Hari-hari setelah kepergian Raya, seperti berjalan dalam kabut. Aku hadir secara fisik, tapi seringkali pikiranku mengembara ke tempat lain—ke kenangan, ke pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah sempat terjawab.
Jadwal jahit pouch, merangkai souvenir, sampai revisi undangan digital pun berantakan. Aku tahu waktu tidak akan menunggu. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa tidak ingin dikejar apa-apa.
"Na, ada update vendor katering yang kamu mau," tulis Radit di chat.
Aku membacanya tanpa membalas. Kuletakkan ponsel, lalu menatap dinding kamar yang kosong.
Setelah hampir seminggu hanya tidur dan menangis, aku akhirnya duduk lagi di meja kerja kecil kosan. Di sana, alat jahitku masih rapi menunggu. Beberapa bahan souvenir sudah kupotong, tapi belum kusentuh sejak Raya meninggal.
Aku menyalakan lampu meja, lalu membuka jurnal.
Aku masih sedih. Tapi aku tidak ingin kehilangan semuanya karena rasa kehilangan ini. Raya pasti nggak mau aku gagal hanya karena larut terlalu dalam. Hari H sudah dekat. Aku harus berdiri. Harus… pelan-pelan.
Kupaksa tanganku bekerja. Hiasan bunga yang sempat kupelajari dari YouTube kini kupasang satu per satu di atas pouch.
Radit datang malam itu sambil membawa nasi padang.
“Maaf, aku belum bisa banyak bantu ya,” kataku, mencoba tersenyum meski wajahku masih terlihat letih.
Dia menggeleng. “Kamu udah bertahan sejauh ini aja udah luar biasa, Nar.”
Kami makan berdua dalam diam. Tapi tidak canggung. Hanya lelah, tapi saling ada.
***
Hari berikutnya, aku mulai menyusun daftar tamu lagi. Mulai komunikasi dengan tim WO, dan minta tolong temanku bantu desain ulang undangan.
Tiap langkah kecil yang kulakukan, rasanya seperti bentuk doa untuk Raya—bahwa aku akan tetap menjalani hidup ini, semampuku.
Dan meski masih sering menangis diam-diam di kamar mandi atau di balik layar laptop, aku belajar menerima bahwa berduka tidak berarti berhenti. Aku bisa menangis dan tetap melangkah. Bisa kehilangan dan tetap mencintai apa yang masih tertinggal.
***
Malam sebelum hari pernikahanku, suasana rumah terasa hangat tapi penuh tekanan yang diam-diam menyelinap. Semua orang sibuk. Tapi aku justru merasa hampa. Mungkin karena beberapa hari terakhir aku masih berjuang menahan sedih karena kehilangan Raya. Mungkin juga karena aku tahu, mulai besok, hidupku akan berubah.
Aku duduk di teras belakang, di bangku kayu yang dulu sering kupakai untuk membaca buku waktu masih sekolah. Aku menatap langit yang kosong, mencoba mencari arah.
Nenek datang pelan-pelan, membawa dua gelas teh hangat. Aroma melatinya menguar lembut. Ia duduk di sebelahku, tanpa banyak tanya.
"Besok kamu resmi jadi istri orang, Nar."
Aku mengangguk kecil. “Iya, Nek.”
Dia menatapku lama, lalu berkata, “Kalau ada niat kabur, sekarang waktunya.”
Aku tertawa kecil, walau tanganku dingin.
"Nenek dulu pengin kabur juga?"
"Pengin. Tapi nggak jadi. Karena tahu, hidup setelah nikah jauh lebih butuh keberanian daripada sebelum nikah."
Aku menunduk. Ada benarnya. Lalu nenek menatapku serius, suaranya lebih dalam.
"Nenek tahu kamu pinter. Punya banyak potensi. Tapi ingat ya, Nara. Kamu tetap harus punya pijakan sendiri. Jangan cuma bergantung sama suami. Usahain tetap kerja. Jadi PNS kalau bisa."
Aku menoleh cepat. Kaget.
"PNS, Nek?"
"Iya. Nenek dulu nggak sempat sekolah tinggi. Tapi Nenek lihat sendiri, yang jadi PNS lebih dihargai, keuangannya juga lebih stabil. Kamu jangan diremehin cuma karena jadi istri. Nenek nggak mau kamu ngalamin kayak Ibumu dulu."
Jantungku berdesir. Ini bukan pertama kalinya aku dengar cerita tentang perjuangan Ibu, tapi malam ini rasanya beda. Lebih personal, lebih dekat.
“Nenek bangga kamu mau nikah. Tapi nenek juga mau kamu tetap jadi dirimu sendiri. Jangan hilang. Jangan lupa cita-cita.”
Aku mengangguk pelan, mata mulai berkaca-kaca. “Iya, Nek…”
Dia menepuk tanganku pelan. “Hidup itu nggak harus selalu nurut sama rencana. Tapi kamu harus tetap punya arah.”
Malam itu aku tidur dengan perasaan campur aduk. Ada sedih, ada takut, tapi juga ada tekad yang baru tumbuh. Kalau besok aku jadi istri, aku juga harus tetap jadi Nara.