Yang paling menyedihkan dari pertemuan ini ialah Randy tidak bisa menghambur untuk menumpahkan kerinduan, padahal dia sudah sangat menantikan saat ini sekian lama. Lebih buruk lagi, sang ibu bahkan tidak menyadari keberadaannya.
“Ada apa ini?”
Secara tiba-tiba ingatan Randy seolah ditarik ke masa lalu, lebih tepatnya di hari perpisahan kedua orang tuanya. Dia baru pulang sekolah saat itu, masih mengenakan baju putih biru dengan tas ransel di punggung. Randy melihat ayahnya keluar dari rumah sembari menyeret beberapa koper dan memasukkannya ke dalam mobil.
“Papa mau ke mana? Jangan pergi, Pa!” Randy membujuk Bagaskara, lalu menoleh kembali pada Mardian yang sedari tadi diam di ambang pintu, menatap kedua pria yang paling dicintainya tanpa memberi reaksi apa-apa. “Ma, tolong larang Papa pergi! Jangan biarkan Papa pergi, Ma!”
Namun, seperti yang dia ingat, Mardian Mawardi justru bungkam dan memalingkan pandangan ke arah lain.
“Mama!” Randy berlari menghampiri sang ibu, dia mengguncang tubuh kurus Mardian sambil menangis. “Mama jangan diam saja! Mama kenapa? Ma?”
Randy ingat betul kalau detik berikutnya Bagaskara menarik tangannya seraya berkata, “Sudahlah, Nak! Semua sudah berakhir. Kami sepakat untuk mengakhiri pernikahan, dan kamu akan ikut Papa ke Jakarta.”
“Apa?” Pengakuan Bagaskara tentu tidak mudah untuk diterima, Randy hanya bisa melongo selama beberapa saat, mencoba mencerna semua itu sebelum akhirnya menggeleng. “Nggak! Papa dan Mama nggak bisa melakukan ini! Aku nggak mau ikut Papa!”
“Randy!” Bagaskara kembali mencoba menarik tangan bocah itu, yang tidak berhenti memberontak. “Kamu akan punya kehidupan yang lebih baik di sana. Kita akan punya keluarga yang lebih bahagia.”
“Nggak! Aku mau sama Mama!”
“CUKUP, RANDY!” Bentakan Mardian seketika membuat Randy terdiam. Dia bisa melihat ada begitu banyak kemarahan di mata ibunya, seolah-olah terdapat api besar yang siap membakar apa saja.
“Ma?”
“Dengar! Kamu harus pergi sekarang atau Mama tidak akan pernah menganggapmu anak lagi!”
“Tapi kenapa, Ma?”
“Karena? Kamu masih tanya kenapa?” Pertanyaan Mardian diikuti tamparan keras yang mendarat tepat di pipi kiri bocah itu. Sangat keras sampai-sampai Randy bisa merasakan pipinya terbakar. “Dasar bocah sialan! Pergi! Pergi! Aku tidak mau melihatmu lagi.”
“Sudah, Ma! Hentikan!” Bagaskara mencoba menghalau perempuan yang pada saat itu belum resmi dia ceraikan itu sekuat tenaga, lalu berteriak meminta Randy masuk ke dalam mobil. “Lari, Ran! Lari! Cepat!”
*_*
“Saya tidak menyangka kalau akan kedatangan tamu, jadi maaf kalau tidak punya apa-apa.” Dengan bersusah payah Mardian membawa nampan berisi seteko teh beraroma melati, dilengkapi tiga cangkir berwarna emas untuk tamunya yang kini duduk di sofa ruang tamu.
Raina yang menyadari betapa kesusahannya wanita tua itu buru-buru berdiri, menerima nampan untuk kemudian dia letakkan ke atas meja. “Tidak usah repot-repot, Bu. Kami lah yang harusnya minta maaf karena datang mendadak.”
“Tidak masalah, saya justru senang kalian berkunjung.” Mardian menghampiri sisi sofa yang kosong untuk diduduki. “Silakan dinikmati. Seadanya.”
Dion dan Maria kompak mengangguk, lalu meminum masing-masing segelas untuk menghangatkan badan. Setelah perjalanan sekian jam, bisa menikmati teh manis hangat adalah nikmat tak terelakkan.
