“Gue balik duluan ya?”
Raina mengangguk. “Oh iya, untuk nanti sore Kakak nggak usah ke sini.”
Dion mengurungkan niatnya menyalakan mesin mobil, melongok ke luar jendela supaya bisa lebih jelas melihat gadis yang kini berdiri di depan gerbang kayu itu. “Memangnya lo nggak ke rumah sakit lagi?”
“Gampang. Kan ada kendaraan umum.”
Untuk beberapa detik Dion terdiam, menatap raut wajah lelah Raina dengan iba tetapi segera menghentikan aksinya sebelum gadis itu tersinggung. Pun matahari sudah tinggi dan dia harus segera kembali ke rumah Randy. Terlebih karena semalam dia pergi tanpa pamit pada Mardian.
Sementara itu, Raina terlebih dahulu memastikan mobil kuning mencolok itu tidak terlihat, lenyap di belokan jalan sebelum akhirnya membuka gerbang kayu setinggi dua meter di depannya. Gerbang yang menjadi saksi bisu dari tragedi semalam, lengkap dengan noda merah berbentuk tangan yang langsung dia kenali sebagai cap tangan adik perempuannya. Akan tetapi, tepat sebelum Raina mendorong pintu seseorang memanggil namanya dari belakang, yang saat dia toleh ternyata merupakan tetangga sebelah rumah.
“Bu Ginuk?”
Wanita gemuk itu menepuk bahu Raina. “Ya Allah, Rena!” Sejak dulu tetangganya yang satu ini memang tak pernah bisa menyebut namanya dengan benar. “Kemarin sore ibumu dibawa ke rumah sakit, Nduk! Perutnya berdarah-darah! Bapakmu dibawa polisi.”
“Iya, Bu. Ini saya baru pulang dari rumah sakit.”
“Oh, jadi kamu sudah tahu?” Bu Ginuk agaknya terkejut, lalu segera mendekatkan badannya kepada Raina, dengan agak berbisik dia berkata, “Barusan ada polisi datang. Dia bilang mau ketemu sama keluargamu. Tapi, karena nggak ada orang di rumah, akhirnya mereka minta Bu Tuti ke kantor polisi nanti sore. Bu Ginuk pikir uti-mu yang bakal balik. Karena ada kamu, lebih baik kamu saja yang ke sana.”
“Terima kasih infonya, Bu. Saya masuk dulu ya?”
“Iya, iya! Bu Ginuk juga mau ke warung dulu.”
Sebagai keluarga yang selalu menjadi belas kasih orang lain, tragedi malam ini sudah pasti membuat mereka semakin dijadikan bahan bersyukur oleh para tetangga. Bukannya Raina tidak senang punya tetangga yang suka menolong, tetapi setelah usianya dewasa, Raina merasa semua itu justru seolah menjadikannya bahan olok-olokan.
Raina tidak marah pada tetangganya, justrU sebaliknya dia marah pada Siswoyo. Bapaknya itu seolah tidak pernah lelah menyiksa mereka, mulai dari kemiskinan, kekerasan dan kini tindakan kriminal. Memang, Siswoyo sudah sering keluar masuk penjara sejak dulu, hanya saja pencurian dan percobaan pembunuhan adalah dua masalah berbeda. Ditambah, nyawa orang yang hampir dicabut oleh pria itu adalah istrinya sekaligus ibu dari anak-anaknya.
Sebagai saksi sekaligus korban KDRT, Raina tahu persis seberapa jahat ayahnya. Namun sayangnya, dia tidak pernah berpikir kalau Siswoyo benar-benar tega menghunuskan pisau ke tubuh kurus Rindu. Yang mana tempat kejadian perkaranya belum dibersihkan, menampilkan kubangan cairan merah di tengah ruang utama rumah, lengkap dengan sisa-sisa makanan yang berserakan di lantai.
Tanpa banyak bicara, Raina melepaskan jaket dan menggantungnya di belakang pintu. Dia menggulung lengan baju tidur yang melekat di badannya, mengambil sapu, air dalam ember dan mulai membersihkannya.
