Sebagai asisten Dewi Inari, Yui hanya bisa bersungut-sungut dalam hati sekarang. Dia awalnya mendapat sebuah tugas yang katanya 'penting' ini dari Dewi Inari. Disanggupilah tugas itu tanpa negosiasi, tapi ketika tau dia harus turun ke bumi untuk 'mengawasi', Yui menjadi merasa sedikit tidak puas. Dia tidak habis pikir, kenapa dari sekian banyak makhluk di alam semesta, harus dia yang turun tangan mengawasi siluman rubah liar atau yako itu?
Pertama, itu menyebalkan karena dia harus banyak berurusan dengan shinigami. Bukan takut...tapi suramnya shinigami yang seperti diikuti kabar buruk itu bikin Yui pening seharian. Harus meminta ijin darinya lah, dituduh menginvasi wilayahnya lah. Demi takoyaki pertama yang dia makan setelah 100 tahun! Dia bahkan butuh 5 hari untuk mengurusi surat ijin pada Dewa Ōkuninushi. Yui bahkan masih merasakan jejak gugup karena permintaan ijin tersebut.
Dewi Amaterasu dan Dewa Utama lainnya tidak protes hanya karena dirinya meminta ijin pada Dewa Ōkuninushi saja. Jadi jelas Dewa shinigami memang sengaja memperkarakan hal tidak benar. Entah terlalu bosan karena harus mengunjungi Dunia bawah atau Yomi setiap hari, atau bagaimana. Bahkan asistennya tampak prihatin pada Yui. Sayang sekali Yui hanya bisa bersabar atas sikap Dewa Shinigami.
Kedua, dia tidak punya asisten seperti Dewi Inari yang memilikinya. Dia meninggalkan Istana Langit Dewi Inari untuk tugas dengan benar-benar hanya membawa diri. Yui menghibur diri dengan meminta ijin berpenampilan sesuai pilihannya, Dewi Inari yang baik hati menginjinkannya. Sebelum berangkat, Yui mengganti pakaian istana langitnya dengan setelan ala dunia manusia; tuxendo dengan kain yang lembutnya tidak bisa disandingi kain bumi, ukiran dengan benang emas, dan kancing-kancing kristal yang dapat memantulkan cahaya. Rambut pendek hitam Yui ditata rapi kebelakang, hanya anak-anak rambutnya yang jatuh ke dahi secara menawan. Terkhusus mata, Yui membiarkan itu tetap berwarna emas dengan pupil vertikal. Menurutnya sendiri, matanya lah gaya tarik paling kuat, meski jika boleh jujur Yui percaya diri dengan seluruh penampilannya.
Masalah ketiga menyusulnya. Siluman rubah yang dia awasi ternyata tidak membuat onar sana sini. Bukannya dia menyumpahi dunia kekuasaan Dewa Ōkuninushi kacau, hanya saja nilai tugasnya jadi berkurang. Masa sih, urusan seremeh ini perlu asisten Dewi Inari? Yui percaya zenko atau rubah yang dibawah perintah Dewi inari pun mampu.
Untungnya dihari pertama turun ke bumi, Yui menjelajahi kuliner di tempat rubah itu, tepatnya di Hokkaido--Jepang. Setidaknya karena hatinya senang berkuliner, dia tidak langsung menyeret siluman rubah liar itu saat melihatnya hanya cosplay manusia nganggur dengan harta tersembunyi.
Masalah tambahannya, dia suntuk setengah mati. Bagaimana tidak? Kerjaannya semingguan ini hanya menghilangkan wujud dan membuntuti siluman konyol itu kesana kemari. Sia-sia sudah dirinya yang memilih pakaian manusia menawan. Upaya yang Yui lakukan untuk pamer pada penduduk bumi, siapa yang akan peduli jika dia tidak terlihat seperti sekarang?
Yui berdecak, andai saja tadi pagi siuman rubah liar atau yako itu tidak didapati membunuh seorang pria, mungkin Yui sudah menghadap Dewi Inari saat ini. Untuk pemeriksaan ulang kalau-kalau yang diawasinya hanya manusia nganggur dengan energi spiritualitas tinggi. Siapa yang menduga yako itu akhirnya membuat gebrakan?
Itu mulai menarik.
