Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Siapa yang mengira gadis yang menggambar bunga di taman akan masuk konbini tengah malam?

Saat itu aku sedang merapikan rak makanan instan, tepat setelah shift malam dimulai. Kepala masih agak pusing karena kurang tidur, punggung protes, dan pikiranku dipenuhi hal-hal seperti: Apakah ada cara menyeduh cup ramen tanpa air panas? atau Kalau aku pura-pura pingsan, apakah bos akan menyuruhku pulang?

Toko sepi. Jam digital di pojok meja kasir baru menunjukkan 00:42, dan suara pendingin minuman adalah satu-satunya hal yang hidup selain detak jantungku yang menyerah pelan-pelan.

Pintu otomatis konbini berbunyi.

Chirin.

Aku tidak menoleh.

Biasanya jam segini yang masuk adalah orang mabuk, mahasiswa kelaparan, atau kurir yang salah jadwal. Satu-dua pelanggan setia yang tidak pernah bicara, hanya mengangguk dengan mata setengah tertutup.

Tapi ada sesuatu tentang langkah kaki itu.

Pelan, ringan, dan... ragu-ragu?

Langkah orang yang tidak sedang buru-buru, tapi juga tidak benar-benar tahu mau apa. Seperti seseorang yang tidak hanya mencari air, tapi juga alasan untuk tidak pulang.

Aku melirik dari sela rak.

Dia berdiri di depan lemari pendingin, rambutnya dikuncir setengah, mengenakan hoodie polos dan rok panjang. Tidak seperti pelanggan biasa, terlalu tenang, terlalu... diam. Matanya menatap deretan botol air mineral seolah sedang memilih nasib, bukan merek.

Sakura.

Jantungku seperti lupa caranya berdetak.

Sesaat aku membeku. Tidak benar-benar percaya.

Sakura. Di konbini. Tengah malam.

Tanganku yang tadi sibuk menata ramen tiba-tiba jadi kikuk. Beberapa kotak jatuh, tapi aku tidak memungutnya. Aku malah menunduk, pura-pura sibuk menyusun kotak sereal yang sebenarnya tidak perlu disusun.

Apa dia tahu aku kerja di sini?

Apa dia sengaja datang?

Apa ini cuma kebetulan semesta yang kejam?

Kenapa aku deg-degan seperti siswa SMA yang baru pertama kali ditatap kakak kelas?

Dia berjalan ke meja kasir. Tangannya membawa sebotol air mineral dan satu roti isi cokelat. Gerakannya pelan, seolah takut mengganggu udara.

Aku buru-buru ke kasir. Kenji tidak ada. Giliran jaga aku.

Jarak antara kami hanya satu meja kasir dan dua barang kecil. Tapi rasanya seperti berdiri di tepi jurang. Antara ingin menyapa, dan takut tenggelam dalam suaraku sendiri.

Dia meletakkan barangnya di meja.

Aku menatapnya, sebentar. Lalu cepat-cepat memindai barangnya.

“Hai,” katanya pelan.

“H-hai,” jawabku, suara setengah serak.

“Uh... arigatou gozaimasu.”

Dia menatapku. Lama. Tapi tidak tajam. Tatapannya seperti air tenang, datar, tapi memantulkan banyak hal yang tidak sempat diucapkan.

Lalu dia tersenyum kecil.

Senyum yang tidak memaksa, tidak dibuat-buat. Tapi juga bukan basa-basi. Lebih seperti: "Aku tahu kamu." Atau: "Terima kasih sudah diam."

Aku mencoba balas senyum, tapi entah kenapa rasanya seperti otot wajahku tidak sinkron. Seperti aku lupa cara menggunakan wajahku di hadapan seseorang yang pernah membuatku menulis puisi diam-diam di balik buku latihan matematika.

Dia membayar dengan uang pas. Kutarik struk pembelian dari mesin dan menyerahkannya bersama kantong plastik.

Tangannya menyentuh tanganku sepersekian detik, tidak sengaja, tapi cukup untuk membuat tubuhku membeku seperti lemari es yang tadi dia buka.