Melihat minuman buatannya dinikmati oleh para tamu, Mardian tersenyum senang. Sudah lama dia tinggal sendirian, tanpa pernah ada yang mengunjungi, memang tiap dua hari sekali selalu ada tetangga yang datang untuk membersihkan rumah, tetapi itu sama sekali tidak berarti menyelamatkannya dari kesepian. Hanya kebun dan buku-buku lah yang menolong Mardian untuk menghabiskan waktu, selebihnya dia abaikan. Bahkan untuk sekadar menonton televisi saja dia sudah lama tidak lakukan, bukan apa, Mardian hanya tak ingin berlama-lama melihat wajah anak kandungnya. Bukan karena tak sayang, justru sebaliknya, Mardian malah teramat sangat merindukan Randy.
“Kalau boleh tahu untuk apa kalian datang ke sini?”
“Seperti yang saya katakan tadi, kami kemari untuk bertemu dengan Anda.”
“Kenapa? Apakah Randy yang meminta kalian datang?” Tidak perlu jawaban, diamnya para gadis dan pria di hadapannya sudah cukup. Lalu, dengan helaan napas panjang dia melanjutkan, “Kenapa dia tidak datang ke sini sendiri?”
“Eh –” Baru saja mulut Dion hendak meluncurkan kata-kata, Raina yang sejak tadi diam tiba-tiba menyela.
“Dia sedang sibuk. Ada syuting.” Yang langsung membuatnya ditatap tajam oleh Dion dan Maria. Akan tetapi, begitu Raina menunjuk sisi kosong di sebelahnya, mereka langsung mengerti.
Randylah yang memintanya berkata demikian. Lebih tepatnya, Randy terlalu takut, tidak tega kalau harus memberitahukan kondisinya yang sebenarnya pada sang Bunda. Dia tidak bisa membayangkan akan sehancur apa wanita tua ini bila mengetahui anak kandungnya yang sudah lama tidak ada kabar mendadak diberitakan koma?
“Benarkah?” Ada senyuman tipis di bibir Mardian. “Tapi kenapa?”
“Dia hanya ingin memastikan kondisi Anda baik-baik saja.” Kembali Raina yang nyerocos. “Dan dia juga meminta kami membawa Anda ke Jakarta, Bu.”
“Apa? Tunggu! Dia baik-baik saja, kan?”
“Tentu.”
“Lalu, kenapa tiba-tiba sekali?”
“Tidak kenapa-kenapa. Benarkan, Kak?” Raina menoleh pada Maria, yang segera dijawab anggukan kecil oleh wanita dua puluh sembilan tahun tersebut. “Jadi, bagaimana? Apakah Anda mau ikut bersama kami?”
*_*
Tentu saja Mardian tidak langsung memberikan jawaban, namun dia juga tidak menolak.
Mardian malah meminta ketiganya menginap di sana untuk malam itu. Sebab hari sudah sangat sore dan sangat tidak memungkinkan mereka bisa sampai di kota sebelum malam, ditambah kota terdekat terlalu kecil serta tidak memiliki banyak pilihan penginapan.
Raina mendapatkan kamar di lantai atas, sementara Dion dan Maria masing-masing menempati kamar tamu di bawah. Sebagai orang paling muda sudah pasti Raina tidak punya banyak pilihan, kedua orang dewasa itu seolah melemparnya. Bahkan Maria terang-terangan tidak mau sekamar dengan Raina, selain karena mereka kurang nyaman, Maria juga takut kalau-kalau Randy akan mengintip masuk ke dalam kamar untuk menemui gadis itu.
“Padahal gue nggak se-mata-keranjang-itu.”
“Mengingat rekam jejak lo selama ini, sangat wajar kalau Kak Maria nggak percaya.” Raina berkomentar di depan cermin, menyisir rambut keritingnya dengan sisir yang ada di meja rias di kamar tersebut. “Tapi apa nggak sebaiknya kita kasih tahu nyokap lo sekarang saja? Sekaget apa coba dia kalau baru tahu kondisi lo begitu saat di rumah sakit?”
“Ya mending dia tahu gue sakit pas di rumah sakitlah, Rain.”
“Kenapa begitu?”
Randy melangkah mendekati jendela kaca yang menghadap langsung ke arah taman belakang rumah. “Paling nggak kalau dia nangis di sana bisa meluk gue, kalau di sini?”
“Tahu dari mana lo kalau beliau bakalan nangis dengar kabar ini?” Dari nada bicaranya, kalimat Raina mengandung begitu banyak sindiran.
