Aku berjalan tanpa arah di antara lampu jalan yang berkedip lelah, seperti sedang ikut lomba lari tanpa garis finish. Suara langkah kakiku jadi teman satu-satunya, berirama seperti metronom yang kehilangan tempo.
Tubuhku sudah terlalu capek buat marah, otak terlalu kosong buat mengeluh, dan dompet? Dompetku sudah sedemikian tipis, kalau ditiup mungkin bisa terbang kayak potongan kertas undian yang nggak pernah menang.
Aku bersandar di dinding luar stasiun yang dingin dan kasar, jenis dinding yang terlalu sering jadi sandaran manusia-manusia ngantuk dan patah arah.
Kereta terakhir baru saja lewat, suara relnya menggeram pelan seperti monster kota yang akhirnya lelah juga dan ingin tidur.
Di belakangku, tembok stasiun penuh tempelan masa lalu: poster-poster sobek yang setia menua bersama angin dan hujan. Ada iklan les bahasa Korea yang sudah lebih pudar dari semangatku, pengumuman konser indie yang entah sudah bubar atau belum pernah jadi nyata, dan pamflet-pamflet absurd yang setengahnya sudah dimakan waktu dan jamur.
Tapi di antara itu semua, seperti koin receh yang jatuh di tengah jalan, ada satu lembar kertas yang mencuri perhatianku.
Warnanya kusam. Tulisannya ditulis tangan pakai spidol. Huruf kapital semua. Ada bekas air hujan yang membuat kata CLEANING terlihat seperti CRYING. Tapi… aku tetap bisa membaca maksudnya.
LOOKING FOR CLEANING STAFF – TOKYO PARK MAINTENANCE
NO EXPERIENCE NEEDED – FOREIGNER OK – CASH PAID DAILY
CALL OR TEXT: 090-xxxx-xxxx
Aku menatap poster itu seperti anak kecil yang baru saja nemu hadiah ulang tahun di bawah bantal, meskipun hadiah itu agak bau dan sudah setengah basah. Rasanya seperti Tuhan melempar pelampung di tengah laut, tapi pelampungnya terbuat dari plastik bekas dan harapan yang hampir kadaluarsa.
Tapi ada satu kalimat yang menempel kuat di otakku.
"Foreigner OK."
Dua kata. Tapi hari itu, terasa seperti puisi paling indah yang pernah ditulis di atas kertas murah.
Tanpa pikir panjang, aku keluarkan ponsel. Layarnya nyaris gelap. Baterai tinggal tujuh persen, cukup untuk satu tindakan yang mungkin menentukan masa depanku: foto. Kutarik jarak, pastikan fokus, dan jepret. Foto poster tersimpan. Tidak estetis, tapi sangat berguna.
Lalu, seperti orang tua paranoid, aku keluarkan buku catatan dari tas. Dengan tangan agak gemetar, kutulis ulang nomor teleponnya secara manual. Kalau ponsel ini mati, harapanku nggak boleh ikut mati. Nomor ini, dalam dunia yang rasional, hanyalah serangkaian angka. Tapi malam ini, dia terasa seperti peta harta karun yang digambar di atas kertas bekas nasi bungkus.
Selesai menulis, aku memasukkan buku catatan kembali ke tas, lalu menatap langit malam Tokyo yang semakin pudar. Langitnya tampak kosong tapi ramai, seperti pikiranku yang kehabisan logika tapi tetap dipenuhi suara-suara yang bilang, “Ayo lanjut.”
"Arya," bisikku ke diri sendiri, "kita belum tamat, ya?"
Tidak ada jawaban, tentu saja. Tapi aku menarik napas dalam, seperti sedang mengisi ulang akal sehat yang sudah lowbat dari tadi sore.
Dan entah bagaimana, aku tersenyum.
Bukan senyum lega. Tapi semacam senyum setengah sarkasme, setengah harapan. Senyum yang bilang, “Ya, hidupmu ancur. Tapi kamu belum nyerah. Dan itu, cukup keren.”
Tokyo masih dingin. Malam masih panjang. Tapi di saku hoodie-ku, ada secarik nomor telepon. Bukan tiket emas. Bukan jalan tol ke masa depan cemerlang. Tapi mungkin, hanya mungkin… cukup untuk membawaku sampai besok pagi.
Dan malam ini, itu sudah lebih dari cukup.