Loading...
Logo TinLit
Read Story - 40 Hari Terakhir
MENU
About Us  

 

Setelah mematikan sambungan telepon, Raina menyambar tas dan jaketnya keluar dari kamar. Lalu, mengetuk pintu kamar Maria untuk berpamitan. Tidak lupa dia menjelaskan bahwa ibunya baru saja mengalami kecelakaan dan dilarikan ke rumah sakit umum daerah, yang kebetulan masih satu kabupaten dengan tempat mereka berada sekarang.

“Kalau begitu jangan pergi sendiri!” kata Maria tak kalah panik. “Sebentar ya! Gue bangunkan Kak Dion dulu. Biar dianterin.”

Raina yang merasa tak enak hati justru menolak. “Ini sudah terlalu malam. Kak Dion pasti capek. Biarkan dia tidur. Gue bisa naik kendaraan umum kok.”

“Justru karena ini sudah malam, Raina! Ingat, ini bukan Jakarta. Meskipun lo akamsi, tetap saja jarak dari rumah ini ke jalan besar saja sekitar dua kilometer. Lo mau naik apa ke sana? Jalan kaki? Kalau lo dibegal, bagaimana? Sudah! Tunggu sebentar!” Maria mengayun-ayunkan telunjuk ke muka Raina, menandakan bahwa yang baru saja dia katakan bukanlah kompromi melainkan perintah.

“Sudahlah, Rain!” Randy yang berdiri di belakangnya ikut memberi pendapat. “Anggap saja ini fasilitas karena lo kerja sama gue. Lagian, kalau sampai lo beneran kena begal, terus kenapa-kenapa, nasib gue bagaimana?”

Tidak seperti biasanya, Raina memilih tak berdebat dan hanya menghela napas panjang. Dia sama sekali tidak punya energi untuk menanggapi omong kosong Randy. Dan begitulah akhirnya dia bisa berada di dalam mobil, duduk tepat di samping Dion yang menyetir di kegelapan malam. Tentu, tidak lupa dengan arwah Randy di jok belakang. Sementara Maria sendiri memutuskan tinggal, sekalian menjaga Mardian, meskipun alasan sebenarnya ialah agar mereka punya alasan untuk datang ke sana lagi besok.

Sepanjang perjalanan Raina tidak bisa menyembunyikan kecemasan dari raut mukanya. Terlebih saat ditelepon tadi penjelasan Nasya tidak begitu jelas, terlalu banyak isak tangis hingga ucapannya terjeda-jeda.

Namun, begitu mereka sampai di rumah sakit yang dimaksud, alangkah kagetnya Raina saat mendapati nenek dan adik perempuannya tengah berbincang bersama dua orang pria berseragam polisi di depan unit gawat darurat.

“Sya?”

Yang dipanggil menoleh. “Kakak!” Lalu, Nasya menghambur ke pelukan sang kakak. Masih dengan suara yang terisak sebagaimana di telepon, Nasya mengadu. “Ibu, Kak! Ibu!”

“Cup! Cup! Jangan nangis ya. Ibu sedang diobati. Ibu pasti sembuh,” kata Raina bukan hanya untuk menghibur sang adik tetapi juga untuk meyakinkan dirinya sendiri. Detik berikutnya, dia menoleh pada Tuti yang hanya berjarak dua meter dari posisinya sekarang. Akan tetapi, wanita tua itu justru memalingkan muka seolah menghindari tatapan matanya. “Uti, ini kenapa sebenarnya? Kenapa Ibu bisa jadi seperti ini?”

Alih-alih Tuti, yang memberi respon justru salah satu dari dua polisi. Lebih tepatnya, pria berbadan besar dengan tahi lalat di ujung hidung. “Selamat malam, Mbak,” sapanya dengan tangan terulur. “Saya Praja dan ini teman saya, Gatot. Kami dari kepolisian mendapatkan laporan bahwa ibu Anda mengalami penusukan dan pelakunya ialah saudara Siswoyo.”

“Bapak? Bapak saya?”

Praja mengangguk dengan raut muka mengiba. “Benar sekali. Tetapi Anda tenang saja karena saat ini pelaku sudah diamankan di kantor polisi.”

Namun, pernyataan polisi sama sekali tidak menenangkan hati Raina. Justru dia semakin dilanda kecemasan luar biasa, membayangkan betapa mencekamnya suasana di rumah saat kejadian berlangsung, serta nasib adik-adiknya yang menjadi saksi mata. Hingga tanpa sadar, air mata Raina kembali menetes. Dia mendekap tubuh Nasya erat, mencoba memberikan kekuatan pada gadis yang kini pakaiannya berlumuran darah ibu mereka itu.

Di sisi lain, Randy yang sejak tadi mengikuti Raina hanya bisa terdiam. Bukan hanya karena pemandangan yang dilihatnya teramat memilukan dan terlalu berat untuk dilewati anak seusia Raina dan Nasya, tetapi juga karena dia mengenal wanita tua yang dikatakan sebagai nenek Raina. Karena itu juga, tubuh transparan Randy seolah membantu. Bahkan Randy tidak bereaksi apa-apa saat Dion yang menyusul mereka menembus tubuhnya.

