“Maafkan Mama ya, Sayang.”
Mardian dengan lembut mengusap tubuh lemah Randy yang terbaring di ranjang dengan kain dan air hangat. Bahkan setelah berhari-hari ada di sana, tidak sedetik pun air matanya sanggup ditahan. Terlebih setelah semua hujatan yang diarahkan pada sang putra, semua orang bahkan petugas kebersihan di rumah sakit saja diam-diam menghujani Randy dengan kalimat-kalimat menyakitkan di belakangnya, dan mereka akan bersikap sangat manis di depan. Tipikal masyarakat.
Harusnya, ini jadi fenomena yang tak asing bagi wanita tua itu sebab di awal-awal perceraiannya dengan Sandy, hujatan adalah makanannya sehari-hari. Namun, menerima fakta bahwa putranyalah yang kini mendapatkan makian orang, Mardian merasa dunianya hancur. Apalagi dia tahu persis bila Randy tak mungkin melakukan semua itu. Anaknya orang baik. Yang untungnya segera terbukti.
“Kamu tidak usah khawatir, Randy. Semua akan baik-baik saja. Teman-temanmu sedang memperjuangkan namamu,” bisik Mardian lagi. “Kamu telah tumbuh dengan sangat baik meskipun tanpa Mama.”
“ ..., saya kan sudah bilang kalau urusan itu akan saya selesaikan minggu depan. Tolong hubungi Pak Yoso untuk mengatur –,” ucapan itu terjeda, tepat saat pria yang kini berdiri di ambang pintu masuk bertatap mata dengan Mardian.
Keduanya bergeming, tidak menunjukkan reaksi sama sekali. Selama beberapa detik udara di sana seolah berhenti berembus, hening. Bahkan mesin perekam detak jantung yang terhubung dengan tubuh Randy juga tidak bisa didengar sama sekali oleh Mardian. Dia melayang, lalu dengan cepat dijatuhkan ke dasar jurang.
Begitu menyadari jika tindakannya keliru, Mardian buru-buru memalingkan muka ke arah sang anak, begitu pun dengan Sandy yang melanjutkan obrolannya dengan orang di seberang telepon. “Bagaimana? Oh iya, baik, Pak. Saya akan segera hubungi Anda lagi, sekarang saya sedang di rumah sakit. Benar. Baik. Sampai jumpa.”
Klik.
Sambungan telepon dimatikan, lalu dengan menarik napas panjang, Sandy menatap wanita yang sudah tidak ditemuinya lebih dari dua puluh tahun tersebut. Mantan istri sekaligus satu-satunya perempuan –dari entah berapa banyak --yang berhasil memberinya seorang putra, yang sayangnya kini sedang sekarat di atas ranjang rumah sakit dengan perban di kaki kiri.
“Dian?” panggil Sandy ragu-ragu. “Apa kabar?” lanjutnya canggung.
Mardian memeras kain di tangannya, lalu menyekanya ke tangan Randy. Tanpa menoleh, dia menjawab, “Puji Tuhan.”
“Syukurlah. Kau tampak ..., kurus.”
“Ibu mana yang tidak kurus jika melihat anaknya seperti ini?” sindir Mardian.
“Dian, apa maksudmu? Kau kan tahu aku bekerja. Ada banyak bisnis yang harus kuselesaikan. Lagi pula Randy sudah tidak apa-apa, kan?”
Mardian berdiri dan mengacungkan telunjuknya ke muka Sandy. “Apa kau bilang? Memang anakku masih hidup, tapi tahukah kamu seberapa parah kondisinya kemarin?
“Dia bisa saja meninggal, Sandy. Dan kau justru mementingkan uang?” Dia menepuk keningnya sendiri. “Oh Tuhan, aku baru ingat jika kau harus bekerja sangat keras untuk gaya hidup istrimu. Akan jadi apa kau saat tidak bekerja nanti? Bisa-bisa kau dibuang oleh perempuan itu, kan?”
“Jangan bawa-bawa Asri!”
“Lho, apakah aku salah? Kamu memilih melancong ke luar negeri bersama istrimu di saat anakmu, satu-satunya anak yang kau punya, sedang berjuang antara hidup dan mati di ranjang operasi.
“Tidakkah kau malu menyebut dirimu sendiri sebagai seorang ayah?”
Klek.
Bunyi knop pintu yang terbuka sontak membuat kedua manusia dewasa itu berhenti, kompak menoleh dan mendapati seorang gadis muda muncul dari sana.
“Siapa?” tanya Sandy.
