“Beneran?”
Joana ingat betul bahwa di ulang tahunnya yang ke lima belas, hadiah terbesar yang dia terima dari kakaknya ialah tiket lolos audisi TNS.
Di saat Joana terbaring di ranjang rumah sakit akibat kanker yang dia derita, kakak sulungnya datang membawa kabar gembira. Dia bahkan membuatkan Joana kue ulang tahun dengan tangannya sendiri, sementara tiket itu dibungkus rapi di dalam kue dengan lapisan plastik pelindung.
“Aku bangga banget sama Kak Luna!” Joana muda menghambur ke pelukan sang kakak sambil menahan tangis. “Yee! Aku bakalan punya kakak seorang penyanyi. Calon diva masa depan.”
“Baru tahap pertama, Sayang.”
“Sama saja. Kakak hebat.”
“Tahu apa yang lebih mengejutkan?”
“Apa?”
“Aku masuk tim-nya Randy.”
“Randy Bagaskara?”
“Memang Randy yang mana lagi?”
Sama seperti kebanyakan remaja pada umumnya, Joana dan sang kakak teramat mengidolakan Randy. Sebab pada saat itu, selain dikenal punya segudang prestasi, Randy juga punya citra baik sebagai orang yang punya kepedulian sosial. Dia rajin mengunjungi panti asuhan, menyumbang untuk yayasan kanker, serta rutin mendonorkan darahnya.
Namun, Luna berbeda. Dia bukan hanya menyukai Randy, melainkan memuja dan menjadikannya tujuan hidup. Joana tahu betul akan hal itu.
*_*
“Gimana?”
Luna yang berada di seberang panggilan video menggeleng, kecewa. “Kayaknya, Kakak deh yang terlalu berharap. Mana mungkin Randy mau sama perempuan kayak Kakak, Dik? Siapalah Kakak dibandingkan dengan cewek-cewek yang suka sama Randy?”
“Kok Kakak bicara begitu sih?” Joana mendekatkan mukanya ke kamera ponsel. “Kak Luna itu calon penyanyi yang hebat. Buktinya saja kemarin kata Kakak, Randy memuji suara dan lagu ciptaan Kakak.”
*_*
“Dia jadikan sama Ina,” kata Luna beberapa hari kemudian.
“Teman sekamar Kakak?”
“Iya. Baru saja Ina cerita. Randy menembaknya di rooftop.”
“Bukannya juri dan peserta dilarang punya hubungan?”
Luna mengangkat kedua bahunya. “Entahlah. Tapi kayaknya semua orang di sini pun nggak mempermasalahkannya. Oh iya, Ina ngajak aku ke acara ulang tahun Randy besok.”
“Di mana?” Lusiana yang baru datang langsung bergabung dengan adiknya ke depan ponsel. “Sama siapa saja?”
“Hanya bareng Ina. Acara di luar asrama.”
“Berarti malam minggu besok Kak Luna nggak bakal pulang ke rumah?”
“Kakak nggak akan lama-lama kok. Paling hanya satu atau dua jam saja. Habis itu, kakak bakalan ke sana dan kembali ke asrama sebelum jam 12 malam. Oke?” Luna memberikan dua jempolnya ke kamera, tersenyum sangat lebar. Namun siapa sangka bahwa itu merupakan senyuman terakhir yang Luna berikan pada mereka, sebab tidak sesuai janjinya, malam minggu itu berakhir begitu saja.
Luna ingkar janji, dan beberapa hari setelahnya, keluarga mendapat kabar dari kepolisian bahwa gadis itu ditemukan tidak sadarkan diri di kamar mandi asrama dengan tubuh bersimbah darah.
“Percobaan bunuh diri?”
“Benar, Pak Ronald.” Subroto, polisi yang menangani kasus Luna memberi penjelasan. “Kami menemukan surat bunuh diri putri Anda di sakunya.”
“Tapi, kenapa?”
Pria berkumis tebal itu menyerahkan kertas dari dalam sakunya. “Lebih baik Bapak baca sendiri.”
*_*
“NGGAK! AKU HARUSNYA MATI! KENAPA KALIAN MENYELAMATKANKU! AKU HARUS MATI!”
Nyatanya, Luna yang telah selamat dari maut tidak pernah benar-benar menjadi Luna yang sama.
“BIARKAN KAMI MATI! AKU DAN ANAK INI HARUS MATI! KAMI NGGAK LAYAK HIDUP DI DUNIA INI! TOLONG BIARKAN AKU MATI!”
“Sayang, Luna!” Wina berusaha keras menahan tangan Luna yang mencoba memukul-mukul perutnya sendiri. “Jangan begini, Anak. Bayi ini tidak bersalah. Tolong jangan.”
Kenangan itu membekas kuat di kepala Joana.
*_*
Kembali ke hari di mana Joana menangis, menceritakan keluh kesahnya di hadapan semua orang di kantor polisi, termasuk juga Randy yang sejak tadi berdiri di sebelahnya.
“Lalu, apa urusan semua ini dengan Randy?” tanya Ronald.
Joana sambil terisak menjawab, “Karena dia terlibat, Pa. Dia yang mengajak Kakak ke pesta itu. Dia dan teman-temannya pasti sudah merencanakan semuanya, kan?”
“Harusnya semua ini salah Papa!” seloroh Lusi. “Hanya karena Randy anak orang kaya, lalu Papa yang seorang penegak hukum bisa membebaskannya. Kenapa, Pa? Kenapa?”
