Loading...
Logo TinLit
Read Story - 40 Hari Terakhir
MENU
About Us  

Maria buru-buru berdiri saat menyadari mobil kuningnya telah sampai, memasuki halaman rumah keluarga Mawardi. Dan tanpa menunggu pengemudinya turun, gadis berambut dikuncir kuda itu telah terlebih dahulu berlari menghampiri.

“Gimana, Kak?”

“Kondisi nyokapnya Rain sudah stabil.”

“Syukurlah, tapi bukan itu!” tegas Maria dengan air muka panik. “Ini soal Joana. Kakak sudah baca beritanya, kan?”

Dion mengangguk, lalu memberikan kunci berbandul Komodo kembali ke pemiliknya. “Sejujurnya, gue nggak nyangka kalau Joana bisa melakukan hal sejauh itu.”

“Bisa-bisanya dia ke rumah sakit nggak ngasih tahu ke kita dulu?” Omelan Maria bukan tanpa alasan, sebab kalau Joana datang untuk menengok tentu saja dia dan Dion tidak akan mempermasalahkan sama sekali, malah bagus untuk Randy, terlebih bila Joana bisa membantu mengisi tabung permintaan maaf milik pria itu. Hanya saja, tidak begitu. “Lagian, ngapain dia pakai bawa-bawa kru segala? Itu niat jenguk atau bikin video? Mentang-mentang youtuber, begitu banget caranya dapat traffic di medsos.”

“Sudah!” Dion menepuk bahu Maria pelan. “Kayak nggak kenal Joana saja.”

“’Setiap momen berharga’,” Maria meniru gaya Joana setiap kali mengucapkan jargon di video vlognya. “Berharga sih berharga, tapi nggak begitu juga dong. Orang koma disyuting,” lanjutnya mengomel. “Gue yakin banget kalau dia nggak beneran nangis. Itu cewek pasti pakai obat tetes mata.”

Dion memijit kening sebelum akhirnya memutuskan masuk ke dalam rumah. Menemui Mardian yang sedang menata sarapan di meja makan. “Selamat pagi, Tante,” sapanya basa-basi.

Mardian menoleh. “Pagi juga. Oh, kamu? Temanmu yang satu lagi, tidak ikut?”

“Dia langsung balik ke rumahnya.”

“Oh.” Mardian tersenyum prihatin. “Saya sudah dengar dari Nak Maria. Kejadian ini pasti membuat teman kalian sangat terpukul.”

“Kalau begitu saya izin mandi ya, Tan.”

“Silakan! Sekalian saya tunggu untuk sarapan.”

Walaupun baru mengenal Raina kurang dari setengah hari,  Mardian sudah bisa melihat bahwa gadis itu adalah anak yang baik.

Tidak seperti Dion dan Maria, Raina memiliki sorot mata yang hangat. Caranya memandang orang tua tidak hanya dibarengi kelembutan, tetapi juga kasih sayang. Bahkan gadis itu bersikeras membantu Marian mencuci piring setelah makan, tidak peduli seberapa keras Mardian melarangnya.

“Nggak apa-apa, Bu, saya sudah terbiasa kok!” kukuh Raina.

“Benarkah?” Menyadari kalau pertanyaannya membuat gadis itu tak nyaman, Mardian buru-buru memberi penjelasan, “Bukan maksud saya meragukan kemampuanmu, tapi rasanya sudah jarang anak muda seperti kalian mau mencuci piring sendiri.”

Raina terkekeh. “Kalau nggak nyuci piring sendiri, memang siapa yang mau mencucikan, Bu?”

“Pembantu? Apa di rumahmu tidak ada asisten rumah tangga?”

“Jangankan pembantu, yang mau dicuci saja nggak ada, Bu, lha piringnya saja cuma dua biji.”

“Maksudnya?” tanya Mardian bingung. “Keluarga kalian menerapkan gaya hidup minimalis?”

“Bukan minimalis lagi. Miskin!” Raina tertawa sembari mengelap permukaan piring kotor di wastafel dengan cekatan. “Lagi pula bersih-bersih sudah jadi hobi saja kok, Bu. Maka dari itu saya milih jadi cleaning servis.”