“Oh, Raina?” panggil Mardian. “Silakan masuk, Sayang. Kamu sendirian?”
Raina mengangguk malu-malu. “Oh iya, Ibu sudah sarapan? Ini saya bawakan bubur buat Ibu.”
“Oh, terima kasih,” ucap Mardian penuh apresiasi, lalu menerima bungkusan yang Raina sodorkan. “Lihat, Sandy! Kau bahkan tidak pernah tahu dengan siapa saja anakmu berkawan.
“Harusnya dulu aku tak memberikan hak asuh Randy padamu.”
*_*
“Tiga puluh lima hari sejak lo kecelakaan, dan bokap lo baru datang?”
Jika pertanyaan ini Randy dapatkan sebelum mengenal Raina, mungkin dia akan menganggapnya biasa-biasa saja, toh, memang begitulah Sandy Bagaskara. Namun, entah mengapa kini rasanya berbeda, terlebih saat diucapkan oleh Raina. Ini terdengar seperti, setelah dua puluh tahun aku hidup di dunia, kenapa kamu baru datang sekarang?
Di sisi lain, reaksi diam Randy justru membuat Raina kian empati. Dia seolah ikut merasakan getir yang dirasakan oleh pria itu. “Sabar ya, Ran. Kadang memang dunia nggak adil. Tapi lo tenang saja, sebentar lagi lo kan akan bangun.”
Tentu saja saat mendapati tabung pemberian malaikat maut tempo hari sudah terisi tujuh puluh persen, tidak ada yang bisa Randy ucapkan kecuali syukur. Sebab dia sudah tidak sabar untuk kembali ke tubuhnya, membuka mata, lalu mengusap kepala Raina.
Sebagai pria yang sama sekali belum pernah berperan sebagai seorang ayah, tak tahu kenapa Randy ingin sekali melakukannya.
Mungkinkah itu perasaan yang sama yang dimiliki semua ayah di dunia? Randy pun tak tahu karena sejak kecil, atau lebih tepatnya sejak kedua orang tuanya bercerai, Sandy sudah tidak pernah melakukan hal itu padanya.
Randy merasa bahwa Raina dunianya, tetapi perasaan itu sangat berbeda dengan apa yang dia rasakan saat jatuh cinta pada perempuan lain seperti Milly ataupun Joana.
Jika perasaannya pada para perempuan itu seperti bunga mawar biru, maka yang dia rasakan pada Raina adalah tumpukan bunga matahari yang merekah sempurna. Tidak tergambarkan, tetapi terasa begitu hangat.
Melihat Randy berkaca-kaca, Raina yang melihatnya langsung berniat menyeka tetapi begitu sadar bahwa tubuh fisik pria itu tak bergeming di atas ranjang, Raina hanya bisa menghela napas panjang. “Ran?” Dia hendak menyentuh tangan –arwah Randy –tetapi kemudian memutuskan memegang punggung tangan Randy yang penuh luka, “Semua akan baik-baik saja. Oke?”
“Makasih, Rain.”
“Eh, omong-omong ini cara lo balik ke tubuh lo, bagaimana?”
Randy mengusap air mata di mukanya, lalu berpikir. “Aku juga nggak tahu sih, Rain.”
“Lah?”
“Malaikat Maut Gila itu nggak ngomong apa-apa.”
“Hust! Mulut lo!” potong Raina. “Jangan suka asal njeplak. Begitu-begitu, dia malaikat. Kalau nyawa lo beneran diambil, gimana?”
“Amit-amit!” Randy memukul-mukul pinggiran ranjang dengan cepat. “Aku masih ingin hidup, Raina.”
Seolah didengar oleh semesta, apa yang dikatakan Raina benar. Bukannya membaik, kondisi Randy justru secara tiba-tiba memburuk.
Adalah pukul setengah tujuh malam, tepat ketika Raina baru kembali dari salat magrib, ketika dia datang ruang perawatan Randy sudah dipenuhi orang. Mardian menangis di pelukan Karin, sementara Dion dan Maria yang datang dua jam sebelumnya, langsung mendekati Raina.
“Randy mana?”
“Tadi sih dia ikut aku ke mushala, tapi pas aku keluar dia sudah nggak ada. Aku pikir dia ke sini sendiri. Memang kenapa?”
Maria yang kelihatan pucat menyahut, suaranya bergetar. “Kak Randy memburuk.”
“Hah?”
“Tekanan darahnya turun drastis, Rain.”
