Hari pertamaku di dapur penuh suara yang tidak pernah diajarkan di sekolah.
Pisau menghantam talenan dengan ritme tajam, seperti sedang menghitung waktu dalam satuan irisan.
Sendok besar mengaduk sup dengan gerakan kasar, seolah-olah kuahnya harus dipaksa patuh.
Kompor gas mendesis dan mengeluarkan bunyi aneh tiap kali nyala apinya disentuh angin. Seperti naga kecil yang kesal karena bangun terlalu pagi.
Di tengah semua itu berdiri Yamamoto-san.
Apron-nya hari ini bernoda kari. Rambutnya lebih acak-acakan daripada kemarin, dan aku mulai yakin dia tidak punya satu pun baju ganti.
Dia bergerak cepat. Tidak bicara banyak. Tapi setiap gerakannya seperti tanda baca di buku yang tidak boleh salah diketik.
Tiba-tiba ia bisa muncul di belakangku hanya untuk bilang, “Terlalu banyak air.” atau, “Talenan bukan lap.”
Nada suaranya tidak pernah naik. Tapi justru karena itu, efeknya seperti petir dalam ruang kedap suara.
Aku hanya berkata “hai” sepanjang hari.
Kadang “sumimasen.”
Kadang “eh...?” sebelum ditatap tajam dan kembali fokus seperti robot yang kehilangan instruksi.
Tugas hari ini:
Cuci sayur.
Cuci piring.
Cuci alat.
Urutannya sangat penting, karena Yamamoto-san punya sistem yang hanya dia mengerti dan tidak ada di buku mana pun.
Aku sempat menaruh pisau di baskom sayur dan mendapat tatapan seperti baru saja menodai altar suci.
Sejak saat itu aku mencuci dengan kecepatan dan ketelitian seperti peserta MasterChef yang tinggal satu menit lagi.
Tapi... aku tidak mengeluh.
Tanganku sibuk. Tubuhku bergerak. Dan entah bagaimana, saat itu saja... rasanya hidupku punya irama.
Aku terbiasa hidup dalam suara:
Suara notifikasi. Suara ibu yang bertanya “Udah makan?”
Suara YouTube yang selalu mengisi keheningan.
Tapi di sini, suara-suara itu digantikan oleh:
Bunyi air mengalir. Bunyi penggorengan. Bunyi Yamamoto-san yang mendesah setiap kali aku menjatuhkan sendok.
Dan aku menyadari... aku menyukai kebisingan ini.
Karena itu bukan suara dari luar. Itu suara yang membentuk hari.
Ketika pelanggan mulai datang, suasana dapur berubah.
Gerak Yamamoto-san makin cepat, tapi tidak pernah terburu-buru. Tangannya seperti tahu persis kapan harus mengaduk dan kapan harus diam.
Aku, di sisi lain, jadi lebih banyak mencuci daripada bernapas. Busanya entah dari sabun atau dari pikiranku sendiri yang mulai kemasukan kecemasan.
Kadang-kadang aku mencuri waktu untuk mengintip dari balik tirai dapur.
Wajah-wajah yang datang seperti halaman-halaman buku harian orang asing:
Pegawai kantoran dengan dasi longgar dan wajah lelah.
Ibu-ibu dengan kantung belanja dan anak kecil yang menyeret sendalnya.
Pasangan muda yang bicara pelan, seakan tidak ingin suara mereka mengganggu mangkuk ramen.
Tapi dari semua wajah itu, ada satu yang kutunggu.
Dan dia belum datang.
Jam berdetak lambat, seperti tahu aku menunggu.
Tiap kali lonceng pintu berbunyi, jantungku ikut berbunyi juga, dengan nada yang lebih kencang. Tapi bukan dia.
Aku mencuci piring lebih cepat, entah untuk mengalihkan diri atau untuk mempercepat waktu.
Satu piring. Dua mangkuk. Empat sendok.