Randy mendengus pelan. “Lo benar, Rain. Nggak ada Ibu yang benci anaknya. Lo tahu, gue bisa melihat betapa senangnya beliau saat tahu gue nyariin dia. Harusnya, gue mencarinya sejak dulu.
“Paling nggak sebelum dia jadi setua ini. Maksud gue, usianya bahkan belum begitu tua, harusnya.”
“Ya begitulah, Ran. Kita kadang nggak tahu berapa banyak waktu yang sudah terbuang sia-sia. Jangankan lo yang sudah bertahun-tahun nggak ketemu, gue yang baru keluar dari rumah beberapa bulan lalu saja rasanya sudah kangen banget sama nyokap gue.”
“Entah kenapa sekarang gue takut, Rain.”
“Takut apa?”
Randy menunduk dalam, meremas jemarinya sendiri kuat-kuat. “Gue takut kalau bakal kehilangan nyokap. Dan mungkin saja apa yang lo bilang kemarin benar, bahwa kesempatan kedua ini diberikan oleh Tuhan supaya gue ..., ada terlalu banyak yang harus gue perbaiki.
“Gue nggak mau mati sebelum minta minta maaf ke beliau. Nyokap juga harus tahu betapa gue merindukannya selama ini. Gue sayang banget ke nyokap gue, Rain.”
“Iya. Gue percaya.” Raina berdiri, berjalan ke arah ranjang kayu di tengah ruangan. “Sudah dulu ya. Gue ngantuk. Mau istirahat.”
Namun, belum sempat Raina membaringkan tubuhnya di atas kasur, perhatiannya dialihkan oleh suara dering ponsel. Awalnya, dia mengira kalau Leon lah yang menelepon, tetapi ternyata dia salah karena yang tertulis di sana justru nama adiknya, Nasya, yang berarti berasal dari sang ibu.
“Halo? Assalamualaikum, Ibu.”
“Kak! Kak Rain!” Alih-alih suara Rindu, yang terdengar justru tangisan Andi. “Ibu, Kak. Ibu.”
“Ibu? Ibu kenapa, Ndi?”
“Ibu berdarah.”
*_*
Sebagai orang yang baru terkena serangan stroke, Parjan bisa dikatakan cukup beruntung karena paling tidak dia tidak mengalami kelumpuhan. Dia masih bisa berjalan, tentu dengan dibantu dan dtuntun oleh Rindu, begitu turun dari becak di halaman hingga masuk ke dalam rumah.
“Pelan-pelan, Pak!”
Sementara itu, ketiga anak Rindu yang telah menunggu tampak sangat gembira melihat kepulangan sang kakek. Selain karena itu artinya Parjan sudah sehat, anak-anak itu juga senang karena mereka tidak lagi perlu ditinggal. Kini, Rindu akan kembali seperti semula, bekerja dan berada di rumah untuk mengawasinya. Juga menjauhkan mereka dari kedua kakek dan neneknya yang lain.
“Nasya, tolong siapkan kamar Kakek ya?”
“Baik, Bu.”
“Dan Andi, tolong ambilkan tas yang Ibu taruh di depan, Sayang. Bawa masuk ya?”
“Iya, Bu.”
“Kalau aku ngapin, Bu?” tanya Julian polos. Mata bulat dan besarnya berbinar, membuat hati Rindu meleleh.
“Kamu mau bantu juga? Ya sudah, sana bantu Mas Andi.”
Nyatanya, seberat apa pun hidup yang Rindu jalani, begitu dia melihat tawa anak-anaknya semua lelah akan otomatis hilang. Karena merekalah satu-satunya harta yang dia punya. Dan apa pun akan dia lakukan untuk buah hatinya, termasuk dari suaminya sekalipun.
Omong-omong suami, Rindu sangat terkejut saat melihat Siswoyo sudah berada di ruang tamu, menonton televisi bersama Joko, lengkap dengan beberapa botol alkohol di atas meja.
“Mas Sis?”
Mendengar namanya dipanggil, Siswoyo menoleh lalu mengangkat sebelah tangannya. “Akhirnya pulang juga. Cepat buatkan makan siang, aku lapar.”
Tak mau ribut, Rindu langsung melanjutkan perjalanan ke kamar mertuanya. Membaringkan Parjan ke kasur, lalu pergi ke dapur untuk menyeduh mi. Hanya itu yang bisa dia masak, selain belum sempat ke pasar, Rindu juga tidak punya uang. Seluruh tabungannya habis untuk membayar biaya rumah sakit mertuanya.
