Matahari tergelincir perlahan ke balik gedung-gedung tua Tokyo ketika aku tiba di taman kecil itu. Cahaya sore menjalari bangku-bangku kayu dan rerumputan yang mulai menguning, seperti selimut tipis yang sebentar lagi akan digulung oleh malam.
Aku masih mengenakan seragam kerja, warna birunya sudah mulai pudar, kerahnya sedikit longgar, dan di bagian siku ada bekas noda lama yang tak lagi bisa dihapus. Tubuhku lelah, tapi bukan jenis lelah yang membuatmu ingin tidur. Ini lelah yang justru membuatmu duduk diam, menatap jauh, berharap dunia akan berhenti sebentar.
Sapu yang biasa kupakai untuk bersih-bersih di konbini kusandarkan di sisi bangku, seperti rekan kerja yang akhirnya ikut duduk. Udara mulai menusuk, dingin khas penghujung musim yang menyusup lewat sela-sela jaket dan menjalari tulang. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan uap kecil keluar dari mulutku seperti asap dari cerobong kecil di desa-desa.
Lima menit kemudian, Sakura datang.
Langkahnya ringan, tapi tidak terburu-buru. Ia membawa dua botol teh kaleng hangat, satu di tiap tangan, dan tanpa berkata apa-apa, ia menyodorkan salah satunya padaku. Gerakannya sederhana, tapi penuh isyarat: “Aku ingat kamu,” atau mungkin, “Aku tahu kamu butuh ini.”
“Arigatou,” kataku pelan, menerima teh itu dengan dua tangan. Kalengnya masih hangat, sehangat perasaan aneh yang mulai mengisi dadaku sejak ia muncul.
Dia duduk di sampingku, sedikit menjauh tapi tidak jauh. Cukup dekat untuk membiarkan kehadirannya terasa. Kami tidak langsung bicara. Hanya ada suara gesekan lembut daun-daun di angin, sesekali diselingi geraman pelan dari mesin penjual otomatis di ujung taman yang seperti terus bekerja meski tak ada yang memintanya.
Aku menatap langit. Sisa cahaya matahari tersangkut di awan tipis yang mulai berubah warna. Hari meredup perlahan. Dunia tidak mengajak kami tergesa.
Dan seperti sore itu, hubungan kami pun tidak terburu-buru.
Lalu, di tengah hening itu, Sakura mengucap namaku. “Arya…”
Nada suaranya datar, tapi bukan datar kosong. Ia terdengar seperti seseorang yang sudah berpikir lama, menimbang-nimbang, dan akhirnya memutuskan: saatnya bicara.
Aku menoleh pelan.
Matanya, selalu sulit ditebak, kali ini tampak serius. Tidak tajam. Tapi seperti mata seseorang yang menahan banyak hal di dalamnya. Dan aku tahu, sore ini tidak akan seperti sore-sore biasanya.
Sesuatu akan berubah.
***
“Arya…”
Suara itu tidak keras. Tapi cukup untuk membelah keheningan yang nyaman, dan mengubahnya menjadi sesuatu yang lain.
Aku menoleh.
Sakura tidak sedang tersenyum. Tidak juga terlihat sedih. Ia hanya… serius. Dalam cara yang jarang kulihat darinya.
Salah satu tangannya memegang kaleng teh hangat, yang kini uapnya mulai menipis. Yang satu lagi meremas tas kecilnya di pangkuan.
Dia menggigit bibir bawahnya sebentar, gerakan kecil yang kulihat hanya kalau dia sedang ragu. Lalu, akhirnya ia bicara:
“I… know someone.”
Tiga kata. Tapi seperti kunci yang membuka pintu yang tak pernah kukira ada.
Aku diam. Menunggu. Masih belum paham.
“Friend. Of family. Has restaurant. Maybe… you can work there.”
Butuh beberapa detik sebelum otakku mengejar arti kalimatnya.
