“PAPA?”
Sandi dan Asri seketika menoleh saat mendengar suara Randy muda dari arah pintu gudang. Keberadaan bocah itu sontak membuat keduanya gelagapan.
Sandy buru-buru meraih pakaiannya yang ditumpuk di pojokan, di atas lantai gudang yang kotor, begitu pun dengan Asri. Bedanya, gadis muda itu langsung berlari, menutup diri di balik rak gudang tempat barang-barang lama disimpan.
“Kenapa kamu ada di sini?” Sandy Bagaskara mencoba memecah perhatian sang anak, dengan suara setenang mungkin dia mengancingkan resleting celananya. “Maaf ya, Papa lupa kalau harus jemput kamu.” Begitu selesai, dia menghampiri, lalu menepuk bahu Randy. “Ya sudah, ayo kita kembali ke rumah. Di sini banyak debu. Mamamu pasti sudah masak makan siang untuk kita.”
Padahal, selama lima balas tahun hidup sebagai anak tunggal, tidak sehari pun Randy tidak mengagumi ayahnya. Pria pekerja keras yang dipenuhi cinta dan kasih sayang, yang jangankan memukul, meninggikan suaranya saja Sandy tidak pernah. Akan tetapi, entah mengapa sentuhan pria itu kali ini teramat berbeda. Bukan hanya mengintimidasi, di sisi lain Randy juga dibuat hancur.
Terlebih saat keesokan harinya Sandy datang ke kamarnya dengan membawa sebuah kotak besar.
“Apa ini, Pa?” Randy yang keheranan bertanya.
“Buka saja.”
Tanpa pikir panjang, Randy menarik pita cokelat yang ada di bagian atas kotak, lalu mengangkat sisi penutupnya. Detik berikutnya sebuah mainan robot-robotan besar terlihat, menyambut Randy. “WAH!” Dengan bungah dia mengangkat, mengeluarkan benda itu untuk dikagumi. “Makasih ya, Pa.”
“Kamu senang?”
Randy mengangguk cepat, bersemangat. “Banget, Pa. Aku nggak nyangka kalau Papa akan membelikannya sekarang. Bukannya Papa bilang baru akan membelikanku mainan ini saat ulang tahun?”
“Mulai sekarang anak Papa boleh minta apa saja tanpa harus menunggu ulang tahun.” Jawaban Sandy seketika membuat senyum di bibir Randy terhenti. Di sisi lain, menyadari perubahan pada sang anak, Sandy justru tersenyum. Malah, dia dengan lembut menyentuh dan mengusap-usap rambut bocah itu. “Papa berjanji akan memberimu lebih banyak hal, apa saja, selama kamu bisa menjaga rahasia.”
Kepala Randy tertunduk, tak berani menatap mata sang ayah. Lalu, dengan gugup dia bertanya, “Ke –kenapa?”
“Kamu masih terlalu kecil untuk paham, Ran. Tapi yang jelas, kalau mamamu sampai tahu, itu nggak akan baik. Paham?”
*_*
Di dalam angkutan kota yang melaju di kegelapan malam, Randy yang sedari tadi duduk bersebelahan dengan Leon tidak berhenti mengenang masa lalu.
Potongan-potongan adegan muncul selayaknya dalam serial drama Korea yang bisa dia tonton bersama Maria. Hanya saja, Randy tidak pernah benar-benar menemukan cerita sesempurna perjalanan keluarganya. Terlalu mengada-ada, tetapi tidak bisa disangkal kebenarannya.
Mungkin yang dikatakan Sandy benar, harusnya Randy diam saja pada saat itu. Karena begitu dia memberitahukan kebenaran ini pada sang Ibu, Mardian mengamuk.
Berhari-hari kedua orang tuanya bertengkar. Bukan hanya memaki dan berteriak, Mardian juga membanting segala macam benda yang berada di rumah. Tidak ada seorang pun –termasuk para pekerja yang tak tahu apa-apa –yang tidak terkena getahnya. Itulah kenapa, hari-hari setelahnya Randy jarang pulang. Dia mengungsikan diri; berlama-lama membaca buku di perpustakaan sekolah, bermain sepak bola di lapangan kampung, atau malah mengerjakan tugas sekolah di rumah Rindu. Apa pun akan dia lakukan supaya tidak melihat perang dunia ketiga yang meletus di rumahnya, setidaknya tidak secara langsung.