Masih belum datang.
Jam menunjuk pukul tujuh lebih dua puluh saat lonceng akhirnya berbunyi lagi.
Aku tidak langsung menoleh. Tapi napasku berhenti setengah detik.
Kemudian aku melirik. Sekilas saja.
Dia masuk dengan langkah ringan.
Hoodie hitam, celana jins gelap. Rambut diikat setengah seperti biasa, dengan beberapa helai yang terlepas bebas di sisi wajahnya.
Sakura. Akhirnya.
Dia tidak mencariku. Tidak melambai. Tidak memberi kode.
Tapi entah kenapa, aku merasa dia tahu aku melihat.
Dan karena itu, aku cepat-cepat menunduk, kembali pura-pura sibuk dengan baskom yang sudah kosong sejak lima menit lalu.
Tapi ternyata aku bukan satu-satunya yang memperhatikan.
Yamamoto-san mendekat.
Langkahnya nyaris tak terdengar, tapi hawa kehadirannya seperti gelombang panas dari oven terbuka.
“Kau,” katanya, sambil menunjuk dengan sendok kayu. “Masak sendiri malam ini.”
Aku menoleh cepat. “Hah?”
“Bahan sisa. Nasi, telur, sayur. Buat yang kamu bisa. Ayo, tunjukkan kalau kamu bukan cuma mesin sabun.”
Jantungku seperti dilempar ke dalam rice cooker.
“A-aku? Untuk pelanggan?”
“Untuk dia.”
Kepalanya sedikit mengangguk ke arah luar, ke meja paling ujung dekat jendela, tempat Sakura baru saja duduk.
Tentu saja dia duduk di tempat paling sunyi, seakan tahu bahwa dari sanalah seseorang bisa diam-diam melihat tanpa terlihat.
Hatiku ingin lari ke lantai atas.
Atau ke Indonesia.
Mana saja yang lebih cepat.
Tapi tanganku... sudah bergerak.
Entah karena takut, entah karena penasaran, entah karena sesuatu yang lebih sulit dijelaskan.
Aku tahu satu hal: ini bukan sekadar masak. Ini sesuatu yang lebih.
***
Aku gugup, tapi mencoba untuk tidak terlihat.
“Untuk pelanggan?” tanyaku lagi, seperti mengonfirmasi apakah ini ujian atau jebakan.
“Tidak,” jawab Yamamoto-san, tanpa ragu. “Untuk dia.”
Pandangannya sudah mengarah ke Sakura yang duduk tenang di sudut ruangan, tampak jauh tapi tetap terasa dekat.
Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba meredakan detak jantung yang bergegas.
Menggenggam spatula dengan tangan yang sedikit gemetar, aku membuka kulkas kecil di pojok dapur.
Nasi sisa siang hari itu menatapku dari dalam kotak plastik bening, dingin dan sedikit mengeras.
Aku mengeluarkannya dengan hati-hati, meletakkannya di piring.
Lalu aku mulai menggoreng.
Bawang putih kupotong tipis, dan aromanya langsung memenuhi dapur kecil ini.
Telur yang kusobek kasar ke dalam wajan beradu dengan nasi, mengeluarkan suara “plek-plek” yang mengingatkanku pada pagi-pagi di dapur rumah di Jakarta.
Sedikit cabai bubuk kukorek dari rak belakang. Aroma pedasnya membuat hidungku sedikit bergetar.
Daun bawang kupotong tipis, menari di atas nasi goreng yang mulai panas.
Kecap asin dan kecap manis kuberikan secara perlahan, sedikit demi sedikit, seperti menakar ingatan yang terlupakan.
Aroma itu…
Mendadak aku terseret kembali ke dapur ibu, di mana tangan ibu yang cekatan selalu memasak dengan penuh cinta dan cerita.
Wajan itu seperti mesin waktu.