“Kok bisa? Bukannya –“
“Justru itu!” Maria menggenggam tangan kanan Raina kuat. “Hanya lo yang bisa lihat. Apa benar tabung itu sudah penuh? Tolong katakan dengan jujur, Raina!” Yang langsung dijawab anggukan. “Lalu, kenapa dia malah memburuk? Kenapa dia nggak bangun?”
*_*
“Apakah karena ini baru 70 persen, makanya belum bisa bangun?”
“Tapi kan kata Randy, malaikat maut bilang, dia hanya perlu mengumpulkan sampai 70 persen.”
“Itu kan KKM. Kalau anak sekolah, nilai segitu mentok, kalau mau pasti lulus harus lebih tinggi.”
Meskipun sebetulnya masih ingin berlama-lama di rumah sakit, terlebih setelah kondisi Randy mengalami penurunan, namun mereka harus angkat kaki mengingat malam itu giliran ayah dan ibu tiri Randy lah yang berjaga.
Mardian tadi sempat pingsan, akibat tekanan darah tingginya kumat dan diminta oleh dokter untuk beristirahat. Itulah kenapa malam itu Raina, Maria dan Dion memutuskan menjaganya sekaligus rapat di kediaman Randy.
“Apa iya malaikat maut se-nggak-jelas itu?” tanya Maria pesimis. “Nggak bisa dipegang omongannya.”
“Mending lo suruh Randy buat nemuin si Malaikat deh, Rain. Tanya apa saja syaratnya supaya bisa kita penuhi. Mumpung masih ada waktu.” Walau tampak cemas, tetapi raut wajah kesal terpancar di muka Dion. “Kebiasaan si Randy. Nggak sama manusia, nggak sama malaikat, nggak pernah dibaca kalau mau tanda tangan kontrak.”
Raina tidak menjawab, dia duduk di pinggir sofa sambil sesekali menatap Randy yang bungkam di seberang meja. Tidak seperti biasanya, Randy kali itu justru tak berniat membicarakan apa pun, seolah mengetahui sesuatu.
“Ya sudah, kalau begitu kita carikan saja maaf tambahan buat dia,” celetuk Raina.
“Masalahnya Milly bilang dari semua mantan –“
“Mantan yang lain!” tegas Raina. “Yang nggak ada di daftar, tapi kayaknya bakal ngasih dampak paling besar.” Dia menoleh dan menatap wajah Dion serta Maria, yang tanpanya sudah paham apa yang dia maksud.
Namun, alih-alih setuju, Randy justru berdiri dan berkata, “Rain, kita sudah bahas ini.”
“Apa salahnya buat dicoba, Ran?”
“Nggak, Rain!”
“Terus lo mau nyerah begitu saja? Kita sudah sejauh ini lho. Tinggal sedikit lagi, dan lo bakal bangun.”
Randy menggeleng. “Lo nggak ngerti, Rain.”
“Ya makanya lo kasih tahu supaya gue paham.”
Maria mendekati Raina dan bertanya, “Kenapa?”
“Nggak tahu ini, Kak. Si Randy malah marah-marah. Nggak jelas. Padahal kan niat gue baik. Gue cuma mau dia minta maaf ke mantan dan anaknya.” Dia mendengkus kesal. “Puluhan perempuan sudah kita hadapi, masa ini doang nggak bisa? Kalau memang lo nggak berani, biar kami yang hadapi, Randy.”
“Ini nggak semudah yang lo bayangin.”
“Memang. Gue tahu ini bakal sulit. Tapi apa salahnya dicoba? Sekali lagi gue bilang, kita nggak bakalan tahu kalau nggak mencobanya. Perkara dimaafkan atau nggak, terserah mereka.
“Toh, kalau mantan lo marah ya wajar. Lo brengsek.”
“Rain?”
“Apa? Benar kan apa omongan gue?” Raina berapi-api. “Kalau memang lo orang yang bertanggung jawab, temui anak lo sekarang. Ngaku. Mumpung itu bocah masih kecil.”
“Raina, sudah! Sabar, Rain!”
“Apa yang aku omongin benar kan, Kak Mar? Itu anaknya, Randy! Paling nggak temui lah sebelum dia mati.”
Raina menyambar tas selempangnya di atas meja dan berniat pergi, saat matanya tidak sengaja bertatapan dengan mata Mardian yang berada di ujung tangga, lengkap dengan air muka syok. Tidak percaya bahwa kalimat itu akan dia dengar di sana.
“Anak?” Suara Mardian bergetar.
“Ibu?”