🍚 Bab 14: Namanya Sakura, Tapi Tidak Seperti yang Kukira
Aku datang lebih awal. Lebih awal dari pekerja lain. Lebih awal dari matahari yang masih malas keluar dari balik awan pagi Tokyo.
Seragamku masih longgar, tapi aku mulai terbiasa dengan bau pupuk yang menempel di kerahnya.
Hari ini aku bahkan menyemprotkan parfum sachet dua lapis, seolah-olah itu bisa mengubahku jadi manusia baru.
Aku menyapu pelan, tapi mataku terus melirik ke arah pohon maple yang minggu ini jadi pusat semestaku.
Bangku di bawahnya masih kosong.
Aku pura-pura tidak peduli. Tapi sapuku membentuk setengah lingkaran defensif, menjaga sudut itu bersih sempurna.
Seolah sedang mempersiapkan altar.
Dan ketika aku sudah hampir menyerah...
Langkah pelan menyusuri jalur kerikil.
Rambut hitam panjang. Seragam biru putih. Tas kecil tergantung di bahu.
Dia datang.
Sakura.
Tapi sebelum aku bisa mengatur ekspresi agar tidak terlalu kelihatan menunggu, dia lebih dulu menyapa.
"Haro."
Suaranya datar, tapi tidak dingin.
Aku berhenti menyapu. Menatapnya. Senyumku refleks, dan lebih lebar dari yang kuizinkan.
"Hai."
Dia berjalan ke bangku, duduk seperti biasa, dan membuka buku sketsanya. Tapi sebelum mulai menggambar, ia menoleh padaku.
"Name... Sakura."
Aku terdiam sejenak. Lalu tertawa pelan.
"Tentu. Tentu saja namamu Sakura."
Dia mengerutkan kening. “Eh?”
Aku mengangkat tangan. “Sorry. Bukan mengejek. Just... cocok sekali.”
Dia memiringkan kepala. Masih bingung.
Aku menunjuk ke arah pohon. “Sakura. Bunga. Cantik. Tapi cepat hilang.”
Lalu aku menunjuk ke dirinya. “Kamu... seperti itu.”
Dia terdiam sejenak. Lalu tersenyum kecil. Kali ini senyum yang lebih hangat. Tidak malu-malu.
Bahkan matanya ikut tersenyum.
Sesuatu tentang cara dia menatap... seperti dia tahu lebih dari yang dia tunjukkan.
Aku menunjuk ke diriku. “Arya.”
"Arya..." katanya pelan, mengeja perlahan. “Arya-san?”
Aku menelan ludah. "Iya. Tapi... ‘san’ terlalu formal."
Dia berpikir sebentar. “Arya... kun?”
Aku tertawa. “Arya aja cukup.”
Ia tertawa juga, tapi cepat.
Kami tidak berbicara banyak setelah itu. Tapi atmosfernya berbeda. Lebih ringan.
Kadang dia melirik ke arahku sambil menggambar. Kadang aku menyapu lebih lama di area dekatnya hanya agar bisa mendengar gesekan pensil di kertas.
Setelah satu jam, aku duduk sebentar di bangku seberang. Tidak langsung di sebelah. Hanya cukup dekat untuk merasa bahwa aku ada di orbit yang sama.
Aku bertanya pelan, “You... school?”
Dia mengangguk. “Yes. Art. Senmon... gakkou.”
Aku mengangguk seperti tahu. Aku tidak tahu.
Dia membuka halaman belakang buku sketsanya dan menunjukkan satu gambar, lukisan digital yang diprint di kertas.
Seorang gadis berdiri di bawah pohon besar. Matanya kosong. Tangannya memegang kuas. Tapi bayangan tubuhnya di tanah... berbentuk monster.
Aku menatap gambar itu lama.
"You draw?"
"Yes."
"Scary... but beautiful."
Dia tersenyum. “Life is like that.”
Aku menatapnya. Kalimat itu keluar begitu saja. Tanpa ragu. Dalam bahasa Inggris yang sederhana. Tapi maknanya tidak sederhana sama sekali.
Sakura bukan gadis anime manis yang hanya bicara soal cuaca dan kucing lucu.
Ada sesuatu di balik suaranya yang tenang. Sesuatu yang berat. Seperti ia sudah lama menyimpan banyak hal... dan menyalurkannya lewat pensil dan kertas.
Aku mulai ingin tahu. Siapa dia, sebenarnya? Kenapa dia selalu sendirian? Kenapa dia menggambar bunga setiap hari?
Dan kenapa... aku merasa lebih tenang saat dia ada?