Bukannya Yui menyepelekan nyawa manusia. Bagaimanapun Yui tidak punya kewajiban untuk ikut campur melindungi manusia itu, pengawasannya akan ketahuan. Dan entah itu akan mempengaruhi caranya bertugas di pandangan Dewi Inari atau tidak. Jadi maksud Yui, itu menarik karna dia bisa cepat menyelesaikan tugas ini dan menikmati kembali hari-harinya sebagai asisten Dewi Inari di langit. Seperti duduk santai diatas awan sambil membaca perkamen, mengawasi para Zenko--rubah dalam pemerintahan Dewi Inari--dan menatap tajam mereka ketika tidak becus. Dia merindukan kehidupan santai namun disegani di Istana Langit.
Terkait pembunuhan itu, dia sudah menemui beberapa shinigami untuk mengosongkan area ini agar yako itu merasa memiliki kesempatan untuk kabur. Demi salju hokkaido yang baru reda, kepalanya masih pening karena kesuraman shinigami. Mereka semua baru sepakat saat Yui berjanji akan mencari roh yang dibunuh yako itu, dan berkata jika kurungan lebih membuat jera dan menyiksa alih-alih penghancuran.
Suasana hati Yui membaik saat dilihatnya yako itu mulai bergerak, entah siapa namanya—itu tidak penting bagi Yui. Dia hanya perlu melumpuhkan yako itu dan menyeretnya kedalam kurungan secepatnya. Mungkin—kalau sempat, Yui bisa melampiaskan kekesalannya dengan menghajar yako itu sedikit.
Dia tidak bisa menyergap langsung karena dalam rumah itu, terdapat beberapa manusia yang berkunjung, juga ada makhluk hidup seperti kucing peliharaan dan, kecoak. Oke bukan lebay, dirinya memang ditugaskan untuk menangkap, tapi tentu tidak semudah itu. Yako itu memiliki kekuatan juga, bisa menimbulkan masalah baru jika mereka bertarung di dalam rumah yang dipenuhi tetangga. Waktu yang tepat untuk Yako itu kabur adalah tengah malam, dan sesuai perkiraan Yui...yako itu benar-benar baru keluar saat tengah malam. Tepat ketika salju berhenti turun. Dia hanya membawa dirinya, tanpa pakaian tambahan atau apa.
Yui menggelengkan kepala, yako itu masih membuatnya takjub saat ini dengan prilakunya yang kabur sambil menggendong seekor kucing. Entah apa pentingnya kucing itu baginya.
Sok bertingkah seperti manusia, ya? Yui menahan dengusan, lebih masuk akal jika yako itu membawa kucing untuk persediaan makanan daruratnya saat kabur. Omong-omong, dirinya sedikit penasaran ke mana yako itu akan kabur? Ke luar pulau? Semacam tempat di jepang lainnya, atau dia memilih melompat kelaut untuk menjadi shiren? Dihapuskan tebakan-tebakan liar Yui dari kepalanya, berinteraksi dengan shinigami sepulau saja melelahkan, jangan sampai dia juga harus meminta ijin pada Dewa Laut yang nyentriknya minta ampun itu.
Yui berseringai, kilatan di mata emasnya menandakan pengaktifan kekuatan, sudah saatnya dia bergerak. Yui melompat turun, dia berjalan cepat, menyusul yako menyebalkan itu. Dia melesat dengan cepat, membelah udara tanpa menimbulkan suara keras.
Saat berjarak beberapa meter, didengarnya umpatan yako itu diiringi perubahan gerakannya yang tiba-tiba sangat gesit, Yako itu kini berlari dengan kecepatan melebihi manusia biasa, menimpulkan suara riuh disekitar. Sepertinya yako itu tau situasinya. Yui tidak bisa menahan tawa, dia melompat tinggi di udara, memunculkan wujudnya sekaligus dalam sekejap menendang bahu yako itu sampai membuatnya menabrak gedung sebuah kedai ramen.
Yui bersiul—merasa puas dengan suara benturan keras itu diselingi suara kucing. Oke, ralat. Tidak lucu jika makhluk lain ikut terluka, salah-salah dia bisa mendapat teguran beberapa Dewa dan Dewi. Yui mengerutkan alis saat berjalan ke arah yako itu. Dilihatnya kucing itu baik-baik; tidak terluka sama sekali—yako itu melindunginya, bahkan kini yako itu menyembunyikan kucing itu dibalik punggungnya. Sebegitunya melindungi makanan darurat? Atau kucing itu diberi sesuatu?