Mendengar penjelasan Raina, mata Mardian melolot. dengan sikap Randy yang dia kenal, agaknya tidak mungkin kalau dia akan memiliki teman seorang tukang bersih-bersih. “Maaf, bukannya saya meremehkan profesi kamu, tapi kamu dan Randy betulan berteman?”

Raina bergeming, menyadari bahwa dirinya baru saja salah bicara. Di sisi lain, Mardian yang melihat itu justru tersenyum, senang bahwa dugaannya terhadap Randy selama ini salah. Putranya bukan lagi anak manja yang suka meremehkan orang lain. “Aku lupa bahwa dia sudah dewasa.”

*_*

Leon baru saja hendak tidur saat pintu kontrakannya digedor cukup keras dari luar.

“Kak Lia sama Bang Yunus ngapain sih malam-malam ke sini? Perasaan tadi gue sudah ngasih kunci kedai ke Mbak Ida deh. Bukan gue yang bawa!” kata Leon setengah mengantuk, lengkap dengan kuap besar. 

“Ini bukan soal kunci, ege!” Lia merogoh tas jinjing, lalu memberikan telepon pintarnya kepada sang adik. “Gue barusan dapat kiriman berita dari orang-orang di kampung. Ibu dibawa ke rumah sakit gara-gara ditikam oleh Pak Sis.”

“HAH?” Mata kantuk Randy seketika terbuka lebar.

Dan, begitulah pada akhirnya dia bisa muncul di depan pintu rumah Raina siang itu.

Tanpa banyak bicara, Leon menghamburkan pelukannya kepada sang kekasih. Yang langsung membuat Raina menangis, tersedu-sedu. Bukan apa-apa, sejak semalam sebenarnya Raina sendiri sudah ingin berteriak, hanya saja dia sendirian. Tidak ada tempat yang lebih nyaman menumpahkan resah baginya selain dada Leon.

“Aku takut, Yon.”

Leon membelai kepala Raina lembut. “Iya. Nggak apa-apa. Nangis saja. Nanti kita hadapi bersama. Kamu nggak akan sendirian. Aku sudah ada di sini.”

Melihat betapa romantisnya pasangan muda tersebut, Randy yang menyaksikan dari kejauhan hanya terdiam. Harus dia akui bahwa Leon adalah pria bertanggung jawab, dan mungkin lebih gentleman ketimbang dirinya. Mungkin Leon memang tidak bisa memberikan Raina bantuan finansial, tetapi cara pemuda itu memberikan dukungan juga tidak bisa disepelekan.

Bahkan di tengah kelelahannya, Leon yang baru datang langsung turun tangan untuk membantu Raina membersihkan rumah, memandikan nenek dan kakek Raina yang baunya sudah tak tertahankan, hingga mencuci rendaman pakaian yang berada di sumur –entah sudah berapa lama berada di sana, sebab aromanya amat menyengat, dan mungkin kalau dibiarkan sedikit lebih lama akan segera keluar jamur –dan masih menyempatkan diri membantu Raina memasak. Untuk bagian terakhir, Randy tahu bahwa pemuda itu memberikan selembar uang lima pulih ribu yang kemudian oleh Raina ditukarkan menjadi beras, beberapa ikat kangkung dan tempe.

“Aku benar-benar nggak tahu gimana caranya berterima kasih ke kamu,” ucap Raina tepat saat semua makanan matang dan ditata di atas meja dapur, siap disajikan.

Leon menggeleng, meminta gadis itu untuk tak melanjutkan ucapannya. “Jangan bilang begitu. Ibumu kan ibumu juga, keluargamu keluargaku juga.” Apa yang dikatakan Leon agaknya tidak dibesar-besarkan, sebagai anak yatim piatu dari pasangan miskin, dia dan Lia, kakaknya, terbiasa hidup tanpa makanan di waktu kecil. Dan salah satu orang yang paling peduli padanya tidak lain dan tidak bukan adalah Rindu. Bahkan di tengah rasa lapar keluarganya, Rindu masih mau menyisihkan sedikit makanan untuk Leon dan Lia. Itulah kenapa sekalipun sudah dewasa, kebaikan Rindu tidak akan pernah bisa mereka lupakan. Malah, detik berikutnya Leon mengeluarkan amplop putih dari saku celananya. “Dari Mbak Lia.”