Dia menerima, mengangguk pelan, lalu berjalan ke kursi kecil di dekat jendela konbini. Tempat orang kadang duduk untuk makan cepat, atau pura-pura sibuk supaya bisa diam lebih lama.

Dia duduk di sana. Membuka roti pelan. Menyeruput airnya pelan. Lalu memandangi jalan di luar seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak pernah datang.

Aku mencuri pandang beberapa kali dari balik rak.

Tapi dia tidak melihatku lagi.

Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit.

Dia tidak berbicara. Tidak bermain ponsel. Tidak menggambar. Tidak mencatat. Tidak menangis.

Hanya... duduk. Di sana.

Malam yang biasanya terasa panjang dan lengket, malam yang penuh jam-jam kosong dan suara neon yang berdengung, tiba-tiba terasa punya ritme. Ada sesuatu yang berubah, tapi aku tidak tahu apa.

Lalu ia berdiri. Membuang sampah ke tempatnya.

Gerakannya tetap pelan, tetap tenang.

Tapi sebelum keluar, dia menoleh ke arahku. Lagi.

Senyum tipis. Lalu hilang.

Pintu otomatis tertutup.

Aku berdiri seperti orang bego di belakang meja kasir sambil menatap pintu yang sudah tidak bergerak.

Aku tidak tahu ini awal dari apa.

Tapi malam itu, dunia terasa sedikit berbeda.

Besok malam, dia datang lagi.

Jam yang hampir sama. Langkah yang sama pelan. Wajah yang sama tenangnya.

Air mineral dan sandwich tuna kali ini.

Barang-barang sederhana yang seolah bisa membawa ketenangan dari rak ke meja kasir.

Dia bicara lebih sedikit dari kemarin. Hanya senyum dan satu anggukan kecil.

Tapi untukku, itu seperti sepotong lagu yang tidak pernah diputar di radio, kau tahu iramanya, tapi tidak pernah bisa menjelaskan kenapa terasa dekat.

Lalu duduk. Lagi.

Di kursi dekat jendela yang entah sejak kapan mulai kupikir sebagai tempatnya.

Dia tidak membuka ponsel. Tidak membawa buku.

Hanya diam. Menatap jalan sepi, kadang menatap botol air di tangannya seolah itu benda paling jujur di dunia.

Dan aku, seperti malam sebelumnya, mencuri pandang. Berkali-kali.

Dari balik rak cemilan, dari sela freezer es krim, dari pantulan kaca pendingin minuman.

Aku tidak tahu kenapa. Atau mungkin aku tahu tapi tidak ingin mengakuinya.

Lusa, dia datang lagi.

Kali ini lebih awal.

Aku baru saja ganti seragam ketika pintu otomatis berbunyi dan di sanalah dia, berdiri seperti bayangan yang tak sabar menunggu gelap.

Aku mulai menunggu. Tapi bukan dengan gelisah.

Ada sesuatu yang berubah dalam tubuhku.

Sebelumnya, setiap malam terasa seperti ulangan hari yang tidak pernah selesai. Sekarang, ada jeda. Ada tanda koma. Ada... Sakura.

Dia tetap tidak banyak bicara. Tapi kini setiap gesturnya mulai terbaca:

Cara dia memegang roti dengan dua tangan kecilnya, penuh hati.

Cara dia duduk sedikit miring, selalu menghadap ke arahku, walau hanya sedikit.

Cara dia menyeruput air, pelan, nyaris seperti ritual.

Kadang dia datang dengan rambut basah. Mungkin habis mandi. Kadang dengan hoodie berbeda. Tapi wajahnya selalu sama: tenang, lelah, dan... mungkin juga sendiri.

Aku tidak berani bertanya. Tidak berani menyapa lebih dari “Terima kasih” dan “Selamat malam.”

Tapi kurasa, diam kami saling bicara. Pelan. Seperti dua orang yang tidak ingin mengusik malam lebih dari yang perlu.

Dan anehnya, aku mulai merasa kalau kehadirannya bukan kebetulan.

Kadang aku membayangkan:

Bagaimana kalau aku menaruh satu botol air dingin di meja sebelum dia datang?

Bagaimana kalau aku mengganti musik konbini dengan sesuatu yang lebih pelan, lebih mendekati perasaan ini?