Yui menyisir rambut hitam legamnya dengan jari, tatapannya tajam, dia berdiri menjulang di hadapan yako itu. “Sudah tau kan harus apa? Binatang menyebalkan.”
Yako itu membuka syalnya, dan membungkus kucing itu. “Tunggu.”
Alis Yui bertaut, jelas tidak senang. Saat hendak membuka suara, tiba-tiba kedua matanya merasakan nyeri yang hebat. Yui mundur dan mengerang, rasa dingin ini...Kau berani melempari mataku dengan salju?!
Belum reda marahnya, Yui menerima tendangan keras yang membuatnya terjengkal di jalan bersalju. Tidak sampai di situ, dirinya mendapati pukulan beruntun yang membuat kepalanya seketika berdenyut. Daripada rasa sakit di kepalanya, Yui lebih kesal karna yako itu menduduki perutnya. Setelan jas berharganya—.
Sudah, cukup. Dia pikir sedang menghadapi siapa?
Yui mengaktifkan kekuatan penyerang dan menangkap lengan yako itu, dengan gerakan ringan, yako itu terlempar dengan mudah. Yui menggunakan kekuatan penyembuh, dalam sekejap matanya bisa membuka normal, nyeri di badan dan kepalanya mereda. Tapi amarahnya semakin menjadi
Yui bangkit, melihat yako itu juga berusaha bangkit dengan rintihan. Senyum miring terbit dibibir berdarah Yui, itu letak menyenangkannya, yako itu tidak akan mudah mati. Yui mengusap darah itu dengan punggung tangannya, bersiap menerjang, tapi gerakannya terhenti saat yako itu tertawa. Apa dia menjadi gila setelah dua kali terlempar?
Detik berikutnya yako itu melihat Yui dengan pandangan permusuhan, lalu melesat melompati atap rumah-rumah, menuju pengunungan hutan. Yui tersenyum geli, yako itu menantangnya untuk berkelahi? Di medan yang lebih ‘tenang’? Siapa yang akan menolak jika dia begini?
Dibuntutinya dengan senang hati. Saat memasuki tengah hutan, hal yang dilihat Yui adalah yako yang mengangkat kedua tangannya seperti pose menyerah. Sudut bibir Yui berkedut, ‘Hewan menyebalkan ini berpikir dalam pertandingan hah?’
Melihat mangsa di depannya dalam pertahanan diri rendah, Yui dengan senang hati menendang kepala yako itu sampai berdarah—biarlah nanti dia laporkan kepala yako itu terbentur kapak atau apa. Yui merarik kerah mantel yako itu dan merapatkannya ke pohon, sebelah tangannya membuka portal, membuat udara dingin di dekatnya berputar saat pusaran berbunyi gemericik air itu terbuka.
Dalam rintihan, yako itu berusaha melepaskan cengkraman, “Tunggu—tuan, mari kita bicarakan baik-baik.”
“Kau membicarakan baik-baik saat membunuh pria tua itu?” Yui menjawab malas, tidak menduga yako di depannya begitu tidak tau diri.
“Oh...aku punya alasan kuat, Tuan.” Yako itu bersuara ringan, atau lebih baik disebut 'pura-pura bersuara ringan', “dan bisa jadi informan tuan salah sangka?”
Yui menekan leher yako itu sampai terbatuk, “Aku yang melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.”
Apa yang dimaksud seorang informan? Yui kesal karena dirinya kurang keren sekarang, pasti yako ini sedang membayangkan betapa konyolnya Yui. Yui membuang napas, dia sadar telah terlarut. Jika sampai yako ini mati, Yui tidak yakin Dewi Inari akan senang.
Yako itu baru berbicara setelah Yui sedikit melonggarkan tekanannya. “Baik...baik. Maafkan aku, Tuan.”
Yui menahan helaan napas, mengingat perkataan Dewi Inari jika dia harus lebih lembut.. “Kau menyesali perbuatanmu?”
“Tidak.” Yako itu menjawab terlalu cepat, “Omong-omong penampilan tuan keren sekali...penjaga istana langit ya? Asisten Dewa atau Dewi siapa?”