“Apa ini? Nggak usah repot-repot.”

“Raina!” Leon menahan tangan Raina yang hendak menolak, supaya amplop tetap menempel di sana. “Ibu bukan buat kamu. Ini buat Ibu. Buat tambah-tambah beli obatnya Ibu.”

Raina berdecak lemah. “Aku tuh benar-benar merasa nggak enak lho ke kalian. Selalu saja aku repotin.”

“Nggak ada yang merasa direpotkan, Raina.” Leon menegaskan, lalu menengok jam di diding tepat di atas pintu penghubung dapur dan ruang utama. “Ini sudah jam setengah dua. Andi pulangnya jam berapa?”

*_*

Entah sudah berapa jam bocah berkacamata itu duduk di atas bantu besar di pinggir kali, menatap aliran air yang tenang dengan ikan-ikan kecil sebagai pelengkap pemandangan.

Meskipun tadinya pamit hendak ke sekolah, nyatanya Andi Cahya Siswoyo tidak punya cukup nyali untuk bertemu dengan teman-teman sekolahnya. Dia paham betul kalau berita ditangkapnya sang ayah telah menyebar, menjadi bahan olok-olokan dari semua orang, tidak terkecuali guru dan teman-temannya di sekolah.

Apa yang menimpa ibunya semalam bukan hanya bukti betapa tidak kondusifnya keluarga mereka, melainkan juga wujud kegagalan Andi sebagai anak lelaki tertua, setidaknya begitulah yang ada di kepala bocah empat belas tahun itu sekarang. Kalau saja dia lebih berani, mungkin ibu tercintanya tak perlu masuk ruang operasi. Pun setiap kali melihat wajah Julian, hatinya sakit bukan main. Rasa bersalah Andi menyebar ke setiap sendi di tubuhnya.

“Ndi?”

Panggilan tersebut membuat empunya nama menoleh cepat, ke arah jalanan besar di belakangnya. “Mas?” Dia buru-buru berdiri saat melihat Leon berada di atas, melambaikan tangan dan menuruni tangga tanah itu dengan cepat. “Aku baru tahu kalau gedung SMPN 13 pindah ke sini.”

Andi tersenyum malu. “Mas kok ada di sini? Pulang sama Mbak Raina ya?” Akan tetapi, sebelum Leon menjawab, Andi lebih dulu melanjutkan, “Mas pulang saja, aku akan balik sendiri nanti.”

“Siapa yang mau mengajakmu pulang?” Leon malah berjongkok, mengambil kerikil di tanah untuk kemudian dilemparkan ke permukaan air sungai, menciptakan riak.

Andy menyatukan alis, bingung. Terlebih saat Leon malah naik ke atas batu yang tadinya dia duduki. “Terus? Mas ngapain di sini?”

“Nggak ngapa-ngapain. Ini kan tempat umum, Ndi. Siapa saja boleh ke sini.”

“Iya sih,” gumam Andi. “Tapi tetap saja, Mas ke sini karena disuruh Mbak Raina nyariin aku, kan?” Dia ikut duduk, mengisi batu lain yang letaknya lebih rendah dari posisi batu yang diduduki Leon.

“Mbakmu khawatir adiknya nggak kunjung pulang, takut digondol pek-pekan.”

“Mana ada pek-pekan bawa anak sebesar aku?” kilah Andi dengan tawa kecil di bibirnya.

“Ya siapa tahu? Namanya juga penculik.” Leon mengulat sebentar, meregangkan otot punggung dan lehernya. “Aku tahu ini nggak mudah untukmu, Ndi. Hanya saja, kamu nggak sendirian.” Dia menoleh pada calon adik iparnya itu, menatap wajah lesu Andi.

Andi sendiri terdiam, lalu menunduk. “Justru karena aku tahu aku nggak sendirian, makanya aku takut.” Dia menarik napas panjang, menahannya sebentar sebelum akhirnya menghelanya perlahan lewat mulut. Matanya memerah. “Aku nggak mau jadi pengecut kayak Bapak. Aku takut jadi orang kayak Bapak.”

“Kamu bukan bapakmu, Ndi.”

“Darah nggak bisa bohong, Mas.”