Bagaimana kalau aku menyapanya lebih dulu?

Tapi tiap kali dia muncul dan senyum tipis itu kembali ke wajahnya, semua pertanyaan itu menguap.

Karena kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat malam ini terasa...

Bukan hanya hidup, tapi juga bermakna.

Dan mungkin, untuk sekarang, itu saja sudah cukup.

***

Malam keempat.

Dia datang lagi. Aku bahkan sudah menyiapkan kasir sejak sepuluh menit sebelum itu.

Tangan menata kembali kembalian di laci, walau aku tahu letaknya tidak pernah berubah.

Aku tidak tahu apakah dia tahu aku menunggu. Tapi langkahnya terasa lebih pasti malam ini. Tidak tergesa, tapi juga tidak setenang biasanya.

Ada sesuatu dalam cara dia membuka pintu dan melangkah masuk, seperti orang yang sudah tahu ke mana harus pergi.

Barang yang dia bawa masih sama: air mineral dan roti, kali ini rasa stroberi.

Saat dia berdiri di depanku di kasir, aku perhatikan, jemarinya memegang struk pembelian dari malam sebelumnya.

Lipatannya rapi. Seperti sesuatu yang tidak sengaja tapi disengaja.

Dia menyapaku dengan anggukan kecil. Aku membalas.

Tapi malam ini aku tidak bicara apa-apa.

Bukan karena gugup. Tapi karena sesuatu di dalam dadaku merasa... kata-kata mungkin akan merusaknya.

Dia membayar seperti biasa. Uang pas.

Tangannya hangat saat menyentuh meja. Hangatnya seperti sisa sinar sore yang tertinggal di trotoar.

Lalu dia berjalan ke kursi dekat jendela.

Aku tidak melihat ke arah sana kali ini.

Aku hanya mendengarkan. Bunyi plastik pembungkus roti. Bunyi botol dibuka. Bunyi napas kecil.

Tapi ketika dia pergi dan malam kembali jadi milik neon dan mesin kopi yang berdengung, aku kembali ke meja kasir.

Dan di sanalah itu.

Struk.

Tertinggal, terlipat dua, diselipkan di sisi meja seperti pesan diam yang tidak ingin ketahuan tapi juga tidak ingin tidak ditemukan.

Aku membukanya pelan.

Di baliknya: sketsa.

Satu garis bunga ajisai. Sederhana tapi penuh niat. Sketsa cepat tapi tidak asal. Kelopaknya tidak simetris, tapi justru itu yang membuatnya terasa nyata.

Di bawah gambar: karakter katakana dan romaji tertulis rapi.
アジサイは言葉いらない
Ajisai wa kotoba iranai.
"Ajisai tidak butuh kata-kata."

Aku terdiam lama.

Mungkin lebih dari satu menit. Mungkin cukup lama untuk mesin es batu berhenti dan mulai lagi.

Aku menatap gambar itu seolah bisa kutemukan jawabannya di sana. Tapi jawabannya justru terasa di tempat lain. Di dada. Di dada yang tidak lagi sepi sejak empat malam terakhir.

Ajisai.

Bunga yang mekar saat musim hujan.

Yang warnanya bisa berubah tergantung tanahnya. Yang tidak pernah cerewet seperti mawar atau tulip. Tapi selalu ada. Diam-diam. Di pinggir jalan. Di samping rumah.

Sakura mungkin tahu aku tidak pandai bicara.

Mungkin dia juga tidak sedang ingin menjelaskan apa-apa.

Tapi malam itu, di balik selembar struk belanja, aku merasa seperti seseorang benar-benar melihatku. Bukan sekadar melirik, tapi memahami.

Dan seperti ajisai yang diam tapi hadir, aku mulai merasa…

Mungkin aku tidak butuh kata-kata untuk merasa dekat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love Yourself for A2
26      24     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
159      131     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
Kembali ke diri kakak yang dulu
743      564     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
TANPA KATA
15      14     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
FAYENA (Menentukan Takdir)
285      240     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Wilted Flower
267      200     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Yang Tertinggal dari Rika
1273      809     9     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Halo Benalu
702      332     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Diary of Rana
179      151     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Happy Death Day
552      301     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...