Yui mendengkus, aku tau diriku keren. Yui mengerjap, “Jangan mengalihkan pembicaraan, binatang liar! Tidak menyesal? Ya sudah--”
“Ah ayolah, Tuan...” Yako itu mulai merengek, membuat Yui bergidik. “aku punya alasan kuat membunuhnya.”
“Dan alasan itu?”
“Lelaki itu...membunuh tupai terbang, demi kesenangan pribadi. Anda tau apa artinya itu? Aku membunuh bibit psikopat, itu hal bagus kan?”
Yui menahan tangan bebasnya untuk tidak menghantam kepala yako itu lagi, dia hanya menggertakkan gigi. “Tutup mulutmu.”
“Tunggu! Kucingku—dia yatim piatu, jika aku di hukum, bersama siapakah dia—“
“—Itu bukan urusanku.” Yui memotong dengan nada gusar, dia melempar yako itu ke portal dengan satu tangan. Entah yako itu akan terjungkir atau bagaimana—Yui tidak peduli, dirinya lekas menutup portal.
Yui mengehela napas, memperhatikan sejenak bekas portal itu yang mengikis salju. Yako itu seharusnya bukan urusannya, apalagi kucingnya. Tapi ada yang mengganggunya, ingatan tentang kucing kecil putih ketakutan di tengah salju itu, di tambah penjelasan konyol yako itu soal kucing yatim piatu.
Yui tertawa sepintas, dia melonggarkan dasi setelannya. Sejak kapan kucing berkumpul dengan seluruh keluarganya? Dia jelas sedang dialihkan, mungkin itu tujuannya membawa kucing itu. Yui tidak bisa terus teralihkan, masih ada satu tugas lagi. Mencari roh gentayangan sebelum itu menjadi yurei.
Di rumah yako itu kini sepi. Yui membuka gerbangnya dengan hati-hati, lalu berjalan tanpa suara ke pintu utama, pintunya terkunci. Menyebalkan, Yui berbisik. Mata Yui menyala, dirinya mengaktifkan kekuatan khusus, dalam beberapa detik, pintu itu terbuka. Lampu di dalamnya dibiarkan menyala. Khas rumah jepang, hangat dan lembut.
Tanpa sadar segala yang menggebu dalam dada Yui mereda. Dirinya bahkan melepas sepatunya, dan memakai sandal rumah untuk melanjutkan menjelajahi rumah ini. Derit lantainya tidak mengganggu Yui, dia langsung dihadapkan pada penyekat yang memisahkan ruang depan dengan ruang tamu.
Yui melihatnya lebih lama. Kursi-kursi usang itu dan sisa kayu bakar di dalam cerobong asap. Tempat ini banyak dikunjungi tetangga, terlalu banyak. Yako yang tidak Yui ketahui namanya itu lebih ramah daripada orang Jepang pada umumnya. Yui mendekat pada bingkai-bingkai foto yang terpajang di sepanjang tembok ruang tamu. Di sana ada foto-foto yako itu; foto kelulusan menengah keatas, foto wisuda kuliah jurusan kuliner. Dan beberapa foto dengan kucing putihnya, serta foto lain yang berisi kunjungannya pada beberapa festifal di Sapporo--Ibu kota Hokkaido.
Yui melihat bingkai wisuda itu lagi. Yako itu tampak bahagia dan...'serius'. Seperti orang yang memiliki hobi terkait makanan. Yui berbalik, dirinya berjalan menuju dapur. Di sana, meski semua tertata rapi, jelas sekali jika yako itu benar-benar memasak. Yui membuka kulkas, dan terdiam melihat isinya: Ada berbagai jenis sayuran, ikan segar, sisa gyoza yang sudah dimasak, dan susu semangka.
Yui menyambar susu semangka, keningnya bertaut. Setelah menemukan angka kadaluarsa masih jauh, Yui lantas meminumnya. Segar sekali, Yui membatin aneh. Tidak paham pada prilakunya sendiri yang seperti kebakaran diredakan hujan lebat. Tidak biasanya setelah pertarungan dirinya merasa 'istirahat' seperti sekarang.
Yako yang dikurungnya hampir memiliki hidup yang sempurna sebagai manusia. Sebenarnya terkadang manusia bisa sangat gila seperti bertindak meniadakan sesamanya, tapi beda halnya dengan yako itu, prilakunya terendus. Dan apakah ini alasan Dewi Inari memberinya tugas mengawasi dan mengurung?