Ketika aku mengaduk nasi goreng dengan spatula, aku merasakan bukan hanya panas dan aroma, tapi juga kehangatan rumah yang entah sudah berapa lama aku rindukan.
Tiga menit saja.
Selesai.
Aku melihat nasi goreng itu di piring.
Tidak cantik. Tidak sempurna. Tapi hangat.
Itulah yang paling penting.
Aku menyerahkan mangkuk itu kepada Yamamoto-san.
Ia hanya mengangguk singkat, tanpa kata.
Lalu ia membawa sendiri ke meja Sakura.
Aku mengintip dari balik tirai dapur, napas tertahan.
Sakura menatap mangkuk itu sejenak.
Lalu mengambil sendok.
Dia mengaduk perlahan, seperti sedang membaca sesuatu yang tidak bisa diucapkan.
Mencicipi.
Detik pertama, ia diam.
Detik kedua, matanya menatap lurus ke depan, kemudian ke bawah.
Detik ketiga, senyumnya muncul, pelan dan sederhana.
Dia menoleh ke arah dapur, ke arahku.
Aku panik. Pura-pura mengeringkan pisau yang sudah kering dari tadi.
Tapi aku sempat melihat matanya.
Tatapan itu bukan pujian. Bukan kekaguman.
Itu tatapan... aku melihatmu.
Dan untuk seseorang yang selama ini merasa seperti bayangan, tatapan seperti itu jauh lebih berat dan berarti daripada tepuk tangan.
***
Sakura mengangkat sendok itu dengan perlahan, lalu membawa nasi goreng ke mulutnya.
Aku menahan napas, seperti sedang menunggu hasil ujian yang menentukan masa depan.
Dia menelan sekali, dua kali.
Tidak ada komentar, tidak ada kata-kata pujian yang biasa aku harapkan dalam situasi seperti ini.
Hanya ada hening yang membentang di antara kami, lebih tebal dari asap dari penggorengan.
Tatapannya kemudian mengalir ke arah jendela, ke sudut ruangan yang temaram.
Matanya menyapu dinding, seperti mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan di tempat ini.
Kemudian, tanpa terduga, ia menoleh ke arah dapur.
Ke arahku.
Tatapan itu tidak seperti tatapan biasa.
Bukan tatapan yang sekadar menilai atau memuji.
Bukan tatapan kosong yang berlalu begitu saja.
Itu adalah tatapan yang berkata, “Aku melihatmu.”
Aku melihat siapa kamu sebenarnya, lebih dari sekadar wajah yang kamu tunjukkan ke dunia.
Jantungku berdegup lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih dalam.
Seolah-olah untuk pertama kalinya aku tidak menjadi bayangan yang terabaikan.
Aku bukan lagi sosok yang bisa dilupakan begitu saja.
Aku pura-pura sibuk mengelap pisau yang sebenarnya sudah kering.
Tapi mataku tak bisa berhenti mencuri pandang ke arah Sakura.
Tatapan itu mengendap di hatiku, menyimpan janji tanpa kata-kata.
Sakura menarik nafas pelan, lalu tersenyum tipis, sangat tipis.
Senyum yang memberiku kekuatan yang tak terduga.
Senyum yang berkata, “Kamu tidak sendirian.”
Di dapur yang sempit itu, dengan suara alat-alat masak sebagai latar, kami berdua berbagi sebuah momen yang tidak butuh banyak kata.
Sebuah pengakuan yang terbungkus dalam keheningan.
Sebuah ikatan yang terjalin lewat tatapan dan nasi goreng sederhana.
Aku tahu perjalanan ini belum selesai.
Masih ada banyak hari yang harus kujalani, banyak rasa yang harus kuhadapi.
Tapi malam itu, di bawah cahaya redup restoran kecil ini, aku merasa sedikit lebih kuat.
Karena aku sudah mulai ditemukan.
Dan itu sudah lebih dari cukup untuk malam ini.