“Sayang,” gumam Wina. Dia menyentuh pipi kedua anaknya lembut. “Kenapa kalian ceroboh sekali?”
“Aku melakukan semua ini untuk Kakak, Ma.”
“Iya, Joana. Mama paham. Tapi –dengar! Kalian pikir Mama tidak tahu semuanya? Tentu saja Mama paham. Kalau Mama tidak tahu, mana mungkin kami akan merestui hubunganmu dengan Randy, Jo.”
“Maksud, Mama?” Kening Joana mengerut, bingung.
Ingatan Wina terlempar ke kejadian sepuluh tahun sebelumnya, di mana dia baru saja menemani putrinya menjalankan aborsi.
Tubuh Luna terlalu lemah, dia pun menolak makan apa pun sejak kemarin. Seberapa keras pun Wina dan suaminya membujuk putri mereka, hanya sia-sialah yang menyambutnya.
“Sayang, Jo dan Lusi barusan datang menemuimu.” Hanya saja, tidak ada yang ingin Luna temui. Jangankan adik-adiknya, sang ayah dan tim medis pun dia enggan menemui. Luna akan berteriak histeris sepanjang waktu bila melihat orang asing.
Namun, sore itu seseorang datang. Randy membawakan sebuah buket bunga mawar biru yang indah untuknya.
“Halo, Tante. Boleh saya masuk?”
“Eh, Luna ..., dia belum ....”
“RANDY?” Yang dibicarakan justru memanggil. “Randy? Ran?”
“Boleh?” tanya Randy lagi.
Wina mengangguk lemah. “Silakan,” jawabnya sambil menyingkir dari pintu.
Layaknya bocah kecil yang merengek, Luna melompat ke pelukan Randy. “Harusnya aku percaya sama kamu. Harusnya aku tahu kalau Romi brengsek. Dia –“
“Iya, iya!” Randy mengusap kepala Luna lembut. “Aku paham. Aku juga yang salah karena telah mengundang Bajingan itu. Maafkan aku ya.”
“Kamu nggak salah, Ran. Aku yang salah karena mengecewakanmu. Harusnya aku bisa masuk final seperti yang kamu bilang dulu. Aku mengecewakanmu. Harusnya aku nggak cari jalan pintas untuk terkenal.”
*_*
“Nggak! Nggak mungkin!”
“Itu mustahil!”
Lusi dan Joana kompak menyela cerita sang ibu.
“Buat apa sih Mama bohong?” ujar Wina sesak. “Kakak kalian memang pergi bersama Randy dan Inara malam itu, tapi keputusannya berkencan dengan pelaku ..., dia memilihnya sendiri.”
“Tapi kenapa, Ma?”
“Karena Kakak kalian pikir pria itu bisa mengorbitkannya lebih cepat.” Wina menyeka air matanya. “Kakakmu tidak percaya diri dengan kemampuannya.”
“BOHONG! MAMA BOHONG!” Lusi tertawa kering. “Buktinya, Randy mencuri lagu Kak Luna.”
“Lagu?”
“Di Dahan Kering,” jawab Joana. “Aku tahu persis Kakak menuliskannya untuk kompetisi. Dan lagu itu ..., justru dibawakan oleh Randy, kan? Dia mencurinya!”
“Kata siapa? Dia tidak mencurinya, Sayang.” Wina kembali menyeka air mata di wajahnya. “Justru kakakmu yang memberikannya pada Randy.”
Apa yang dikatakan ibu tiga anak itu benar. Randy masih bisa mengingat dengan jelas sebelum pesta ulang tahunnya dimulai, Luna yang mengenakan gaun indah berwarna merah wine datang menemuinya dengan membawa sebuah buku kecil. “Aku nggak punya hadiah apa-apa buat kamu.”
“Nggak masalah. Yang penting kamu datang. Kamu teman Inara, dan murid nomor satuku.”
Luna tersenyum malu-malu. “Aku ingin kamu menyanyikannya.”
“Menyanyikan?” Randy menerima buku itu dan membukanya. “Wow? Kamu menulisnya sendiri?”
“Benar.”
“Kenapa bukan kamu saja yang menyanyikannya di final?”
“Kupikir, aku tidak akan bisa masuk final.”
“Jangan begitu. Aku percaya kamu bisa.”
Sayangnya, Luna benar.
Dia gagal. Dan di situlah Randy tak bisa menolak permintaan gadis itu. Di kamar rumah sakit yang dingin dan menyedihkan.
“Saya mohon, Nak.” Wina menyodorkan buku milik putrinya pada Randy sebelum pria itu pergi. “Tolong bawakan lagu ini untuk Luna.”
*_*
“Lalu, kenapa nama penciptanya bukan Kak Luna?”
“Lusi, apakah kamu tidak tahu nama pena kakakmu sendiri?” Ronald yang sejak tadi diam akhirnya bicara. “Lotus Merah Muda. Nama yang sama dengan yang digunakan kakakmu untuk novel buatannya. Kamu lupa?”
“Dan asal kamu tahu, Joana, sampai sebelum kalian putus, Randy masih datang untuk menengok kakakmu. Dan kalian justru melakukan semua ini padanya?”
“Ta –“
“Mama kecewa pada kalian berdua.”
Seketika lutut Joana lemas.
Gadis itu bersimpuh, dan menangis.