Matahari pagi merayap pelan-pelan, seolah malu-malu ingin muncul dari balik awan yang masih menggantung berat di langit Tokyo. Udara segar itu membawa aroma dedaunan basah yang baru saja disiram embun dan sisa hujan semalam. Setiap helaian daun seolah bernyanyi lirih ketika angin menyapu lembut, membawa keheningan yang tidak biasa di tengah hiruk-pikuk kota.
Aku memulai pagiku seperti biasa, menyapu jalan setapak taman dengan sapu tua yang sudah mulai aus. Suara gesekan sapu di atas kerikil dan daun-daun kering terdengar seperti musik latar dari sebuah film yang terlalu hening, sampai aku merasa setiap langkahku dan hembusan napas seakan menjadi bagian dari ritme yang sama.
Bangku di bawah pohon maple yang minggu ini menjadi titik fokus dalam pikiranku masih kosong. Aku mencoba memalingkan pandangan, berpura-pura sibuk menyapu, tapi aku sadar mataku terus kembali ke situ. Sapuku membentuk setengah lingkaran rapi di sekitar bangku, seperti ingin menjaga sudut itu tetap bersih, bukan untuk tugas, tapi untuk sesuatu yang lebih… personal. Seperti mempersiapkan altar kecil bagi sesuatu yang aku nantikan.
Waktu berjalan pelan, detik-detik rasanya seperti berhenti. Angin dingin sesekali membuat daun-daun bergetar dan jatuh, lalu terhampar dengan lembut di tanah. Aku menarik napas dalam, berharap pagi ini akan berbeda.
Dan kemudian, dari kejauhan, langkah pelan mulai terdengar di jalur kerikil yang membelah taman. Rambut hitam panjang yang tergerai rapi, seragam biru-putih yang rapi, tas kecil yang tergantung di bahunya, semua itu langsung membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat.
Dia datang.
Sakura.
Sesuatu tentang dirinya hari ini terasa berbeda. Dia tidak memakai seragam sekolah seperti biasanya. Kali ini dia mengenakan sweter abu-abu yang kebesaran, dengan rok panjang yang jatuh lembut sampai mata kaki. Penampilannya tampak biasa saja, tapi aku tahu itu hanya topeng yang dia pakai untuk menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam.
Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa seolah-olah semua cahaya di taman itu memusat pada sosoknya yang datang pelan, membawa keheningan dan misteri sekaligus.
Kami tidak langsung menyapa. Tidak ada ucapan “halo” yang berlebihan atau tawa kecil yang mencoba mencairkan suasana. Hanya ada kesunyian yang penuh arti, seperti dua orang yang sudah lama mengenal tapi tidak perlu kata-kata untuk mengerti satu sama lain.
Dia duduk di bangku yang sudah kubersihkan tadi, membuka buku sketsanya, dan mulai menarik garis dengan pensilnya.
Aku berhenti menyapu, lalu duduk di bangku seberang. Tapi setelah beberapa menit, aku berpindah ke sampingnya. Tidak terlalu dekat, tapi cukup dekat untuk merasakan kehadirannya seperti sesuatu yang mengisi ruang kosong di sekitarku.
Diam kami bukan diam canggung. Tapi diam yang anehnya nyaman. Seperti dua jiwa yang secara tak sengaja menemukan ruang aman di tengah dunia yang sibuk dan gaduh.
Aku menatap wajahnya yang tenang, melihat bagaimana jari-jarinya bergerak lincah, membentuk gambaran yang hanya dia mengerti.
Dan aku tahu, pagi ini bukan sekadar pagi biasa.
Ini adalah awal dari sesuatu yang belum bisa aku beri nama.
Kami duduk bersebelahan di bangku taman yang mulai hangat oleh sinar matahari pagi yang semakin meninggi. Sakura masih sibuk dengan buku sketsanya, jari-jarinya menari pelan di atas kertas, membentuk garis-garis halus yang seperti menghirup kehidupan. Aku memperhatikan setiap gerakannya, seperti ingin menangkap rahasia yang ia tuangkan lewat gambar itu.
Tapi kami tetap diam. Tidak ada kata yang keluar, hanya suara alam dan desiran angin yang menembus dedaunan. Aku merasa setiap detik berjalan lebih lambat, seolah waktu juga ikut menikmati suasana yang penuh kedamaian ini.
