadar sedang memandangi ponselnya, aku tiba-tiba merasa betapa rapuhnya aku. Betapa aku tidak tahu apakah aku sedang berpegang pada kenyamanan atau hanya berlarian menghindari kenyataan yang lebih besar.
Satu bagian dari diriku ingin mempertahankan ini. Ingin tetap dekat dengannya, merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada sekadar bertahan hidup. Tapi satu sisi lainnya, yang lebih gelap, terus bertanya:
Apakah ini benar-benar pilihan atau hanya kebetulan yang terlalu lama dipertahankan?
Di ujung perasaan itu, aku hanya bisa menatap langit-langit kamar yang sama, bertanya pada diri sendiri: "Jika ini bukan pilihan, maka apa yang akan aku pilih?"
Tapi jawaban itu masih terlalu samar untuk diterima. Masih terlalu jauh untuk dipegang.