Pagi itu, suasana kantor sudah ramai. Aku berjalan pelan melewati lorong tanpa benar-benar tahu arah langkahku. Entah kenapa dunia di sekitarku terasa bergerak lebih cepat dari biasanya, sementara aku sendiri seperti berjalan lambat—seperti orang yang baru terbangun dari mimpi buruk, tapi tidak bisa benar-benar terjaga.
Suara sepatu beradu dengan lantai marmer, tawa rekan kerja, dan dentingan mesin fotokopi terasa jauh. Semua seperti hanya gema samar yang tak benar-benar menyentuhku. Di dalam kepalaku, kabut masih belum terangkat. Aku hadir secara fisik, tapi jiwaku entah di mana.
Saat melewati lobi kantor, langkahku terhenti. Di balik kaca bening yang menghadap ke halaman depan, kulihat sekelompok mahasiswa sedang berpose. Hari ini rupanya ada acara wisuda kampus sebelah.
Ada tawa. Ada bunga. Ada balon warna emas bertuliskan Congrats. Semuanya tampak penuh warna—berbanding terbalik dengan hari-hariku yang abu-abu.
Tapi mataku berhenti pada satu sosok.
Seorang perempuan muda. Cantik. Mengenakan toga dan senyum lebar. Di tangannya tergendong seorang balita—seusia anakku. Si kecil itu mengenakan pakaian kecil bernuansa formal, pipinya dicium oleh ibunya yang berseri-seri. Di samping mereka berdiri seorang pria—mungkin suaminya—dengan wajah bangga dan lengan yang terjulur memeluk keduanya.
Sebuah potret kecil kebahagiaan yang begitu lengkap. Terlalu lengkap.
Aku menatap mereka lama dari balik kaca. Seolah dunia mereka ada di dimensi lain. Seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan hidupku dan hidup mereka.
Dan entah kenapa, aku membayangkan itu aku.
Aku membayangkan aku di sana, mengenakan toga, menggendong anakku, tertawa bersama Radit—bukan sebagai dua orang yang akan berpisah, tapi sebagai satu keluarga yang berhasil melewati semuanya.
Tanganku menyentuh permukaan kaca. Dingin.
“Andai saja…”
Bisikanku nyaris tak terdengar. Tapi di dalam dada, kalimat itu menggema seperti bunyi retakan kecil.
“Andai saja itu aku… andai saja aku bisa sampai di sana… andai saja kami tak sejauh ini…”
Mataku panas. Tapi air mata tak jadi turun. Mungkin sudah habis, atau mungkin tubuhku sudah terlalu lelah untuk menangis.
Aku tahu itu hanya lamunan. Aku tahu harapan itu nyaris mustahil. Tapi di ujung kegelapan, di tengah runtuhan hidup yang aku pijak hari ini… aku masih menyimpan setitik bayangan:
Bahwa mungkin—mungkin—aku juga bisa bahagia. Meski bukan seperti yang dulu aku bayangkan.
***
Jam istirahat siang itu aku duduk di pojok ruang pantry yang sepi. Tak ada kopi yang kuseduh, tak ada obrolan dengan siapa-siapa. Hanya duduk, menggenggam ponsel, dan memandangi layar kosong cukup lama, seperti menunggu sesuatu yang entah apa.
Entah dorongan dari mana, ibu jariku membuka aplikasi Instagram—yang sudah berbulan-bulan tak kusentuh. Dunia di dalamnya dulu terasa begitu bising, penuh kebahagiaan orang lain yang menusuk seperti belati ke dalam hidupku yang berantakan. Tapi hari itu, aku hanya... ingin tahu. Apakah dunia masih berjalan seperti biasa ketika aku merasa hidupku berhenti?
Beranda memunculkan unggahan acak, sampai satu akun membuatku berhenti menggulir.
@joyfulwife_diary
Foto-foto sederhana. Kamar rapi yang hangat, meja jurnal dengan bunga kecil, kutipan-kutipan yang ditulis tangan. Ada video pendek seorang perempuan menyapa pagi dengan senyum dan tulisan: "Bangun bukan untuk sempurna, tapi untuk mencoba lagi dengan lembut."