Sesekali, Sakura menatap ke kejauhan, ke arah semak-semak yang bergoyang lembut, atau mengikutinya saat seekor kupu-kupu melintas. Kadang dia berhenti menggambar, matanya kosong menatap pohon yang sebagian daunnya mulai berguguran. Aku tak tahu apa yang dia lihat, tapi aku ikut mengarahkan pandangan ke sana, berharap bisa merasakan sedikit dari apa yang ia rasakan lewat keheningan itu.
Setelah beberapa saat, dia mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang selalu dibawanya. Sebungkus onigiri yang dibungkus dengan rapi dan kotak jus buah kecil berwarna cerah. Dengan gerakan yang sangat hati-hati, dia membuka bungkusnya, dan kemudian menoleh padaku. Matanya menatap ke arahku, lalu ia mengangkat tangan, seolah menawarkan sesuatu.
Aku sedikit terkejut. “Ah… I have bread,” jawabku sambil tersenyum. Dari saku seragam, aku mengeluarkan roti isi telur yang kubeli di konbini pagi tadi. Roti itu sudah sedikit penyok karena aku sering duduk miring saat berjalan.
Aku menyodorkannya padanya dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia menatap roti itu sebentar, lalu menerima dengan perlahan. Kami bertukar makanan seperti dua anak kecil yang saling berbagi saat piknik di sekolah dasar.
Aku menggigit onigirinya; rasa ikan tuna yang sedikit asin tapi hangat terasa mengisi mulutku dengan keakraban yang aneh. Dia menggigit roti telurku, matanya membulat sejenak, kemudian mengeluarkan suara pelan, “Hmm… oishii.”
Aku tertawa kecil, “Konbini… magic.”
Dia ikut tertawa, meski tertutup dengan tangannya. Suaranya ringan, dan aku merasa udara di sekitarku berubah menjadi sesuatu yang lebih hidup.
Kami makan bersama, perlahan dan tanpa terburu-buru, seperti dua orang asing yang tanpa banyak bicara sudah saling memahami.
Ketika makanan kami habis, dia membuka lagi buku sketsanya dan mulai menggambar. Aku duduk diam di sampingnya, tak bicara, tak ingin mengganggu ritme yang sudah tercipta.
Tangannya bergerak cepat, tapi penuh keyakinan. Garis demi garis muncul di kertas, membentuk bunga yang sama seperti yang dia gambar kemarin, bunga ajisai yang lembut dan berlapis-lapis. Namun kali ini, ada sesuatu yang baru. Sebuah siluet kecil, seorang manusia duduk di bawah bunga itu, di sebuah bangku kecil.
Tubuh siluet itu tampak kecil dan sedikit membungkuk, seperti seseorang yang belum berani duduk tegak dan menatap dunia dengan penuh keberanian.
Dia melirik ke arahku sekilas. Aku menoleh ke depan, pura-pura tak melihatnya.
Kami diam cukup lama, tapi ini bukan diam yang canggung. Ini diam seperti saat musik berhenti sejenak di konser favorit, dan semua orang menahan napas, merasakan getaran yang tak terucapkan.
Aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Tapi aku tahu, aku tidak ingin pergi. Hati ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, merasa cukup hanya dengan berada di sini.
Di sisi gadis yang jarang bicara, tapi bisa membuatku merasa… tidak perlu menjadi siapa-siapa.
Waktu seperti melambat di sekitar kami. Angin pagi yang berhembus membawa aroma tanah basah dan daun yang mulai memerah, sementara matahari terus merangkak naik, menerangi taman dengan cahaya lembutnya.
Sakura masih menggambar, tapi kali ini tangan dan matanya tidak secepat biasanya. Ada jeda, seolah dia menunggu sesuatu yang tak terucapkan. Aku duduk di sampingnya, tetap diam, membiarkan ruang di antara kami terbuka tanpa kata.
Tiba-tiba, dia menutup buku sketsanya perlahan dan menoleh ke arahku. Matanya yang gelap itu penuh arti, seakan ada dunia yang belum pernah kuketahui tersembunyi di balik tatapan tenang itu.
“Why… quiet?” tanyanya pelan, suaranya bergetar tipis.
Aku mengangkat bahu, mencoba menjawab dengan kata-kata yang sederhana. “Sometimes... words not needed.”
Dia mengangguk pelan, menatap ke bawah. “Like flower... silent, but still speak.”
Aku tersenyum, terpesona dengan cara dia melihat dunia. “Yeah. Flowers… have their own language.”
Kami saling menatap sejenak, dan aku merasa jantungku berdetak lebih cepat, tapi bukan karena gugup. Lebih seperti getaran halus yang datang dari perasaan yang baru kutemukan.