Randy terlalu menyesal. Bisa dibilang, selama bertahun-tahun ini dia hidup dalam rasa bersalah. Dan alasan dia tidak pernah datang atau sekadar berkabar dengan sang ibu sejauh ini bukanlah karena dia marah atau tak mau, justru sebaliknya, Randy tak pernah sanggup untuk melakukannya.
Randy menganggap dirinya terlalu kotor.
Toh, apa yang dikatakan Mardian ada benarnya, Randy tidak pantas menjadi anaknya.
Namun, semua anggapan itu terbukti salah malam itu. Lebih tepatnya, saat Randy melihat dengan mata kepala dari ‘arwahnya’ sendiri, bagaimana Mardian menangis tersedu-sedu di ruang tamu, sambil memanggil-manggil namanya.
“Ya Tuhan, anakku! Randy! Maafkan Mama, Sayang!”
Maria dan Dion berdiri, menyambut kedatangan Leon dan Raina yang menyusul di belakang Randy.
“Maaf, Kak, agak sulit nyari angkot malam-malam. Ini saja untung ada yang mau nganterin.”
“Iya, nggak apa-apa.” Maria mengangguk lemah.
Raina menoleh ke arah Mardian sebentar, lalu bertanya pada dua rekannya. “Kalian sudah bilang ke –”
“Sudah!” jawab Dion tanpa perlu menunggu Raina meneruskan ucapannya. “Tapi kami terlalu bingung untuk menjelaskan soal ….”
“Gimanapun juga ini ibunya,” sambung Maria, “sudah tua pula. Kami takut terjadi apa-apa kalau cara ngomongnya nggak benar.”
Raina menarik napas panjang, lalu menghelanya lewat mulut. Kalau dua orang dewasa di hadapannya ini saja tidak mampu, lalu apa kabar dia yang jauh lebih muda?
Hanya saja, Raina tak mungkin mundur. Pun tangisan Mardian yang teramat pilu mengingatkannya pada sang Ibu.
Perlahan Raina mendekat, menyentuh tangan keriput Mardian dan bersimpuh di lantai, guna mengimbangi posisi Mardian. “Bu.”
Mardian menghentikan tangis, menyeka air mata dan membalas tatapan Raina heran. “Raina, kenapa kalian nggak jujur ke Ibu sejak awal? Anak Ibu sakit, Raina! Randy-ku yang malang.”
“Maafkan kami ya, Bu,” pinta Raina. Jemarinya mengusap-usap punggung tangan Mardian. “Kami terlalu bingung dan takut untuk ngomong. Tapi Ibu tidak perlu khawatir, karena kondisinya Randy sudah membaik. Dia akan segera sembuh.”
“Tapi kenapa berita di tivi itu mengatakan kalau –”
Raina menggeleng-gelengkan kepalanya . “Itu kan hanya kata berita. Ibu lebih percaya berita dari wartawan yang nggak jelas dan nggak tahu apa-apa, atau sama kami yang merupakan teman-temannya Randy?
“Bu, dengarkan saya! Yang dibutuhkan Randy sekarang adalah doa dan maaf dari Ibu. Bukankah begitu?” Dia menoleh ke tempat di mana Dion, Maria dan Leon berada. Mereka kompak mengangguk. Akan tetapi, sebenarnya, yang Raina tuju adalah Randy yang masih mematung di depan pintu.
“Oh iya, tujuan kami ke sini selain untuk memberitahu Ibu soal kondisi Randy, juga untuk membawa pesan yang dititipkan Randy beberapa waktu lalu.” Raina masih tidak mengalihkan pandangannya, menatap mata Randy yang berlinang air mata. “Bukankah begitu?”
“Pesan?” Mardian tampak terkejut mendengarnya. “Pesan apa?”
Melihat pria di hadapannya tidak bereaksi, Raina berpaling kembali pada Mardian, dan dengan sedikit penekanan, dia menjawab, “Randy bilang, dia sebenarnya ….”
“Sebenarnya apa?”
“Randy!” Dibanding untuk meneruskan jawaban, cara Raina mengucapkan nama itu terdengar seperti panggilan yang diarahkan ke empunya nama. “Entah kenapa dia diam saja.”
“Eh?”