“Bagaimana, Rain?”

Belum sempat mulut Raina menjawab pertanyaan Dion, pintu IGD terbuka. Seorang dokter wanita paruh baya memanggilnya, “Dengan keluarga Ibu Rindu?”

“Saya anaknya, Dok!” Raina melepaskan pelukan Nasya dan bergegas mendekat. “Bagaimana kondisi ibu saya? Beliau tidak apa-apa, kan?”

Hanya saja, dari tatapan sang dokter saja Raina sudah tahu kalau yang akan dia dengar berikutnya bukanlah kabar bagus. “Luka Ibu Anda sangat serius. Untuk itulah, kami harus segera mengambil tindakan operasi.”

*_*

Raina dan Nasya saling menguatkan dengan menggenggam tangan masing-masing, sementara Tuti tidak berhenti mondar-mandir di depan pintu besi ruang operasi, menanti kabar baik dari dokter yang sedang berjuang menyelamatkan nyawa perempuan kesayangan mereka.

Di sisi lain, Dion dan Randy yang tak terlihat duduk berdampingan di kursi seberang, memperhatikan kepanikan keluarga itu dengan rasa iba. Mereka sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa akan ada dan bahkan melihat sendiri sebuah keluarga yang sedemikian mengerikan. Seorang ayah sekaligus suami menikam istrinya sendiri. Padahal selama ini mereka pikir hanya akan melihatnya di drama, atau paling mentok menontonnya di berita pagi.

Namun, khusus bagi Randy, yang lebih mengejutkan dari semua ini adalah Rindu.

Saat pertama kali melihat Tuti, Randy langsung mengenalinya sebagai mantan pekerja rumah tangga di kediaman keluarganya. Walau Tuti telah menua, akan tetapi Randy bisa mengenalinya, terlebih dengan dua tahi lalat di pipi sebelah kiri wanita itu. Terlalu khas untuk salah orang.

Malah, Randy ingat betul betapa cerewet wanita itu saat masih bekerja dulu. Dia selalu mengomel dan mengadukan Randy pada mamanya setiap kali tak mau menghabiskan makanan. “Mas harusnya bersyukur bisa makan enak. Di luar sana masih banyak orang yang jangankan makan ayam, bisa makan saja tidak.”

“Ya itu kan urusan mereka,” jawab Randy kecil. “Lagian kenapa aku harus bersyukur atas kelaparan orang lain? Bukankah jahat kalau hanya buat bersyukur saja kita harus mengingat kemalangan orang lain?”

“Pandai menjawab rupanya anak Mama.” Dari arah tangga, Mardian menyahut. Dia yang kala itu masih cukup muda tersenyum, menampilkan kecantikan alami dengan gaun pendek berwarna ungu. “Cepat habiskan makananmu. Ini sudah jam berapa?” Dia menunjuk jam yang melingkar di tangan kiri dengan telunjuk kanannya.

Randy memundurkan kursi makan, lalu menyambar tas sekolahnya yang ada di atas meja. “Kalau begitu aku pamit.” Seperti biasa dia mencium pipi kiri Mardian terlebih dahulu, sebelum akhirnya berlari menuju garasi tempat sepedanya di simpan.

“Kamu nggak mau bareng Papa?”

“Nggak usah, Ma!”

Sejujurnya, di masa itu Randy kurang senang kalau harus berangkat ke sekolah bersama sang ayah. Selain pulangnya harus berjalan kaki, dia juga akan kehilangan kesempatan menggoda para gadis. Seperti pagi itu, Randy sengaja menghentikan sepedanya di pinggir jalan, menunggu para gadis yang akan lewat.

Benar saja, tidak lama segerombolan remaja perempuan berseragam putih biru berduyun-duyun berjalan menuju ke arahnya. Mereka tampak saling berbincang sembari sesekali melemparkan canda tawa, membuat Randy yang menyaksikan pemandangan pagi nun indah itu ikut tersenyum, terlebih saat matanya beradu pandang dengan gadis berambut keriting di barisan belakang. Gadis yang sudah dia taksir sejak lama.

“Ditungguin nih ceritanya?” Celetukan dari salah seorang gadis membuat yang lainnya bersorak, menggoda kedua remaja yang dimabuk asmara itu.

Randy mengamini. “Mau aku bonceng?”

“Mau saja, Rin!”

“Kasihan lho. Dia sudah nungguin kamu.”

Ingatan itu memudar seperti kabut putih di depan mata Randy. Jika dugaannya benar, Rindu yang dia kenal adalah Rindu yang sama dengan ibu Raina, bukankah ini seperti kebetulan? Haruskah Randy bernostalgia dengan sahabat masa kecilnya? Yang anaknya kini menjadi indigo?

Randy terkekeh.

Di seberang, Raina yang menyadari sikap ganjil Randy menatapnya sinis. Dia berpikir bahwa pria itu sedang meledeknya, menertawakan keluarganya. Terlebih setelah apa yang terjadi di ruang administrasi. Lebih tepatnya, saat Raina diminta mengisi dokumen-dokumen yang diperlukan untuk penanganan sang ibu.

