Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Kehamilan kedua datang seperti cahaya lembut di pagi berkabut—pelan, tapi hangat. Setelah semua luka dan ketakutan dari kehilangan sebelumnya, aku dan Radit tak langsung bersorak. Kami diam sebentar. Menatap hasil testpack yang pelan-pelan berubah warna. Deg-degan. Takut berharap terlalu tinggi. Tapi juga tak bisa menahan senyum.

Waktu itu, aku memutuskan berhenti membuat souvenir. Bukan karena jenuh, tapi karena aku ingin benar-benar hadir di kehamilan ini. Aku ingin menjaganya, sedekat mungkin, sebaik yang aku bisa. Bukan hanya tubuhku, tapi juga pikiranku. Pola makan mulai kuatur ulang. Gula dibatasi. Tidur dijaga. Waktu kerja di kantor kumanfaatkan seefisien mungkin agar tak pulang dalam keadaan terlalu lelah.

Lalu dunia berubah. Wabah COVID-19 datang tiba-tiba. Jalanan sepi, sekolah kosong, dan masker jadi pakaian sehari-hari. Rasanya seperti hidup dalam dunia yang asing.

Tapi justru karena itulah, aku makin waspada. Kehamilan ini jadi makin terasa rapuh. Aku membatasi keluar rumah sebisa mungkin. Bahkan untuk ke rumah sakit, aku harus membuat janji dan memastikan semuanya steril. Aku mencuci tangan lebih dari sepuluh kali sehari. Menghindari berita berlebihan. Menghindari keramaian, bahkan dari obrolan di grup keluarga.

***

Suatu malam, saat sedang mengganti masker yang kucuci berulang kali, Radit berdiri di depan pintu dapur sambil membawa segelas susu hangat.

"Kamu terlalu tegang, Na. Napasmu cepat," katanya pelan.

Aku menoleh, mencoba tersenyum, tapi mataku terasa perih. “Aku takut, Dit. Rumah sakit makin penuh... setiap kali batuk sedikit, aku langsung mikir yang bukan-bukan.”

Radit duduk di kursi sebelahku, meletakkan gelas susu di depanku. “Kita jaga sebaik mungkin, ya? Tapi jangan biarkan rasa takut nyeret kamu lebih dalam”

Aku mengangguk, menatap gelas itu. Hangatnya mengingatkanku pada sesuatu—pada harapan.

Aku tidak lagi memikirkan pendaftaran CPNS. Tahun itu, pendaftaran pun ditiadakan. Dan aku tidak merasa kehilangan. Mungkin, untuk pertama kalinya, aku benar-benar tidak ingin mengejar apa-apa, selain menjaga kehidupan kecil yang tumbuh dalam tubuhku.

Dan aku menikmatinya.

Aku mulai rutin menulis jurnal kehamilan. Isinya sederhana: berat badan hari ini, makanan yang kusuka, perasaan saat si kecil pertama kali menendang, dan suara detak jantungnya yang terdengar seperti lagu yang paling kutunggu-tunggu. Kadang aku menempelkan foto USG kecil, kadang hanya menulis satu kalimat: Hari ini kamu sehat. Ibu bersyukur sekali.

***

Waktu kontrol ke dokter jadi perjuangan tersendiri.

Aku ingat betul, waktu itu hujan turun deras. Kami harus antre di luar klinik karena pembatasan jumlah orang di ruang tunggu. Aku berdiri sambil memegangi perutku yang mulai membesar, sementara Radit membentangkan payung, berusaha menutupiku dari angin.

"Kita balik aja, ya? Nanti kamu masuk angin," katanya cemas.

Aku menahan napas, lalu geleng. “Sekali ini aja. Aku pengin denger detak jantungnya. Udah seminggu perasaan nggak enak terus.”

Radit tidak membantah lagi. Ia hanya mengencangkan genggamannya di tanganku. Hangat, meski udara dingin menembus jaket.

***

Di rumah, aku makin membatasi interaksi. Bahkan belanja pun sepenuhnya diambil alih Radit. Ia belajar menyusun daftar kebutuhan berdasarkan trimester kehamilan dari internet.

"Kata artikel ini, kamu harus lebih banyak makan ikan ya, bukan cuma ayam goreng," ucapnya sambil menyodorkan potongan salmon beku.

Aku tertawa. “Yang penting bukan ikan asin, Dit. Kolesterolku bisa naik.”

Ia nyengir. “Beres, Bu Dokter.”

Dan kali ini, aku belajar untuk tidak terlalu takut. Aku belajar bahwa kehati-hatian bukan berarti hidup dalam kecemasan. Tapi tentang memilih dengan sadar, melangkah dengan perlahan, dan mempercayakan sisanya pada yang Maha Menjaga.

Kali ini, aku lebih banyak berdoa, lebih banyak berserah. Tapi juga lebih kuat.

Di jurnal malam itu, aku menulis:

“Kamu tumbuh di dunia yang sedang sakit. Tapi semoga kamu datang membawa harapan.”

Lalu kutulis satu kalimat di ujung halaman:

“Ibu akan jaga kamu, sekuat yang ibu bisa. Hari demi hari.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
HABLUR
1087      496     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
In Her Place
1039      677     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3193      1173     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
The Call(er)
1901      1077     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
Imajinasi si Anak Tengah
2470      1335     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
71      62     1     
True Story
A Missing Piece of Harmony
316      242     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
99      87     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?
Tumbuh Layu
463      299     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Pasal 17: Tentang Kita
140      60     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....