Mataku terasa panas.
Aku menelusuri lebih dalam. Caption-caption-nya terasa seperti pelukan dari orang asing. Bukan yang menggurui, tapi mengerti. Ia bercerita tentang menjadi ibu, menjadi istri, menjadi perempuan yang juga manusia—yang punya batas, bisa lelah, bisa runtuh, tapi juga bisa bangkit.
Di salah satu unggahan, ada tulisan:
"Menulislah. Meskipun hati kacau. Tulislah walau hanya satu kalimat. Karena kadang, satu kalimat itu bisa menyelamatkanmu."
Aku menatap ponselku cukup lama.
Entah kenapa, aku teringat buku jurnalku yang sudah lama tak tersentuh. Terakhir kali aku menulis, seingatku hanya beberapa potong kalimat seperti rintihan:
"Aku capek. Aku nggak tahu harus gimana. Aku pengin hilang."
Setelah itu aku berhenti. Mungkin karena terlalu sakit, atau karena tak tahu lagi kata apa yang bisa menggambarkan isi kepalaku yang berantakan.
Selama ini aku bicara pada diri sendiri lewat gumaman—seperti orang yang sudah terlalu penuh dan tak punya tempat untuk menumpahkan. Seperti orang gila, ya, kadang aku merasa memang sudah separuh hilang kendali.
Tapi hari itu, di antara ruang sepi dan suara printer dari kejauhan, aku berbisik pelan dalam hati:
"Mungkin aku masih bisa belajar mulai lagi."
Mungkin menulis bisa jadi jalanku kembali. Kembali mengenali diriku sendiri. Bukan sebagai istri Radit. Bukan sebagai ibu dari anakku. Tapi sebagai aku.
Jari-jariku gemetar saat membuka aplikasi Notes. Di antara notifikasi yang berisik, aku hanya ingin menulis sesuatu—apa saja—untuk menenangkan pikiran. Notes ini dulunya tempatku mencurahkan isi hati. Kini, bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku menulis dari hati.
Hari ini aku buka lagi.
Bukan untuk mencari solusi. Tapi untuk mengingat bahwa aku masih ada.
Aku menulis karena aku takut.
Takut benar-benar hilang.
Takut aku tak bisa kembali jadi manusia.
Aku capek.
Aku muak jadi kuat terus.
Aku iri sama orang-orang yang hidupnya terasa mudah.
Aku benci lihat diriku di cermin. Kusut, kusam, kosong.
Kadang aku merasa… aku sudah gagal jadi segalanya.
Aku kangen aku yang dulu. Yang bisa tertawa lepas. Yang bangga pulang ke rumah. Yang bisa cerita panjang lebar tentang hal-hal receh. Sekarang aku bahkan sulit tertawa tanpa terasa pahit.
Hari ini aku lihat perempuan lain pakai baju wisuda sambil gendong anak dan gandeng suaminya. Aku lihat senyumnya dan hatiku sakit—karena di kepalaku, itu seharusnya bisa jadi aku. Aku juga punya mimpi seperti itu. Tapi sekarang… aku bahkan nggak tahu aku siapa.
Radit kos sendiri. Anakku dirawat ibu. Aku sendiri di rumah.
Semua yang tadinya penuh, sekarang kosong.
Dan aku masih mencoba berpura-pura baik-baik saja.
Masih datang ke kantor. Masih jawab chat. Masih senyum.
Tapi hari ini aku nggak mau pura-pura.
Aku sedang tidak baik-baik saja.
Aku sedang hancur.
Dan aku tulis ini bukan untuk siapa-siapa. Tapi untukku.
Supaya aku tahu… aku masih hidup.
Supaya nanti, kalau aku bisa bangkit, aku bisa lihat lagi halaman ini dan bilang:
"Lihat, kamu pernah serapuh ini. Tapi kamu tetap bertahan."