Terlalu baik hati. Yako yang membuat onar di dunia manusia harusnya menjadi urusan Shinigami. Tidak pernah menjadi urusannya. Belas kasihan Dewi Inari selalu membuatnya takjub, bahkan pada makhluk yang seharusnya bukan tanggung jawabnya seperti ini.
Yui berdecak, dia duduk bersandar meminum susu semangka dan mengedarkan pandangan. berkali-kali membatin, yako bajingan ini memiliki pertahanan hidup yang sempurna. Jepang adalah pilihan terbaiknya, terlebih Hokkaido. Harusnya tidak perlu banyak intraksi, akan repot untuk bermigrasi sambil berganti identitas.
Setelah menghabiskan susu itu sambil duduk di kursi makan, Yui melempar kemasan susu semangka kosong itu ke dalam tong sampah khusus plastik. Masa bodoh, pikirnya. Dia tidak harus menaati aturan manusia yang memilah-milah sampah. Lagipula tempat ini tidak akan berguna setelah ini.
Yui berjalan-jalan lagi, memasuki dua kamar yang satu kamar kosong, dan satunya lagi penuh dengan aroma yako itu dan kucingnya. Kasur yang terlihat empuk dan hangat...Yui bahkan tidak punya kasur di istana langit.
Yui menggelengkan kepala dan tersenyum miring. Dia tidak boleh terlalu terlena. Di tempat ini tidak ada bukti khusus. Yui menghilangkan wujud. Melompat, dan menembus atap. Dia disambut angin dingin, matanya yang sulit dijelaskan memindai sekitar.
Sepi dan dingin. Haruskah dia mencari roh gentayangan itu di tempat asalnya? Atau di tempat lain?
Kemudian, ingatan konyol muncul di kepala Yui. Sama sekali tidak membantu. Bukan persoalan roh gentayangan. Tapi ucapan yako itu sebelum ia lempar ke dalam kurungan; tentang kucingnya yang yatim piatu.
Yui melompati dahan-dahan pohon, genting-genting, menuju tempat bertarung sebelumnya. Kucing itu masih di sana, meringkuk kedinginan dan tampak ketakutan di tengah balutan syal ungu. Sekilas terlihat seperti kucing bodoh biasa, tapi siapa yang tau?
Yui berdecak, disisirnya rambutnya kebelakang sebelum kemudian melompat tidak jauh dari tempat kucing itu. Sesampainya di depan kucing itu, Yui tidak tau harus berkata apa atau bertindak bagaimana. Ini murni tindakan impulsifnya.
Kucing itu melompat kebelakang dan menggeram, “Meow! Di mana tuanku?!”
“Bagaimana aku menjawabnya...” Yui menjawab rendah, dirinya berjongkok di depan kucing itu.
Kucing itu termagu, tidak menduga Yui akan mengerti bahasanya.
Yui mengamati kucing itu lebih seksama. Tidak ada yang spesial darinya: Kucing itu berwarna putih polos, betina dan mengenakan kalung coklat dengan bandul bundar pipih berukir nama ‘Aya.’
Yui merasa geli, bahkan kucing pun ada namanya. Tangan Yui terulur, mengangkat kucing itu dan memperhatikan lebih seksama makhluk yang tidak berdosa ini, sambil bertanya-tanya, untuk apa yako itu pergi membawanya? Dilihat dari banyaknya foto bersama kucing ini, Yui rasa bukan untuk makanan dadakan.
“Meow! Lepaskan aku!” Kucing itu mencakar-cakar udara dan berdesis.
Yui tidak peduli, berkata-kata sendiri. “Kau mau saja ditipu yako itu.”
Kucing itu berhenti mencakar-cakar, badannya bergidik di tangan Yui. “Tidak—tuanku manusia yang baik.”
Yui mendengkus, jari telunjuk kanannya berpendar lembut saat menyentuh dahi kucing itu. “Kucing naif.”
Kucing di tangannya melemas, “Apa yang kau lakukan padaku...?”
“Sesuatu yang menarik?” Yui tersenyum. Dia meletakkan kembali kucing itu saat didengarnya ada suara dari dalam kedai.
Tidak heran, Yui menggunakan kekuatan untuk membuat suara gaduh tadi baru akan terdengar 20 menit setelahnya di telinga manusia, dan itu saat ini. Andai saja dirinya tidak kembali untuk kucing itu, mungkin dirinya tidak perlu repot-repot menghilangkan wujud.
