BALAPAN TERAKHIR
Sejak berjanji akan berubah, Christian benar-benar menepati kata-katanya. Ia tidak pernah lagi nongkrong dengan geng motornya. Ia berhenti minum alkohol, membuang botol-botol kosong di sudut kamarnya, dan mulai belajar menjalani hidup yang lebih damai. Semua itu dilakukannya demi Nafa.
Namun malam itu, ia duduk di tepi tempat tidur, menatap foto motor tuanya di layar ponsel.
“Babe,” katanya pelan. “Aku rindu balapan. Aku rindu teman-teman geng motor. Boleh gak... satu kali saja aku ikut balapan lagi?”
Nafa menoleh dari arah dapur, menyipitkan mata curiga. “Tapi janji ya, jangan minum-minum lagi,” katanya sambil menyodorkan jari kelingking.
Christian tersenyum kecil dan mengaitkan jari kelingkingnya. “Iya, aku janji. Cuma balapan, habis itu kita langsung pulang.”
---
Di bawah jembatan layang dekat pelabuhan, lampu neon berkedip-kedip menyinari arena balapan liar. Raungan mesin dan sorak-sorai menyambut kehadiran Christian dan Nafa.
“Lihat siapa yang datang!” seru Marco sambil bertepuk tangan, mengejek. “Kupikir kamu sudah insaf.”
“Aku gak nyari ribut,” jawab Christian tenang.
Marco mendekati Nafa, matanya menyipit licik. “Wah, pacar kamu makin cantik aja.” Tangannya terulur hendak membelai rambut Nafa.
“Jangan sentuh aku!” tegas Nafa sambil menepis tangannya.
Marco terkekeh, tak peduli. “Taruhannya masih sama. Kalau aku menang, gadis ini jadi milikku.”
Christian menatap Marco tajam. Tapi tanpa sepatah kata, ia meraih tangan Nafa dan berjalan lurus melewati Marco menuju teman-teman lama yang menyambut dengan salam tos.
“My brother Christian! Lama tak jumpa! Gimana kabarnya?”
“Seperti yang lo lihat, gue baik-baik aja,” sahut Christian sambil tos
Balapan segera dimulai. Lima motor bersiap di garis start. Sejak Christian menghilang dari dunia balapan, Marco selalu jadi juara. Kini, dia lebih cepat, lebih angkuh, dan lebih kejam.
Sorakan menggema ketika balapan dimulai. Persaingan antara Christian dan Marco semakin sengit. Marco bahkan mencoba menabrak Christian dari samping. Ia tidak hanya ingin menang—ia ingin Christian hancur.
Hingga akhirnya…
Marco menang.
Sesuai taruhan, Marco mendekat dan meraih tangan Nafa dengan kasar. “Akhirnya kamu milik aku!” teriaknya sambil menarik kalung di leher Nafa.
“Lepaskan aku!” teriak Nafa, memukul-mukul tangan Marco.
Christian yang geram langsung menerjang Marco, menyeretnya ke tempat sepi. Mereka berkelahi habis-habisan.
Sementara itu, Nafa terduduk di pinggir jalan, tubuhnya gemetar, memeluk lutut sambil menangis.
Setelah berkelahi habis-habisan dia kembali dan menarik tangan Nafa. “Ayo kita pergi!”
Mereka naik motor dan mengendarainya dengan kecepatan penuh, matanya kosong.
“Ian, pelan-pelan... nanti kita kecelakaan!” teriak Nafa panik.
Tapi tidak ada jawaban. Ia terus memacu motornya seperti sedang kabur dari dunia.
Brukkk! Panggg! Skiiitttt! PANG! PANGGG!!
Semuanya terjadi terlalu cepat.
Motor mereka menghantam truk kontainer dengan kecepatan tinggi. Tubuh mereka terpental, logam hancur, suara jeritan bersahut-sahutan. Orang-orang mulai berdatangan.
Dua brankar didorong paramedis. Nafa masih sadar, meski tubuhnya tak berdaya. Di atas brankar, ia menoleh lemah ke kiri... brankar satunya ditutupi kain putih. Tangan yang menjuntai ke samping memegang kalung miliknya.
“Christian…” bisiknya. Air matanya jatuh, lalu kesadarannya pun lenyap.
---
DI RUMAH SAKIT
“Korban pria dinyatakan meninggal di tempat. Tidak ditemukan identitas,” kata petugas.
“Hanya dompet dan ponsel milik korban wanita atas nama Nafa Stevania yang ditemukan dalam kondisi rusak parah.”
Pihak rumah sakit mencoba menghubungi keluarga Nafa. Mereka berhasil menghubungi sang ayah, Adam, yang tinggal di Amerika.
Begitu mendengar kabar itu, Adam langsung terbang pulang dengan jet pribadinya.
Sesampainya di rumah sakit, ia langsung menuju ruang ICU.
“Putri Anda mengalami trauma otak dan koma,” jelas dokter. “Kami sudah melakukan yang terbaik.”
Adam mengangguk, menahan tangis. “Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya.”
“Bagaimana dengan korban pria?” tanya Adam kemudian.
“Dia dinyatakan meninggal. Wajahnya tak bisa dikenali. Anda bisa ke kantor polisi untuk melihat rekaman CCTV jika perlu.”
Adam menuju kantor polisi dan menyaksikan rekaman kejadian. Motor merah Kawasaki Ninja menabrak truk. Plat nomor menunjukkan nama Kendrick Christian.
“Christian?” gumam Adam pelan.