Aku berkedip. Lalu menegakkan dudukku secara refleks, seperti tubuhku secara otomatis ingin menjauh dari kata-kata itu.
“Apa?” gumamku.
Dia tidak mengulang. Hanya mengangguk pelan. Matanya masih padaku. Tidak menghindar, tidak meminta maaf.
Tapi juga tidak memaksa.
“I asked. They said maybe yes.”
Aku menelan ludah. Teh di tanganku terasa terlalu manis sekarang. Terlalu hangat. Atau terlalu… nyata.
“Jadi kamu…” aku berhenti. “Kamu tanya mereka? Untuk aku?”
Dia mengangguk lagi. Sekali ini, lebih tegas.
Dan untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu di balik ketenangannya: sebuah tekad.
Seolah dia sudah memutuskan ini akan terjadi.
Dan aku hanya perlu… ikut.
Aku berpaling. Menatap pohon-pohon rendah yang daunnya bergoyang pelan dihembus angin senja.
Lampu-lampu taman menyala satu per satu, menyorot tanah basah dan bangku-bangku kosong.
“Aku… nggak tahu ini ide bagus,” bisikku.
Lebih ke diriku sendiri.
Dia tidak menyela. Tidak bertanya kenapa.
Hanya menunggu. Seperti seseorang yang tahu, jawabannya akan datang kalau diberi waktu.
Tanganku memutar kaleng teh.
“Aku cuma… orang ilegal, Sak.”
Nadaku nyaris patah.
“Visa-ku… nggak bisa dipakai kerja. Aku bukan siapa-siapa. Dan kamu... kamu anak orang kaya. Kamu nggak perlu ngurusin ini semua.”
Aku tertawa hambar. Ingin menyelesaikan kalimat itu dengan bercanda, agar tidak terdengar menyedihkan. Tapi gagal.
Dia menoleh. Dan untuk pertama kalinya, menyela dengan suara cepat.
“Stop.”
Satu kata. Tajam, tapi tidak menyakitkan.
Aku menoleh, kaget.
“You not ‘bukan siapa-siapa’,” katanya, dengan pelafalan lambat tapi mantap.
“You… kind. Work hard. Make people smile.”
Ada jeda. Aku tidak bisa balas. Kata-kata itu terlalu asing bagiku.
Terlalu hangat untuk kuterima tanpa ragu.
“You think you’re problem. But you… help.”
Kalimat itu bukan hanya membelaku.
Ia menantang keyakinanku sendiri. Tentang diriku.
Aku menunduk.
Napas panjang keluar dari dadaku seperti beban yang sudah lama kusimpan di bawah tulang rusuk.
“Aku takut jadi beban, Sak,” ujarku, nyaris tak terdengar.
Dia diam sejenak.
Lalu, perlahan, tangannya bergerak.
Tidak menggenggam tanganku.
Hanya… menempel. Ringan. Tapi cukup membuat kulitku sadar bahwa ia ada.
“Maybe I want help you,” katanya pelan.
Kali ini bukan pernyataan.
Tapi seperti pengakuan.
Sesuatu yang ia sadari, bahkan mungkin mengejutkannya sendiri.
Aku menatapnya. Lama.
Dan di detik-detik sunyi itu, aku tahu, menolak bukan lagi bentuk kebaikan.
Menolak berarti merusak sesuatu yang sedang tumbuh. Dengan perlahan. Dengan jujur.
Aku mengangguk.
Tidak besar. Tapi cukup agar dia melihatnya.
“Besok… kamu bisa antar aku ke tempatnya?”
Sakura mengangguk juga. Lalu tersenyum.
Senyumnya kali ini tidak ringan.
Bukan senyum iseng, bukan juga senyum malu-malu.
Tapi senyum yang lahir dari keputusan.
Dan di balik semua ketakutanku, ada rasa terima kasih yang tidak sempat kuucapkan malam itu.