Yui menggelengkan kepalanya, hal lucu dalam hidupnya terjadi saat ini; dia khawatir tentang seekor kucing.
Oh khawatir? Yui terkekeh. Baginya lebih masuk akal jika khawatir kucing itu bukan kucing biasa dan membuat keonaran tambahan.
“Yah, pasti begitu saja.” Yui bergumam, menepis rasa bersalah yang menyusupi hatinya.
Yui terus melangkah menjauh, tanpa menyadari sepasang mata bulat terus memperhatikannya dari sela-sela syal ungu. Dia kehilangan minat untuk mencari roh gentayangan itu untuk sementara waktu. Tidak ingin juga melapor ke istana langin, toh Dewi Inari tidak memberinya tenggat. Jadi dia ingin bersantai dulu, biarlah roh itu gentayangan lebih lama sedikit, dan biarlah yako itu ada dalam kehampaan lebih lama--dia pantas mendapatkannya. Untuk sekarang, Yui perlu menyegarkan pikirannya terlebih dulu.
Dan tempat yang dia kunjungi bukanlah danau-danau terkenal itu, atau sesuatu sejenisnya. Dia mendatangi kuil yang cukup jauh, dengan berjalan kaki dan menhilangkan wujud. Hokkaido yang sepi hanya dihiasi oleh deru angin salju, Yui sesekali menitipkan pesan pada mereka; 'Beri kabar jika bertemu buruanku.'
Angin-angin itu hanya tertawa, tidak jelas apakah menertawakan Yui yang harus meminta bantuan angin, atau angin itu memang tidak menanggapinya. Yui tidak peduli, dia hanya berusaha semalasnya. Bagaimanapun, dunia menurutnya berjalan lebih lambat, dan dia terlalu malas untuk cepat-cepat.
Pukul 5 pagi, Yui sampai di kuil. Tanpa rasa lelah. Dia menaiki tangga, melewati tori sambil memberi salam. Dan memasuki kuil yang dia datangi setiap hari sejak ditugaskan di bumi. Harusnya tidak ada siapapun sepagi ini, tapi nyatanya dia mencium aroma lembut dupa yang baru dinyalakan, serta penghangan ruangan yang hidup. Di depan ruang doa, ada seorang nenek yang berdiri, hendak keluar, tetapi menghentikan langkahnya saat akan berpapasan dengan Yui.
"Tidak biasanya datang sepagi ini." Nenek itu tersenyum, punggungnya yang sudah bungkuk bergetar, "biasanya kau selalu datang siang hari."
Yui menghentikan langkahnya, menatap geli nenek itu. "Umur senja memberimu keajaiban bisa melihatku, eh."
Tidak ada raut buruk; entah itu tersinggung atau apa. Nenek itu malah tertawa. "Umurku sudah tidak lama lagi, kan?"
"Entahlah," Yui mengangkat bahu. "Tapi kabar baiknya, tidak ada shinigami di tempat ini sampai besok malam."
"Begitu?" Nenek itu tersenyum lagi, melanjutkan jalannya keluar kuil.
Percakapan konyol ini membuat Yui tertarik, dia mengikuti nenek itu, berjalan di sampingnya. Mereka berdua duduk di undakan, memandang tumpukan salju di tori dan tanaman-tanaman. Tidak membicarakan banyak hal. Yui hanya menyukai suasana tenang begini, rasanya setara dengan duduk di awan yang cerah. Mungkin karena matahari akan terbit, jadi batas samar dunia mengaburkan yang seharusnya terpisah.
"Bagaimana rasanya menua?" Yui bertanya pelan, hampir seperti bisikan. Dia berharap semoga pendengar nenek itu terganggu.
"Itu...mungkin rasanya, penuh kenangan? Tapi juga diselingi kepudaran."
Yui tersenyum miring, "Sepertinya lebih baik bagimu, Nek. Pernakah kau membayangkan hidup lama dengan kenangan segar disetiap ingatannya?
"Sepertimu, Yui-san?"
Punggung Yui mendadak meremang, dia tertawa. "Ternyata bukan manusia."
"Aku tidak pernah menyebut diriku manusia," Nenek itu menoleh kearah Yui, dan memperlihatkan bola matanya yang keperakan tanpa pupil. "Aku penjaga tempat ini."