“Anda mengenalnya?”
“Dia... dekat dengan putri saya. Dia yatim piatu. Tolong makamkan sesuai prosedur. Saya yang tanggung jawab.”
---
Adam menyadari satu hal—tidak ada satu pun dari teman-teman Christian dan Nafa yang tahu kejadian ini.
Dan sebelum siapa pun sempat menyadari...
Jet pribadi Adam telah tiba.
Nafa dibawa pergi ke Amerika.
Meninggalkan jejak Christian hanya sebagai kabut malam yang hilang tanpa suara.
Dan tak seorang pun tahu...
Apakah Christian benar-benar telah pergi... untuk selamanya?
2 Hari Kemudian
Titto tergesa-gesa berlari memasuki Oasis Shade. Nafasnya terengah, wajahnya panik.
Titto: “Di mana Nafa?!”
Seorang resepsionis terkejut dan menjawab sopan,
Resepsionis: “Maaf, Pak. Ibu Nafa sudah tiga hari tidak masuk.”
Titto: “Kalau begitu, tolong panggilkan Ibu Iriantie.”
Resepsionis: “Baik, Pak. Mohon tunggu sebentar.”
Tak lama kemudian, Iriantie muncul, tampak cemas melihat ekspresi Titto.
Iriantie: “Titto? Ada apa?”
Titto: “Di mana Nafa? Sudah tiga hari nggak ada kabar. Nomornya tidak bisa dihubungi.”
Iriantie: “Christian juga... tiga hari ini tidak bisa dihubungi.”
Titto: “Apa yang sebenarnya terjadi?!”
Tiba-tiba Emilia datang tergesa-gesa dengan napas tersengal.
Emilia: “Nafa dan Christian... kecelakaan!”
Ia menunjukkan foto dari layar ponselnya.
Emilia: “Ini... motor Christian. Beritanya dari portal online. Nama korban: Christian dan Nafa.”
Iriantie: “Kita ke rumah sakit sekarang!”
---
Di Rumah Sakit
Iriantie: “Permisi, pasien atas nama Nafa Stefania?”
Petugas mengetik sesuatu di komputernya.
Petugas: “Pasien kecelakaan tiga hari lalu? Sudah dibawa pulang oleh orang tuanya.”
Titto: “Kalau Christian?”
Petugas: “Korban satunya lagi dinyatakan meninggal di lokasi kejadian.”
Titto terdiam. Lalu tubuhnya ambruk. Emilia dan Iriantie segera menopangnya.
Titto: (dengan suara gemetar) “Tidak… ini tidak mungkin...”
Tangisnya pecah. Emilia dan Iriantie pun menitikkan air mata.
Iriantie: “Apa kamu punya kontak ayah Nafa?”
Emilia: “Coba hubungi nomor Pak Adam. Semoga masih aktif.”
Iriantie mencoba menelepon, namun hasilnya nihil.
Iriantie: “Tidak tersambung... Kita ke rumahnya saja.”
---
Di Rumah Adam
Seorang ibu tetangga menjawab sambil menyapu halaman.
Tetangga: “Maaf, Pak Adam sudah pindah hampir setahun lalu. Rumah ini kosong.”
Emilia: “Pindah ke mana, Bu?”
Tetangga: “Katanya sih ke luar negeri. Tapi saya nggak tahu pastinya ke mana.”
Iriantie: “Makasih banyak, Bu.”
Emilia: “Aku ingat. Nafa pernah cerita... Tuan Adam pindah ke Amerika.”
Titto: “Gimana caranya kita hubungi dia?”
Emilia: “Coba cari akun sosmed Nafa, siapa tahu ada jejak ayahnya.”
Mereka pun sibuk mengecek ponsel masing-masing. Tapi hasilnya nihil.
Titto: “Apa kita ke kantor polisi saja, cari tahu kronologi kejadian sebenarnya?”
Iriantie: “Iya. Itu ide bagus.”
---
Di Kantor Polisi
Titto: “Pak, bolehkah kami melihat rekaman CCTV kecelakaan tiga hari lalu? Korbannya Christian.”
Petugas: “Kalian siapa?”
Emilia: “Kami teman korban.”
Petugas: “Maaf, kami tak bisa menunjukkan rekaman CCTV.”
Titto: “Tolong, Pak... Kami cuma ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Polisi itu menghela napas, lalu mulai menjelaskan.
Petugas:
“Pukul 02.00 dini hari, terlihat motor Kawasaki Ninja merah dengan plat B23**CA melaju kencang dari arah selatan dan menabrak truk kontainer di perempatan lampu merah 7. Diduga pengendara di bawah pengaruh alkohol. Salah satu korban meninggal di tempat. Korban lainnya dibawa ke rumah sakit terdekat. Sopir truk hanya luka ringan.”
Titto: “Ciri-ciri fisik pengendara motor?”
Petugas:
“Tinggi sekitar 180 cm, jaket coklat, tato segitiga kecil di jari tengah kanan. Kondisi jenazah sangat mengenaskan, tidak bisa dikenali. Keluarga korban menolak autopsi dan langsung memakamkan.”
Emilia: “Keluarga korban?”
Petugas: “Bapak Adam Azizbek.”
Ia lalu menunjukkan barang bukti: foto kalung dan ponsel rusak.
Iriantie: “Itu... kalung Nafa.”
Emilia: “Boleh minta kontak Pak Adam?”
Petugas memberikan secarik kertas.
Petugas: “Ini nomor yang kami punya.”