Meskipun Raina sudah sering membersihkan ceceran darah manusia saat bekerja di rumah sakit, hanya saja membereskan bekas darah ibunya adalah perkara berbeda.
Raina berhenti mengenap, lalu menoleh ke arah pintu utama rumah tempat garis polisi terpasang. Tanpa sadar air matanya luruh membasahi pipi. Raina buru-buru mengelapnya, tetapi tak bisa. Air matanya terus mengalir, seakan telah terlalu penuh.
Raina menjatuhkan bokongnya ke lantai, melipat kedua lutut dan tersedu-sedu. Kenapa, Tuhan? Kenapa semua ini harus terjadi?
“Rain? Raina?” Suara neneknya terdengar dari dalam kamar belakang, diiringi erangan sang kakek. “Itu kamu, Rain?”
“Iya, Nek!” Raina bergegas menghampiri kedua lansia yang terbaring bersebelahan di atas tempat tidur, mereka tampak begitu lemas, sementara di tengah-tengahnya terlihat Julian terlelap dalam posisi meringkuk. “Iyan?”
“Hsstt!” Nur melempelkan telunjuk ke bibir, meminta cucu sulungnya tidak berisik. “Biarkan. Dia baru saja bisa tidur,” jelasnya sambil menepuk-nepuk punggung si bungsu lembut. “Ibumu bagaimana?”
Raina menghela napas panjang, lalu meraih kursi plastik di samping pintu untuk dia duduki. “Allhamdulillah Ibu sudah ditangani, tapi memang belum sadarkan diri.”
“Ya Allah,” ratap Nur. “Maafkan Nenek ya, Nduk.”
Raina meraih tangan keriput Nur. “Ini bukan salah Nenek.”
“Kalau saja Nenek bisa mendidik bapakmu lebih baik, hal seperti ini mungkin bisa dihindari.” Nur menunduk, membiarkan tangisnya jatuh. “Ibumu orang baik, Rain. Dia bukan hanya istri dan ibu yang bertanggung jawab, tetapi juga anak dan menantu yang sangat berbakti.
“Kami beruntung punya menantu seperti Rindu, sayangnya malang nasibnya menjadi menantu kami. Harusnya, dulu Nenek bisa melarang Sis menikahinya.”
Raina menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nenek nggak boleh ngomong begitu. Bapak memang anak Nenek, tapi Bapak itu bukan anak-anak lagi. Sebagai pria dewasa Bapak harusnya tahu mana yang benar dan mana yang salah.” Ucapan Raina justru kian menyesakkan dada Nur. Setelah keduanya berbagi tangis sekitar sepuluh menit, Raina akhirnya bertanya, “Nenek sudah makan?”
“Belum. Andi juga belum makan apa-apa sejak semalam, tapi dia nekat berangkat ke sekolah. Kasihan adikmu, Rain. Perutnya pasti kelaparan. Terlebih, Nenek pun tak punya uang untuk memberinya uang saku.”
Kondisi rumah terlalu mengerikan, Raina menduga adiknya itu pergi ke sekolah bukan karena tak mau ketinggalan pelajaran, melainkan hanya mencoba melarikan diri.
“Nek, Raina buatkan makanan dulu ya?” pamit gadis itu sebelum membuat sarapan yang sekaligus makan siang. Hanya ada seliter beras di sana, Raina pun memasaknya menggunakan santan dan sedikit garam, menjadikannya bubur untuk keluarganya.
Namun, tepat saat hendak memasukkan santan ke dalam panci, Raina dikejutkan oleh sosok yang berdiri di belakang tembok sembari memerhatikannya diam-diam.
“Lo nggak ikut Kak Dion balik?”
Pertanyaan itu membuat Randy terkejut, tetapi kemudian muncul. “Gue khawatir sama lo.”
“Gue nggak apa-apa,” ujar Raina. “Ya beginilah kondisi keluarga gue. Miris.” Dia tertawa kecil. “Lo harus bersyukur karena masih punya kehidupan yang lebih baik.”
“Nggak bisa!”
“Maksudnya?”