“Maaf! Maaf!” Raina tersenyum kikuk. “Saya kurang fokus.” Dia memijat keningnya sendiri. “Boleh minta minum?”
Mardian yang bingung mengangguk, kemudian meraih gelas berisi air putih di atas meja. “Kamu pasti lelah ya, Rain? Apalagi keluargamu juga sedang sakit. Maaf karena keluarga saya merepotkanmu.”
Raina menggeleng sambil meneguk air. “Nggak sama sekali. Saya dengan senang hati melakukannya.” Sebetulnya ini tidak bisa disebut bohong, karena sebetulnya, setelah lebih dari seminggu bersama dengan orang-orang itu, Raina merasa nyaman. Dia sudah menganggap mereka layaknya kawan baik. Meski dia tidak bisa mengelak kalau masih tetap menginginkan uang yang Randy janjikan.
“Kenapa, Ma?”
Raina terkejut saat kata-kata itu terdengar dari mulut Randy. Suaranya bergetar, menahan tangis.
“Kenapa Mama melakukan ini ke aku?” Randy kembali melanjutkan, dia melangkahkan kakinya mendekati sofa. “Aku tahu Mama benci aku, tapi kenapa? Kenapa Mama diam saja?” lanjutnya getir.
Raina mematung, bingung. Ini jelas di luar skenario. “Ran?”
“Mama tahu kan kalau aku punya anak?”
“HAH?” Raina sampai tak bisa berkata apa-apa, matanya membulat. Hampir saja kedua bola matanya mencolot ke luar.
“Rain?”
“Ada apa, Rain?”
“Apa yang dia katakan?”
Pertanyaan dari Mardian, Maria dan Dion secara bersahutan tidak Raina tanggapi. Gadis itu masih menyimak perkataan Randy.
“MA!” Randy kembali berteriak, tetapi kali itu sambil menjambak tambut di kepalanya brutal, macam orang kesetanan. “Aku tahu kalau selama ini Mama benci dan marah padaku, tapi kenapa Mama setega ini?” Tubuhnya jatuh di lantai, kemudian meremas jantung. “Mama boleh bilang aku mirip Papa. Mama boleh benci sama aku. Tapi nggak seharusnya Mama melakukan semua ini. Bagaimanapun juga, aku bapaknya, Ma.
“Mama pasti tahu kan dia hamil? Mama tahu kan itu anakku? Iya, kan, Ma?”
“Rain?” Maria menyentuh pundak Raina. “Kenapa?”
Bukannya menjawab, Raina justru berdiri. “Aku ke toilet sebentar ya?”
Menyadari sesuatu yang tak beres telah terjadi, Maria dan Dion menyusul kepergian Raina.
*_*
“HAH?” Dion dan Maria kompak berteriak, menatap Raina yang tengah duduk di kursi makan sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya ke atas meja.
“Lo serius, Rain?” Dion memiringkan kepalanya tanda selidik.
Maria yang tak mau kalah juga ikut melakukan hal yang sama. “Nggak salah dengar?”
Tidak menggeleng, tidak juga mengangguk, Raina justru menghela napas panjang lewat mulut. “Terus gue harus gimana? Kalau gue ngomong apa adanya ke Bu Mardian, apa nggak kena serangan jantung itu orang?”
“Ya Tuhan!” Tangan kanan Maria nemepuk keningnya sendiri keras. “Kak Randy!” Dia terdengar putus asa.
“Gue sudah menyangka kalau semua ini bakal terjadi.”
“Maksud, Kak Dion? Kakak tahu dia punya anak?”
“Bukan begitu, Mar!” Dion berdecih sebal. “Lo kan tahu kelakuannya si Randy kayak gimana. Cepat atau lambat, salah satu dari perempuan-perempuan itu pasti bakal ada yang hamil.”
Maria mengacak rambutnya sendiri dengan kasar. “Goblok banget sih dia? Kan gue sudah bilang buat selalu pakai pengaman.”
“Sudah! Nggak ada gunanya marah sekarang. Mending kita ajak dia ngobrolin masalah ini dulu.”
“Kak Dion benar. Omong-omong, Kak Randy lagi di mana, Rain?”
“Tadi sih masih di ruang tamu, Kak Mar.”
Hanya saja, begitu Raina mengintip untuk memastikan, pemuda itu sudah raib, menyisakan Mardian dan Leon yang duduk bersebelahan.