“Siapa yang ngomong begitu?”

“Orang-orang,” jawab Andi dengan suara bergetar. “Anak kriminal akan mewarisi dosa kriminal. Aku nggak mau menyakiti ibu dan saudara-saudaraku. Aku sayang mereka, tapi saat mereka butuh aku –”

“Andi!” sela Leon. “Kalau memang kamu sayang dengan mereka, jangan begini.” Dia turun untuk menepuk bahu bocah itu. “Di dunia ini nggak ada yang namanya dosa turunan. Allah tidak menilai keturunan siapa kamu, Ndi, melainkan menilai siapa dirimu dan bagaimana perbuatanmu.

“Jika Allah hanya menilai manusia berdasarkan leluhurnya, nggak mungkin Nabi Ibrahim jadi nabi, begitupun sebaliknya, kalau memang orang jahat hanya lahir dari orang tua yang jahat, nggak mungkin Nabi Nuh punya anak durhaka.”

Namun, ucapan Leon justru dijawab kekehan tawa oleh Andi. “Mas kayak Pak Ustaz saja.”

“Lho, jangan salah. Gini-gini Mas dulunya lulusan madrasah.”

“Alah! Masa?”

Leon ikut tertawa, lalu merangkul pundak Andi. “Ya sudah, sekarang kita pulang ya? Mbakmu sudah bikin makanan yang sangat enak. Habis itu kita ke rumah sakit buat nengokin Ibu.”

“Ibu memang mau ketemu aku?”

“Kenapa tidak? Kamu kan anaknya. Di saat seperti ini, yang Ibu butuhkan selain pengobatan adalah dukungan kalian.”

*_*

“Cowok lo boleh juga.”

Perkataan Randy sontak membuat Raina yang sedang menyisir rambut di depan cermin kecil, lebih tepatnya pecahan kaca sebesar telapak tangan yang ditempel di dinding menggunakan isolasi, menoleh ke sumber suara. Dan di sanalah Randy berdiri, di antara ruang utama dan kamar tidur bersama yang tidak punya pintu dan hanya ditutup ala kadarnya dengan kelambu.

“Jangan macam-macam, dia punya gue.”

Kening Randy berkerut. “Maksud lo? Iya, gue tahu. Ini gue hanya memuji, nggak ada maksud apa-apa. Playboy-playboy begini gue hanya suka cewek ya.”

“Ya siapa tahu, lo kan siapa saja diembat.”

“Gue nggak seburuk itu ya!” Randy yang tak terima memeloti gadis itu. “Gue hanya suka cewek, sekali lagi gue tekankan. Itu pun nggak semua cewek gue suka.”

“Iya …, iya ….” Raina menyipitkan pandangan, mencoba menilik pantulan dirinya yang tak begitu jelas di cermin mungil tersebut. “Jangan berisik! Malu kalau didengar orang, nanti gue disangka gila.” Setelah merasa penampilannya cukup rapi, Raina segera meletakkan sisir hijau tua itu kembali ke paku yang tertancap di dinding. “Omong-omong, makasih pujiannya. Leon memang baik banget, makanya gue merasa sangat beruntung punya dia. Terlebih di saat dunia dipenuhi cowok-cowok brengsek kayak –”

“Mulai! Mulai! Iya, gue memang brengsek.”

“Siapa yang ngomongin lo!”

“Lha itu tadi, lo mau bilang kayak siapa kalau bukan gue?”

“Makanya dengerin dulu kalau orang bicara! Jangan ge-er duluan!” Raina melipat bibir, tak senang. “Memangnya cowok brengsek di dunia ini cuma lo doang?” katanya kembali membuat Randy mendelik. “Lo mungkin pernah dengar perkataan orang yang bilang kalau jodoh seorang perempuan itu cerminan bapaknya.”

Randy terdiam, menyaksikan gadis di hadapannya menatap kosong ke udara, lalu duduk di pinggiran kasur tipis yang lebih mirip karpet bekas.

“Dari dulu gue takut banget kalau seandainya bakal dapat pasangan kayak Bokap.” Raina memandang Randy. “Gue tahu kalau omongan kayak gini nggak pantas karena gimanapun juga dia orang tua gue –”

“Orang tua kalau nggak kasih cinta ke anaknya ya bukan orang tua namanya, Rain.”

