5 Bulan Kemudian di Amerika
Adam: “Dokter, saya ingin bicara.”
Dokter: “Ada apa, Pak Adam?”
Adam: “Saya rasa... sudah saatnya melepaskan semua alat dari tubuh anak saya.”
Dokter: “Pak... kalau terjadi sesuatu, kami tidak bertanggung jawab.”
Adam: “Saya sudah pikirkan ini selama sebulan. Saya siap dengan segala kemungkinan.”
Dokter: “Baik, kalau keputusan Bapak sudah bulat. Tapi perlu tanda tangan surat pernyataan.”
Adam: “Saya siap.”
Dokter: “Pak... Apakah Bapak ingat saya? Saya Michael, kakak kelas Nafa waktu SMA.”
Adam: “Oh iya! Anak yang dulu saya antar pulang.”
Mereka saling tersenyum, lalu Adam menepuk pundak Michael.
Adam: “Jaga anak saya, ya.”
Michael, yang kini menjadi dokter di RS Clington, melepas semua alat bantu Nafa dan memantau kondisinya.
Dokter: “Semua organ tubuhnya berfungsi normal. Tapi otaknya mungkin... butuh waktu. Jika dalam satu minggu ia sadar, kemungkinan selamatnya besar.”
---
Empat Hari Kemudian
Mata Nafa perlahan terbuka. Bibirnya bergetar pelan.
Nafa: “...Christian...”
Ia menoleh lemah ke arah perawat.
Nafa: “Di mana aku?”
Perawat: “Saya panggilkan dokter dulu.”
Tak lama kemudian, Michael masuk ke ruangan.
Michael: “Kamu di RS Clington, Amerika.”
Nafa: “Amerika...? Christian di mana? Dia yang bersamaku saat kecelakaan...”
Michael: “Siapa Christian?”
Nafa: “Pria yang bersamaku saat kecelakaan motor.”
Michael: “Kecelakaan motor? Kamu di sini karena terjatuh saat mendaki gunung. Kepalamu terbentur.”
Nafa: “Apa? Bukankah aku pulang dengan selamat waktu itu?”
Michael: “Mungkin kamu mengalami mimpi selama koma. Mimpi bisa terasa nyata karena kondisi stres tubuh yang berat.”
Nafa: “Tapi... luka tertusuk duri ikan pari... Harusnya ada di pahaku...”
Ia membuka selimut dan memeriksa—luka itu tak ada.
Michael: “Nafa, kamu butuh perawatan kejiwaan. Mimpi itu mungkin wujud dari harapan terpendammu.”
Nafa: “Tidak... tidak mungkin semuanya cuma mimpi... Christian nyata! Perasaanku nyata!”
Ia mencabut infus, melempar alat-alat di meja, lalu meronta, menjambak rambutnya sendiri sambil berteriak dan menangis.
Michael berusaha menenangkan, tapi Nafa makin tak terkendali. Akhirnya, dokter menyuntikkan obat penenang. Perlahan Nafa terdiam.
Michael segera menelepon Adam.
Michael: “Pak Adam, kondisi Nafa memburuk. Saya akan rekomendasikan psikiater untuk membantu proses pemulihan mentalnya.”
Adam: “Kalau memang perlu... lakukan yang terbaik untuk anak saya.”
---
Di tepi pantai, di kawasan resort Jawel Palace.
Christian berdiri membelakangi laut, mengenakan kemeja putih yang tak dikancing dan celana pendek, seperti yang biasa ia pakai setiap harinya.
> “Aku minta maaf... karena tak bisa lagi membawamu ke tempat-tempat indah yang kamu sukai.
Sekarang kamu sendirian, dan aku membenci itu.
Kini kamu bisa berlari ke tempat-tempat itu tanpa aku.
Atau... kamu bisa mencari seseorang untuk menggantikan aku.
Meski itu bukan hal mudah bagiku, melihatmu dengan orang lain...
Akankah kamu mengingatku?
Saat kamu bertemu seseorang dengan nama yang sama denganku?
Saat kamu mendengar lagu yang biasa kita dengar bersama?
Jika suatu hari kamu merasa bahagia, walau hanya sesaat...
Akankah kamu mengingatku?
Sekali saja... untuk terakhir kalinya?”
...
> "Setiap hari terasa seperti menghukumku, Christian.
Apa yang harus aku lakukan?
Aku merindukanmu... sangat, sangat rindu.
Aku bahkan tak bisa berkata apa-apa.
Aku tak mampu melepaskanmu.
Setiap hari dalam kesendirianku...
Aku memanggil dan terus memanggilmu.
Aku ingin melihatmu.
Rasa rindu ini seperti menjadi kebiasaan.
Aku tidak ingin kehilanganmu.
Apapun yang kamu lakukan di luar sana,
lagu yang biasa kita dengar...
Aku akan terus mengingatnya.
Bahkan jika tak ada lagi seseorang dengan nama sepertimu,
aku tetap akan mengingatmu.
Selama aku masih bernapas...