“KTP ibu saya ketinggalan di rumah, Sus!” jelas Raina pada petugas di balik meja. “Apakah boleh menyusul?”

“Kalau ada kami meminta soft copy-nya saja kok, Mbak. Mungkin bisa minta tolong keluarga di rumah untuk difotokan.”

Raina pun buru-buru mengirim pesan pada Andi, memintanya mencarikan kartu identitas sang ibu di lemari. Sembari menunggu, petugas pun meminta Raina mengisi apa yang sekiranya dia tahu supaya prosesnya bisa jadi lebih cepat, mengingat dalam beberapa jam ke depan Rindu akan segera menjalani tindakan.

“Nama lengkap?” Perempuan berkerudung cokelat itu bersiap dengan komputernya.

Raina menjawab, “Rindu Satya Wati.”

“Tanggal lahir?”

“9 September –”

“..., 1988.”

Raina seketika menoleh saat mendengar pria di sebelahnya menyahut, yang tentu membuat petugas di depannya kebingungan. “Mbak? Ini 9 September, tahun?”

“Oh, maaf,” ucap Raina. “Tahun 1984.”

Namun, kini justru Randy yang bingung. “Sejak kapan mak lo lahir tahun segitu?”

Tentu Raina hanya bisa kebingungan mendengar pertanyaan konyol pria di hadapannya. “Ya dari dulu lah,” jawabnya dalam hati. Yang sayangnya, tidak bisa langsung dia keluarkan mengingat ramainya orang di ruangan tersebut. Raina tentu tak mau dianggap gila.

*_*

Lampu di depan ruang operasi padam, tidak lama seorang dokter paruh baya dengan masker keluar dari balik pintu. 

“Bagaimana kondisi ibu saya, Dok?” Raina bertanya.

“Anak saya selamat, kan, Dok? Dia baik-baik saja, kan? Dia pasti akan sembuh, kan?” cecar Tuti.

Sang Dokter mengangguk, lalu melepaskan masker yang menutupi wajahnya. “Alhamdulillah operasi Bu Rindu berjalan lancar. Akan tetapi, karena kondisinya masih sangat lemah kami akan segera memindahkannya ke ruang perawatan.”

“Syukurlah!”

Bukan hanya ketiga wanita itu, Randy dan Dion pun juga secara otomatis mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

“Terima kasih ya, Dok!” ucap Raina. “Terima kasih banyak!” Lalu, berbalik untuk memeluk Nasya.

Tiada yang lebih menggembirakan bagi kedua gadis itu selain keselamatan ibundanya. Bahkan bila gunung emas dilemparkan di depan muka mereka sekalipun, tanpa adanya Rindu semua hanya akan sia-sia. Itulah kenapa saat mendengar kumandang azan subuh dari musala rumah sakit, Raina dan adiknya langsung berangkat menunaikan ibadah. Menyampaikan rasa terima kasih mereka kepada Tuhan.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
XIII-A
726      540     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
Di Paksa Nikah
791      424     0     
Romance
Jafis. Sang Putra Mahkota royal family Leonando. Paras tampan nan rupawan. Pebisnis muda terkemuka. Incaran emak-emak sosialita untuk menjadi menantunya. Hingga jutaan kaum hawa mendambakannya untuk menjadi pendamping hidup. Mereka akan menggoda saat ada kesempatan. Sayangnya. Sang putra mahkota berdarah dingin. Mulut bak belati. Setiap ada keinginan harus segera dituruti. Tak bisa tunggu at...
Kita
693      454     1     
Romance
Tentang aku dan kau yang tak akan pernah menjadi 'kita.' Tentang aku dan kau yang tak ingin aku 'kita-kan.' Dan tentang aku dan kau yang kucoba untuk aku 'kita-kan.'
Life
315      219     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu
Hey, Limy!
1466      675     3     
Humor
Pertama, hidupku luar biasa, punya dua kakak ajaib. kedua, hidupku cukup istimewa, walau kadang dicuekin kembaran sendiri. ketiga, orang bilang, aku hidup bahagia. Iya itu kata orang. Mereka gak pernah tahu kalau hidupku gak semulus pantat bayi. Gak semudah nyir-nyiran gibah sana-sini. "Hey, Limy!" Mereka memanggilku Limy. Kalau lagi butuh doang.
Menyulam Kenangan Dirumah Lama
275      143     0     
Inspirational
Sinopsis Di sebuah rumah tua yang nyaris dilupakan, kenangan-kenangan bersarang seperti debu di sudut-sudut ruang. Dina, seorang perempuan berusia tiga puluh lima tahun, kembali ke rumah masa kecilnya setelah kepergian sang ibu. Di tengah suara lantai kayu yang berderit dan aroma kayu lapuk yang khas, Dina perlahan membuka kembali kotak-kotak memori yang selama ini dia kunci rapat. Melalui benda...
Aku Ibu Bipolar
46      39     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Je te Vois
619      411     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Lost & Found Club
363      302     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...