“Gue nggak bisa bersyukur di tengah penampakan kisah tragis ini,” jelas Randy. “Apalagi yang mengalami adalah teman gue sendiri.”
“Lo menganggap gue teman?”
Randy mengangguk. “Bukan hanya lo, tapi juga nyokap lo.”
Senyuman Raina seketika menghilang. “Masih kekeh saja ini orang.”
“Lo masih nggak percaya kalau nyokap lo itu teman sekolah gue?”
Bukan hanya karena kehidupan keduanya yang teramat sangat berbeda, Rindu dan Randy juga beda generasi. “Jelas-jelas nyokap gue lima tahun lebih tua dari lo. Bagaimana mungkin kalian seangkatan?”
“Kami seumuran, Raina!” Randy menekan setiap kata dengan jelas. “Nyokap lo itu nggak lahir tahun 84. Dia memang lebih tua dari gue, tapi itu hanya sebulan. Dia lahir tahun 88.”
Raina bergeming, fokus mengaduk masakan di atas kompor agar tidak gosong.
“Kalau nggak percaya, ayo kita cek buktinya ke SMP 13. Di sana pasti ada nama nyokap lo. Dia lulus di tahun yang sama dengan gue alias di tahun 2003, dan bukan tahun 1998.
“Dengarin gue, Rain! Nyokap lo itu dulunya pintar banget. Dia bahkan dapat beasiswa untuk lanjut di SMA 1 yang merupakan sekolah unggulan. Makanya, gue nggak benar-benar kaget waktu tahu dia ..., apalagi ....” Ucapan Randy terhenti saat Raina menatapnya. “Lo yakin kalau Rindu itu nyokap kandung lo?”
“Maksud lo?”
“Umur lo sekarang berapa?”
“Dua puluh.”
“Lahir tahun 2004?”
“Iya. Kenapa?”
Randy terkekeh. “Ya kali dia hamil di usia 15 tahun? Lo itu pasti dibohongi. Dia bukan nyokap lo, Rain. Atau seenggaknya, dia bukan nyokap kandung lo.”
“Gila lo!” gumam Raina. “Kalau nggak tahu apa-apa, nggak usah ngomong! Daripada ngawur!” Dia mengambil dua mangkuk dari atas rak besi di dekat pintu, lalu mengambilkan beberapa centong bubur untuk nenek dan kakeknya.
*_*
Tuti menatap anak perempuannya yang kini terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan penuh penyesalan. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kanan Rindu yang kurus, meremas dan sesekali menciumnya. “Maafkan Ibu ya, Rin. Harusnya Ibu nggak paksa kamu menikah dulu.”
Setelah bertahun-tahun berlalu, Tuti merasa tembok tinggi di dadanya roboh. Dia bisa melihat dengan jelas rasa sakit yang dirasakan oleh anaknya. Bahkan ingatan mengenai hari itu kembali berputar di kepalanya.
Rindu yang saat itu masih belia menangis, menatap Tuti penuh penuh permohonan. “Aku nggak mau menikah, Bu.”
“Terus maumu apa?” Tuti menutup rambut keriting anaknya dengan selendang. “Kamu sudah nggak punya pilihan, Rin. Masih mending ada yang mau melamarmu, kalau tidak? Apa yang harus Ibu katakan ke orang-orang saat mereka bertanya alasanmu berhenti dari sekolah?”
“Tapi aku nggak kenal dengan lelaki itu.”
Tuti mengusap rambut panjang anaknya lembut. “Semua perempuan dulu menikah tanpa mengenal siapa yang akan dinikahi, tapi lihat! Berapa banyak dari mereka yang berhasil?
“Lagi pula, tugas perempuan hanyalah menjaga pernikahan. Selama lelaki itu menginginkanmu, semua urusan beres. Kau hanya perlu mencari pria yang mencintaimu. Dan Siswoyo? Dia sangat suka padamu, Rin.”
Lamunan Tuti buyar saat pintu ruang perawatan dibuka. Nasya, cucunya, masuk membawa dua sebungkus makanan.