Raina tersenyum kecut. “Itu kan menurut lo. Menurut masyarakat dan biologis? Dia bokap gue. Bokap kandung gue.”

“Hanya karena ada darahnya di tubuh lo bukan berarti lo berhutang ke dia!” tukas Randy dengan kesal. “Lagian, lo kebanyakan nonton tiktok sih. Nggak ada ceritanya dosa orang tua diturunkan ke anak. Masa iya Tuhan tega banget ke manusia? Dia sudah kasih lo bapak yang buruk, eh masa iya bakal kasih pasangan jahat juga?”

Meskipun bukan orang religius yang rajin ke gereja, Randy sedikit banyak tahu jika Tuhan dipenuhi kasih sayang, setidaknya begitulah yang selalu dia dapatkan di Sekolah Minggu dulu.

Lagi pula, kehidupan Raina dan Rindu sudah terlalu kelam.

Randy tidak bisa membayangkan bagaimana sahabat masa kecilnya bisa menikahi pria seperti Siswoyo. Pria itu bahkan tidak merasa bersalah setelah hampir membunuh istrinya sendiri.

“Kenapa dia tidak mati saja?” Itulah yang dikatakan oleh Siswoyo saat Raina mengunjunginya di malam harinya.

Membuat Raina tak bisa membendung kekecewaan. Kalau saja tak ada Leon di sampingnya, mungkin gadis itu sudah tumbang. “Bapak sadar apa yang baru saja Bapak katakan? Ibu itu istri Bapak lho. Ibu dari anak-anak Bapak.”

“Nggak usah ditegaskan gue juga sudah tahu.”

“Terus kenapa Bapak tega melakukan semua itu?”

“Lo mau tahu kenapa? Iya?” Siswoyo menatap tajam putri sulungnya, dengan napas memburu dan suara pelan dia berkata, “Kalau saja lo nggak ada di dunia mungkin semuanya akan lebih baik. Gue menyesal membiarkan Rindu melahirkan anak durhaka kayak begini, yang hanya bisa nyalahin orang tua.”

“HEH? NGGAK SALAH?” Randy yang sejak tadi juga menyaksikan pemandangan itu sontak berdiri. “Wah, kacau ini orang! Sorry ya, Rain, tapi kesabaran gue sudah habis. Untung gue lagi kayak begini, kalau nggak sudah gue buat bonyok ini orang.”

“Pak –”

“Diam lo!” Bentakan Siswoyo seketika membuat mulut Leon kembali bungkam. “Gue nggak ngajak lo ngomong! Jangan suka ikut campur urusan keluarga orang! Lagian, lo belum jadi lakinya, Raina. Nggak usah lancang. Paham?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Novel Andre Jatmiko
9503      2079     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Antara Depok dan Jatinangor
330      220     2     
Romance
"Kan waktu SMP aku pernah cerita kalau aku mau jadi PNS," katanya memulai. "Iya. Terus?" tanya Maria. Kevin menyodorkan iphone-nya ke arah Maria. "Nih baca," katanya. Kementrian Dalam Negeri Institut Pemerintahan Dalam Negeri Maria terperangah beberapa detik. Sejak kapan Kevin mendaftar ke IPDN? PrajaIPDN!Kevin Ă— MahasiswiUI!Maria
Lantunan Ayat Cinta Azra
7391      1393     3     
Romance
Lantunan Ayat Cinta Azra adalah kisah perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mung...
Wilted Flower
288      216     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Yu & Way
133      109     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Sebab Pria Tidak Berduka
108      92     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Segitiga Sama Kaki
587      414     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Premium
Adopted
2318      1080     1     
Romance
Yogi Ananda dan Damar Raditya dua pemuda yang terlihat sempurna dan mempunyai keluarga yang utuh dan bahagia. Mereka bertemu pertama kali di SMA dengan status sebagai kakak dan adik kelas. Terlahir dengan wajah tampan, dikaruniai otak cerdas, memiliki perangai baik sehingga banyak orang menyukai mereka. Walau berasal dari orang tua kalangan kelas menengah tidak menghentikan langkah mereka untuk m...
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Wabi Sabi
95      74     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.