Siluet itu tidak asing. Yui tau sebuah legenda yurei yang terkenal saat bersalju; yuki onna. Biasanya manusia-manusia menggambarkan yuki onna sebagai sosok yang muncul menggoda manusia lain di tengah salju. Memikat siapapun yang diinginkannya, bahkan ada legenda yang mengatakan jika yuki onna bisa saja berkeluarga dengan manusia.
Itu tidak sepenuhnya salah. Hanya saja manusia cenderung melebih-lebihkan. Yuki onna bisa menua jika kekurangan mangsa, dan keterbatasannya dalam berburu pun kecil. Bagaimana tidak? Ketika ada kekacauan, mereka akan bertemu shinigami, atau pasukan Dewa Ōkuninushi jika sial.
Kening Yui berkerut, "Siapa duga hukuman bagi Yuki Onna sesantai ini."
"Tidak juga," Yuki Onna itu kembali melihat tori, "dulu mungkin aku diburu, tapi sekarang aku dijadikan tempat bertanya siluman yang hilang arah."
"...Sayang sekali aku bukan siluman." Yui berceletuk ringan.
"Hanya karna berganti rumah, jati dirimu tidak akan berubah." Nenek itu terkekeh, "Tapi lihatlah rasa menyesal ini, bagaimana rasanya menghilangkan sesama?"
"Bukan menghilangkan. Tetapi menangkap, menghentikan." Yui menekan setiap kata.
"Sama saja."
Yui tertawa ringan, tapi ada kejengkelan dalam hatinya. "Kau sok tau sekali, nenek tua."
Yuki Onna itu tersenyum, "Siapa yang tidak tau saat aroma rasa bersalahmu sepekat ini?"
Sudah cukup, Yui menahan gertakan giginya, dia bangkit.
"Mau kemana? Matahari baru saja terbit." Meski bertanya, nada Yuki Onna itu seperti tidak acuh.
Yui tetap menjawab, "Ke hutan, sepertinya menyenangkan bersama peri hutan daripada nenek tua."
Yuki Onna itu lagi-lagi tersenyum. "Datang kapan saja."
Yui mengabaikan perkataan Yuki Onna. Dia melompat kearah pagar, dan melanjutkan perjalanan menuju hutan. Matahari yang baru memunculkan diri membuatnya sedikit silau. Yui terus berjalan tanpa arah, pikirannya melambung kemana-mana. Dua kata daritadi terus mengganggunya; Rasa bersalah.
Benarkah dia merasa begitu? Tapi kenapa? Dia hanya menjalankan tugas semestinya. Tidak ada yang salah, tidak ada pelanggaran--kecuali soal kucing itu--tentu saja. Yui berpikir dirinya hanya jenuh, hal-hal semacam 'merampas' sebenarnya tidak terlalu jelas. Yako itu memang semestinya tidak membunuh, dan kucing malang itu juga sudah nasibnya seorang diri.
Yui melesat, kembali ke tempat terakhir kucing itu terlihat.
Kosong. Tetapi aura kucing itu masih ada, di dalam kedai itu.
Yui menjambak rambutnya sendiri. Ada apa dengannya? Kenapa dia terus saja bertindak aneh seperti ini. Yui melesat lagi, melompati genting-genting, pohon bersalju, sampai dia tiba di sebuah tempat terbuka; Toko makanan penutup.
Yui mengulum bibir, dia menampakkan wujud mewahnya. Dirapikannya setelan dan rambutnya. Kedai ini sebentar lagi mungkin buka, dan tidak ada salahnya dia bersantai. Mungkin berbaur dan berinteraksi dengan manusia lebih baik. Dia bisa membicarakan banyak hal--atau menggoda gadis cantik.
Yui mengangkat alis, ketampanan memang bernilai.
Dia berniat menggunakan privilege itu sekarang. Rasanya lebih menyenangkan memikat mereka sampai memberikan sesuatu, padahal harta Yui sendiri tidak terbatas dalam pandangan manusia. Dia hanya butuh hiburan.
Apapun, yang tidak berkaitan dengan dunia spiritualitas. Sesekali dia perlu melucuti beban itu, jika dia masih ingin menjadi waras. Abaikan saja tugasnya sebentar, karna lagi-lagi...Dewi Inari tidak memberinya tenggat.