Kehamilan kedua datang seperti cahaya lembut di pagi berkabut—pelan, tapi hangat. Setelah semua luka dan ketakutan dari kehilangan sebelumnya, aku dan Radit tak langsung bersorak. Kami diam sebentar. Menatap hasil testpack yang pelan-pelan berubah warna. Deg-degan. Takut berharap terlalu tinggi. Tapi juga tak bisa menahan senyum.
Waktu itu, aku memutuskan berhenti membuat souvenir. Bukan karena jenuh, tapi karena aku ingin benar-benar hadir di kehamilan ini. Aku ingin menjaganya, sedekat mungkin, sebaik yang aku bisa. Bukan hanya tubuhku, tapi juga pikiranku. Pola makan mulai kuatur ulang. Gula dibatasi. Tidur dijaga. Waktu kerja di kantor kumanfaatkan seefisien mungkin agar tak pulang dalam keadaan terlalu lelah.
Lalu dunia berubah. Wabah COVID-19 datang tiba-tiba. Jalanan sepi, sekolah kosong, dan masker jadi pakaian sehari-hari. Rasanya seperti hidup dalam dunia yang asing.
Tapi justru karena itulah, aku makin waspada. Kehamilan ini jadi makin terasa rapuh. Aku membatasi keluar rumah sebisa mungkin. Bahkan untuk ke rumah sakit, aku harus membuat janji dan memastikan semuanya steril. Aku mencuci tangan lebih dari sepuluh kali sehari. Menghindari berita berlebihan. Menghindari keramaian, bahkan dari obrolan di grup keluarga.
***
Suatu malam, saat sedang mengganti masker yang kucuci berulang kali, Radit berdiri di depan pintu dapur sambil membawa segelas susu hangat.
"Kamu terlalu tegang, Na. Napasmu cepat," katanya pelan.
Aku menoleh, mencoba tersenyum, tapi mataku terasa perih. “Aku takut, Dit. Rumah sakit makin penuh... setiap kali batuk sedikit, aku langsung mikir yang bukan-bukan.”
Radit duduk di kursi sebelahku, meletakkan gelas susu di depanku. “Kita jaga sebaik mungkin, ya? Tapi jangan biarkan rasa takut nyeret kamu lebih dalam”
Aku mengangguk, menatap gelas itu. Hangatnya mengingatkanku pada sesuatu—pada harapan.
Aku tidak lagi memikirkan pendaftaran CPNS. Tahun itu, pendaftaran pun ditiadakan. Dan aku tidak merasa kehilangan. Mungkin, untuk pertama kalinya, aku benar-benar tidak ingin mengejar apa-apa, selain menjaga kehidupan kecil yang tumbuh dalam tubuhku.
Dan aku menikmatinya.
Aku mulai rutin menulis jurnal kehamilan. Isinya sederhana: berat badan hari ini, makanan yang kusuka, perasaan saat si kecil pertama kali menendang, dan suara detak jantungnya yang terdengar seperti lagu yang paling kutunggu-tunggu. Kadang aku menempelkan foto USG kecil, kadang hanya menulis satu kalimat: Hari ini kamu sehat. Ibu bersyukur sekali.
***
Waktu kontrol ke dokter jadi perjuangan tersendiri.
Aku ingat betul, waktu itu hujan turun deras. Kami harus antre di luar klinik karena pembatasan jumlah orang di ruang tunggu. Aku berdiri sambil memegangi perutku yang mulai membesar, sementara Radit membentangkan payung, berusaha menutupiku dari angin.
"Kita balik aja, ya? Nanti kamu masuk angin," katanya cemas.
Aku menahan napas, lalu geleng. “Sekali ini aja. Aku pengin denger detak jantungnya. Udah seminggu perasaan nggak enak terus.”
Radit tidak membantah lagi. Ia hanya mengencangkan genggamannya di tanganku. Hangat, meski udara dingin menembus jaket.
***
Di rumah, aku makin membatasi interaksi. Bahkan belanja pun sepenuhnya diambil alih Radit. Ia belajar menyusun daftar kebutuhan berdasarkan trimester kehamilan dari internet.
"Kata artikel ini, kamu harus lebih banyak makan ikan ya, bukan cuma ayam goreng," ucapnya sambil menyodorkan potongan salmon beku.
Aku tertawa. “Yang penting bukan ikan asin, Dit. Kolesterolku bisa naik.”
Ia nyengir. “Beres, Bu Dokter.”
Dan kali ini, aku belajar untuk tidak terlalu takut. Aku belajar bahwa kehati-hatian bukan berarti hidup dalam kecemasan. Tapi tentang memilih dengan sadar, melangkah dengan perlahan, dan mempercayakan sisanya pada yang Maha Menjaga.
Kali ini, aku lebih banyak berdoa, lebih banyak berserah. Tapi juga lebih kuat.
Di jurnal malam itu, aku menulis:
“Kamu tumbuh di dunia yang sedang sakit. Tapi semoga kamu datang membawa harapan.”
Lalu kutulis satu kalimat di ujung halaman:
“Ibu akan jaga kamu, sekuat yang ibu bisa. Hari demi hari.”