Sakura kembali membuka bukunya, tapi kali ini ia menuliskan sesuatu di sampul belakang, dengan huruf yang rapi dan lembut. Aku menengok, dan melihat kata “Ajisai” terukir di sana, dengan gambar bunga yang penuh warna.
Aku bertanya, “Ajisai... hydrangea?”
Dia mengangguk. “Yes. Ajisai. Bloom in rain. Strong, but gentle.”
Aku menghela napas, mengagumi makna itu. “Like you.”
Dia tersenyum, sedikit malu. “Maybe.”
Lalu, tanpa diduga, dia menggenggam tanganku dengan lembut, jari-jarinya hangat, menghapus rasa dingin yang tak kusadari mengendap di hati ini.
Aku menatapnya, terpaku pada keheningan yang berubah menjadi sesuatu yang lebih nyata.
Tidak perlu kata-kata lagi. Cukup dengan genggaman itu, dunia di sekitar kami terasa tenang, dan aku tahu, ini bukan sekadar kebetulan.
Di tengah bunga-bunga yang diam, dan getaran yang tak perlu nama, aku merasakan sesuatu yang baru tumbuh di antara kami.
Kami tetap duduk di sana, seolah waktu berhenti dan taman ini menjadi dunia kecil kami sendiri. Suara sapu yang kupegang sudah tak lagi penting, dan kertas gambar Sakura seakan berubah menjadi jendela ke dalam jiwa yang tersembunyi.
Aku mengamati wajahnya yang tenang. Ada sesuatu yang berat di balik matanya, tapi juga ketenangan yang sulit diungkapkan kata. Aku ingin bertanya, tapi takut mengganggu keheningan yang terasa begitu sakral.
Dia menatap ke kejauhan, lalu perlahan berkata, “Sometimes... flowers bloom to hide thorns.”
Aku mengernyit, mencoba mencerna maksudnya. “To hide pain?”
Dia mengangguk pelan. “Yes. Beautiful but hurt.”
Aku menarik napas panjang, merasakan detak jantungku berirama dengan kata-katanya. Ada kesedihan yang dalam, tapi juga keberanian untuk tetap mekar meski disakiti.
“Maybe… we all like that,” kataku lirih. “Show beauty, but keep scars inside.”
Sakura menoleh padaku, matanya berkaca-kaca seolah ingin berkata sesuatu, tapi memilih diam. Aku merasakan ada cerita yang belum terucap, beban yang ia simpan rapat.
Aku menyentuh bahunya pelan, memberi isyarat bahwa aku di sini, siap mendengar kapan pun dia mau berbagi.
Dia menarik napas panjang, dan akhirnya berbisik, “Thank you... for being here.”
Aku tersenyum, hati terasa hangat. “Always.”
Kami duduk berdampingan, menikmati keheningan yang memeluk, merasakan bahwa terkadang, kehadiran tanpa kata lebih berarti daripada segala dialog.
Dalam diam itulah, aku mulai memahami, bahwa ikatan kami bukan soal kata, tapi rasa yang tumbuh perlahan, mekar seperti bunga yang tak perlu nama.
Matahari semakin tinggi, tapi aku tidak merasa panas. Justru ada kesejukan aneh yang merayap di dalam dadaku, seperti angin pagi yang lembut menyapu rerimbunan daun.
Sakura masih menggambar, tanpa terburu-buru, dengan gerakan tangan yang penuh ketelitian dan kelembutan. Aku duduk di sampingnya, masih diam, tapi kini ada keberanian kecil untuk hadir, untuk ada tanpa harus jadi sesuatu yang besar.
Aku menatap bunga yang ia gambar, Ajisai yang lembut, penuh warna, tapi diam, seperti dirinya.
Dan aku sadar, aku tidak perlu tahu segalanya. Tidak perlu memaksa kata-kata keluar. Tidak perlu memberikan nama pada getaran yang merayap di antara kami.
Kadang, yang paling berharga adalah keheningan yang diterima. Adalah momen di mana dua jiwa cukup berada dalam satu ruang, cukup merasakan tanpa harus menjelaskan.
Aku menoleh ke Sakura. Dia tersenyum kecil, yang kali ini terasa seperti pengakuan tanpa suara, sebuah janji tanpa kata.
Aku ingin waktu berhenti di sini. Di taman ini. Di sampingnya. Dalam dunia di mana bunga berbicara lewat warna, dan keheningan menjadi bahasa terindah.
Hari ini, aku tidak ingin menjadi siapa-siapa yang lain selain Arya yang duduk di samping Sakura, gadis dengan bunga-bunga diam dan getaran yang tak perlu nama.