I will always remember you, Christian…"
Nafa hendak memeluk Christian—tapi tiba-tiba, bayangan itu menghilang.
Semuanya berubah menjadi putih.
Nafa terbangun.
Itu adalah mimpi yang sama.
Mimpi yang terus berulang selama tiga bulan terakhir.
---
Sudah tiga bulan Nafa menjadi pasien Zac, seorang psikiater yang direkomendasikan oleh Michael.
> "Saya memimpikan hal yang sama lagi," ucap Nafa perlahan.
> "Apa mimpi itu membuat hatimu terasa sesak? Atau tidak nyaman?" tanya Zac.
> "Hmm... sedikit sakit, tapi anehnya... juga terasa melegakan."
"Dan, ada satu hal yang ingin saya tanyakan."
"Dari awal... ini sudah mengganjal pikiran saya—tentang mimpi panjang yang saya alami.
Tolong, jujur saja. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sebagai dokter, kamu tidak bisa membohongi pasien, kan?
Mana bisa saya sembuh kalau kalian malah memanipulasi isi otak saya?"
Zac menatap Nafa dalam diam.
> “Sejak kapan kamu menyadarinya?”
> “Dari sesi hipnoterapi pertama, aku merasa ada yang janggal.
Hati dan pikiranku bertolak belakang soal mimpi itu.
Aku merasa... itu bukan mimpi.
Tapi kenyataan—kenyataan yang dipaksa untuk kulupakan.”
Zac akhirnya mengangguk pelan.
> “Baiklah... Aku akan jujur.
Memang benar, serangkaian kejadian itu bukan mimpi.
Aku yang salah.
Tapi Aku hanya membantu ayahmu untuk memanipulasi ingatanmu,
agar kamu tidak larut dalam kesedihan setelah kehilangan Christian.
Ayahmu sangat mengkhawatirkanmu.”
> “Aku mengerti dan tidak menyalahkan siapa pun.
Sebagai ayah, dia pasti ingin yang terbaik untuk anaknya.
Tapi tetap saja, aku tidak akan pernah melupakan kenangan indah bersama Christian.”
Zac mencoba tersenyum.
> "Kamu sudah terlalu dewasa untuk menangisi cinta pertamamu... Maaf, hanya bercanda."
"Aku akan membantu sekuat mungkin."
> "Mohon bantuannya, Dok."
> "Panggil saja aku Zac, supaya lebih akrab."
> "Baiklah... Zac."
Zac menatap Nafa dengan tatapan berbeda.
> "Aku ingin mengisi kekosongan hatimu, jika kamu mengizinkan."
Nafa terdiam.
> "Hatiku tidak butuh dikasihani. Kalau kamu hanya merasa kasihan... aku tidak butuh itu."
> "Aku akan buktikan bahwa ini bukan karena kasihan."
Nafa masih tak berkata apa-apa.
> "Kamu tidak perlu melupakan cinta pertamamu, kok."
> "Dia bukan cinta pertama.
Tapi dia yang pertama mengajarkanku cara jatuh cinta.
Dan ya... tidak ada alasan untuk melupakannya.
Semua orang akan pergi—entah kemarin, hari ini, atau besok.
Kita tak tahu kapan giliran kita.
Tapi... aku tahu satu hal.
Tak perlu menangisi hal-hal yang memang seharusnya pergi.
Pada akhirnya... kita tetap bisa move on."
Nafa semakin tenang.
> "Aku sadar... hidup ini bukan dongeng yang selalu berakhir bahagia ada yang sad ending juga.
Tapi aku percaya, kehidupan nyata bisa punya akhir yang bahagia—
asal kita mematuhi aturan Tuhan."
Zac tersenyum lembut.
> "Kalau begitu... izinkan aku mencoba.
Izinkan aku masuk.
Tolong... izinkan aku memperbaiki rumahmu yang sudah rusak."
> "Aku akan menjadi rumah barumu."
---
5 tahun kemudian
Nafa sedang menikmati pemandangan kota Los Angeles dari jendela apartemen, dengan segelas kopi di tangannya.
Angin pagi menyapa wajahnya, damai.
Tiba-tiba ia tergerak membuka akun media sosial lamanya, yang sudah lama ia tinggalkan.
> "Mom, can you make some snack? I'm hungry,"
suara anak kecil memanggilnya—Reagan, putra Nafa.
> "Oh sure, honey."
Nafa meletakkan ponselnya di atas meja.
> "Zac, do you want something?"
Zac sedang sibuk bekerja dan tak menjawab.
> "Reg, ask your daddy if he wants some snack too."
Reagan mendekati ayahnya.
> "Dad, Mom asked you... do you want snack?"
> "Of course, babe. With a cup of coffee, please!" teriak Zac dari ruang TV.
Nafa tersenyum, lalu melangkah ke dapur.
Ting.
Notifikasi dari sosial media yang ia buka tadi berbunyi.
Sebuah pesan masuk.
Akun pengirimnya bernama: Kendrick Christian.
> "Nafa, apa kabar? Aku merindukanmu."