Hari-hari di tempat kerja baruku nggak selalu ringan.
Memang, suasananya jauh lebih sehat daripada kantor lama. Nggak ada lagi atasan yang suka bentak-bentak, atau rekan kerja yang ngasih kerjaan di luar jam kantor kayak dulu. Tapi tetap aja, kadang aku ngerasa... kecil.
Mungkin karena aku satu-satunya perempuan di timku. Atau mungkin karena mereka udah lama kenal satu sama lain dan aku anak baru yang belum ‘nyambung’ aja.
Mereka baik, nggak pernah kasar atau sengaja nyuekin aku. Tapi kadang, saat mereka ngobrol bareng—tentang motor, bola, film aksi favorit mereka yang aku bahkan nggak tahu jalan ceritanya—aku cuma bisa duduk diam, pura-pura sibuk sama layar monitor.
Kadang aku nyoba ikut nimbrung. Tapi respon mereka cuma anggukan atau senyum tipis. Seolah, kehadiranku nggak terlalu penting di dalam lingkar itu.
Dan lucunya, meski aku tau mereka bukan orang jahat, aku tetap pulang kerja dengan rasa... kesepian.
*
Suatu malam, aku cerita ke Radit lewat chat. Nggak langsung, sih. Awalnya cuma curhat soal kerjaan yang lagi banyak. Tapi akhirnya, kalimat itu keluar juga.
“Kadang aku ngerasa gak penting di tempat kerja.”
Nggak butuh waktu lama, ponselku bunyi.
Radit nelepon. Suaranya pelan, tapi tegas.
“Kenapa kamu bisa ngerasa gitu?”
Aku tarik napas, lalu cerita. Tentang lingkaran pertemanan cowok-cowok itu yang nggak bisa kutembus. Tentang candaan yang nggak nyambung. Tentang perasaan sendirian padahal kantor ramai.
Radit nggak langsung jawab. Dia dengerin sampai selesai.
Lalu dia bilang,
“Kamu penting, bukan karena mereka bilang kamu penting. Tapi karena kamu tahu kamu punya nilai.”
Aku diam. Kata-katanya sederhana, tapi bikin hatiku pelan-pelan adem.
“Mungkin mereka belum tahu gimana hebatnya kamu kerja. Tapi itu nggak ngurangin sedikit pun nilai kamu sebagai diri sendiri.”
Aku tersenyum kecil walau mataku mulai panas.
“Kamu nggak harus jadi bagian dari candaan mereka buat valid. Kamu cuma perlu tetap jadi diri kamu. Nanti juga orang yang tepat bakal lihat.”
Di ujung telepon, aku bisa ngebayangin Radit lagi duduk di balkon apartemennya, mungkin sambil nyeruput kopi kayak biasa. Tenang. Nggak buru-buru nyuruh aku kuat, tapi juga nggak ngeremehin rasa sedihku.
“Kalau capek, ngomong aja. Gak harus selalu keliatan tahan.”
Aku nyengir kecil, walau masih ada sesak di dada.
“Aku udah ngomong, nih. Kamu nggak kabur kan?”
Radit ketawa pelan.
“Lagi nyari sepatu lari sih. Tapi buat lari bareng kamu, bukan ninggalin kamu.”
Aku ketawa kecil juga. Entah kenapa, setelah itu... hatiku agak lega.
*
Beberapa hari setelahnya, aku mulai belajar menetapkan batas. Nggak maksain diri buat cocok sama semua orang. Tapi juga nggak terlalu keras ke diri sendiri kalau merasa “nggak cukup masuk”.
Aku kerja sebaik yang aku bisa. Aku belajar hal baru pelan-pelan, meski kadang butuh waktu lebih lama dari rekan kerja lain.
Dan sore-sore setelah kerja, kalau butuh udara segar, aku tahu ke mana harus pergi.
Taman kecil di dekat kos, kopi hangat dari tangan Radit, dan suara dia yang bilang,
“Kamu cukup, bahkan sebelum siapa pun bilang kamu cukup.”