Pun dia menambahkan beberapa ikat sawi yang ditanamnya sendiri di halaman belakang rumah supaya lima bungkus mi instan itu cukup untuk sekeluarga. Namun, sesuai dugaan, Siswoyo yang mengetahui menu makan malam mereka hanya mi rebus dan beberapa centong nasi langsung ngamuk.
“Apa-apaan ini? Suami pulang bukannya disambut malah dikasih makanan babi.”
“Ya Allah, Mas. Bisa nggak sih kamu bersyukur? Masih untung lho kita bisa makan.”
“Untung? Apanya yang untung?” Siswoyo menunjuk makanan di atas meja dengan muak. “Sekarang aku tanya, bagaimana bisa aku bersyukur kalau setiap pulang ke rumah makanannya selalu sama? Mi rebus lagi. Mi rebus lagi. Lama-lama ususku bisa keriting.”
“Mi buatan Ibu enak kok, Pak!” kata Julian yang langsung dibalas tatapan tajam oleh sang ayah.
“Diam kamu anak kecil!” bentak Siswoyo. “Kalau orang tua ngomong jangan melawan! Mau Bapak gampar?”
“Adik! Kita main petak umpet dulu ya?” Nasya yang juga berada di sana langsung menggendong Julian, lalu menggandeng tangan Andi untuk membawa keduanya pergi. Sebagai kakak, dia paham betul suasana akan menjadi semakin panas sebentar lagi. Karena sejauh ini, selama tujuh belas tahun dia hidup sebagai anak Siswoyo, belum pernah sehari saja bapaknya pulang tanpa membuat perang.
“Jangan pernah sentuh anak-anak atau –”
“Atau apa? Atau apa, Rin?” Siswoyo berang melihat keberanian Rindu. “Coba lanjutkan! Aku mau dengar!”
Rindu menunduk, mengalihkan pandangannya ke meja makan kecil yang baru saja ditinggalkan oleh anak-anaknya pedih. “Anak-anak nggak akan mi terus-terusan kalau kamu nggak nilep uang BPJS, Bapak!”
“Oh, jadi sekarang mulai perhitungan?”
“Bukan begitu, Mas Sis!”
“TERUS APA?”
“Aku hanya minta kamu sadar, Mas!” teriak Rindu. “Kalau apa yang kamu lakukan itu salah! Aku nggak pernah minta nafkah ke kamu, tapi paling nggak jangan tipu aku!”
“Lho? Nggak salah? Bukannya yang selama ini penipu itu kamu?” Siswoyo terkekeh, meledek. “Hamil sama siapa, nikahnya sama siapa. Untungnya itu anak pintar cari duit, jadinya aku nggak rugi-rugi banget.”
Mata Rindu seketika membulat mendengar ucapan suaminya. “Kamu minta uang ke Raina? Iya, Mas? Ya Allah, dia itu juga kesulitan cari uang, Mas. Bisa-bisanya kamu morotin dia.”
“Lho? Memang salah? Dia kan anakku? Apa gunanya punya anak kalau nggak dimanfaatkan?”
Sementara di luar rumah, Nasya meminta kedua adiknya menutup telinga rapat-rapat, cara yang sama dengan yang sebelumnya Raina ajarkan kepadanya tiap kali Rindu dan Siswoyo bertengkar.
Sebab, meskipun pada awalnya hanya adu argumen, beberapa menit kemudian pertengkaran keduanya bisa dipastikan akan mencekam.
Seperti malam itu, Nasya bisa mendengar teriakan kesakitan Rindu yang diiringi pukulan bertubi-tubi. Akan tetapi baik Nasya maupun semua orang yang ada di sana tidak pernah menyangka kalau malam itu mungkin akan menjadi hari terakhir mereka bertemu dengan Rindu, karena setengah jam kemudian terdengar suara teriakan dari dalam rumah.
“SYA! NASYA!” Tuti berlari keluar dari pintu belakang, tubuhnya oleng hingga terjatuh ke tanah sebelum sampai ke tempat persembunyian cucu-cucunya. “Tolong! Nasya!”
Yang dipanggil berdiri, hanya saja baru beberapa langkah remaja cantik itu berjalan, Nasya kembali terhenti. Matanya tertuju pada baju dan tangan neneknya yang bersimbah darah.
“Ibumu, Sya! Ibumu!”