“Nenek makan dulu ya? Ini ada nasi pecel dibelikan Kak Dion, temannya Kak Raina.”
“Kamu sudah makan?” Tuti menyeka air mata sebelum menerimanya.
Nasya mengangguk. “Sudah, tadi makan sama Kak Dion dan Kak Raina.”
“Di mana kakakmu sekarang?”
“Pulang. Nanti ke sini lagi untuk bawakan kita baju ganti.”
*_*
“Kamu sebenarnya ke sini serius mau belajar atau tidak?” Rindu yang masih remaja menatap pria muda di hadapannya dengan bibir mengembang. “Kalau hanya mau main-main, jangan di perpustakaan tapi di lapangan.”
“Siapa yang bilang aku main-main?” jawab Randy tak mau kalah. “Hei!” Dia menoel pundak Susan, teman Rindu yang duduk tepat di sebelahnya. “Ada tampangku kelihatan main-main?”
Susan menggeleng, seolah setuju bersekongkol dengan pria itu. “Jangan begitu lah, Rin. Ini kan tempat umum. Sudah ya, aku duluan.”
“Eh? Susan, mau ke mana?”
“Ke ruang guru!” Susan agak berlari, meninggalkannya.
Rindu sendiri akhirnya menyerah. Dia menutup buku matematikanya sebelum kembali bertanya pada pria muda di hadapannya. “Langsung saja, ada apa sebenarnya?”
“Tidak ada!” Randy yang sejak tadi berdiri akhirnya duduk di bangku tepat seberang meja. “Aku hanya mau memastikan apakah kamu benar-benar akan mendaftar ke SMA 1?”
“Ya. Kenapa tidak?”
Randy meletakkan kedua tangannya ke atas meja, lalu disusul kepalanya. “Nggak mau coba ke SMA 3 atau 2 saja?”
“Kenapa aku harus menurunkan standar hanya karena kamu takut tidak diterima?” goda Rindu. “Kan aku sudah bilang, kamu harus lebih rajin belajar kalau memang mau satu sekolah denganku. Jangan buang-buang waktumu untuk hal yang tidak perlu.”
“Menyanyi itu hobiku, Rindu, sama seperti kamu yang suka membaca puisi.”
“Aku tidak melarangmu menyanyi,” jelas Rindu. “Hanya saja, belajar itu soalan lain.”
“Oh tidak!” Randy menepuk bahunya sendiri putus asa. “Jangan paksa aku mencari mawar biru seperti dalam puisi itu.”
“Randy, belajar itu hal pasti. Kamu tidak akan dipermalukan orang hanya karena belajar. Ini tidak sama seperti pria yang harus mencari mawar biru dalam puisi Rudyard Kipling.”
Arwah Randy tersenyum mengenang masa remajanya. Masa-masa itu adalah saat terindah yang pernah dia lewati dalam hidup. Karena ingat Randy, di waktu terakhir mereka bertemu, Rindu sudah diterima masuk ke sekolah tujuannya. Bahkan Randy sempat memberinya hadiah untuk itu. Ucapan selamat sekaligus selamat tinggal.
“Kita mungkin nggak akan bertemu kembali, Rin.”
Rindu tampak sangat bersedih saat mendengar pernyataan Randy pada saat itu. “Jangan bilang begitu. Kita pasti akan bertemu lagi saat kamu pulang ke rumah ibumu.”
“Tidak, Rin. Aku tidak akan ke sini lagi. Papaku tidak suka aku bertemu Mama, begitu juga Mama tidak menginginkanku.”
BRAK!
Suara pintu kayu yang dibuka kasar membuat Randy mau tak mau mengakhiri lamunannya. Dia menoleh ke arah yang dimaksud, disusul Raina yang berlari dari dalam kamar.
Seorang pria berjaket hitam muncul dari balik pintu, menatap Raina dengan napas terengah-engah. “Rain?”
“Leon?”
Tanpa banyak bicara, Leon yang baru datang langsung berlari untuk mendekap tubuh mungil Raina. Yang alih-alih bikin tenang, justru membuat air mata gadis itu turun bak derasnya hujan.