“Gula darah Anda cukup tinggi, jadi tolong dijaga makannya ya, Bu.” Dokter muda menjelaskan pada pasien lansia di hadapannya, seorang perempuan berambut pendek dengan kacamata yang menyambung penglihatan rentanya. “Kurangi nasi putih dan makanan manis, terutama yang mengandung gula tambahan.”
Mardian mengangguk, bibir tipisnya terangkat membentuk senyuman anggun di wajah tuanya. Walau usianya tak lagi muda, namun gurat-gurat kecantikan masih tergambar jelas di sana, menjadi penanda bahwa saat masih belia dia bukan perempuan sembarangan. Ada begitu banyak pria yang mengantre untuk menjadi pasangannya, hanya saja hidup tidak selalu berjalan sebagaimana dinginkan. Karena di usianya yang memasuki kepala tujuh, Mawardi bahkan harus berangkat ke rumah sakit seorang diri.
Di saat teman-teman sebayanya datang ke klinik dibarengi pasangan, anak atau cucu, Mardian justru melakukannya sendiri. Untungnya, meskipun kesehatannya tidak begitu baik, tetapi tubuhnya masih cukup bugar.
Setelah berpamitan dengan dokter dan keluar dari ruang pemeriksaan, Mardian berjalan menuju apotek untuk menebus obat. Diletakkannya resep pemberian dokter di kotak yang disediakan, lalu berjalan ke satu-satunya kursi tunggu yang tersisa.
“Boleh saya duduk?” tanyanya basa-basi, pada perempuan yang telah lebih dulu ada di sana.
Yang dimaksud tampak terkejut, mengusap-usap muka lalu mengangguk. “Silakan, Bu. Maaf saya ketiduran.”
Mardian meletakkan tas jinjingnya ke atas bangku, barulah kemudian mendudukkan bokongnya dengan penuh kehati-hatian ke sana. Maklum saja, dengkul kanannya agak kaku, terlebih setelah asam uratnya semakin tinggi. “Kurang tidur ya, Mbak?”
“Iya, Bu. Namanya juga di rumah sakit, tidak bisa nyenyak. Eh, tunggu, ini Bu Mardian ya?”
Dengan kebingungan wanita tua itu mengangguk, lalu balik bertanya, “Mbak siapa ya? Maaf saya sudah tua, gampang lupa.”
“Ini Rindu, Bu.”
“Rindu?”
“Anaknya Joko.”
“Yang dulu kerja di penggilingan?”
“Benar.”
Mardian agak terkejut saat mengetahui perempuan yang telah lama tak ditemuinya itu mendadak muncul di depan mata. Namun, dia pada akhirnya melemparkan senyuman lebar juga, membalas apa yang Rindu berikan kepadanya. “Kamu kok ada di sini? Siapa yang sakit, Rin?”
“Kakeknya anak-anak, Bu.”
“Bapakmu?”
“Mertua saya.”
Meskipun dulunya bertetangga, tetapi sudah sangat lama Mardian tidak melihat Rindu. Lebih tepatnya sejak Rindu menikah dan diboyong suaminya pindah ke desa lain. Dan jelas bahwa yang menjadi perhatian Mardian kini tidak lain dan tidak bukan adalah penampilan Rindu. Sebab begitu banyak yang berubah darinya.
Kalau mereka hanya lama tak berjumpa sekalipun Mardian pasti masih bisa mengenalinya, akan tetapi Rindu yang ada di depan matanya kini seolah bukan Rindu yang dia kenali. Dia terlalu tua untuk usianya, menggambarkan betapa berat hidup yang wanita ini alami.
Mardian memang pernah mendengar selentingan dari para tetangga bahwa putri Joko mendapatkan kehidupan berat selepas menikah. Namun untuk warga desa mereka hal tersebut dianggap lumrah. Kemiskinan adalah makanan sehari-hari bagi mereka, terlebih yang berasal dari keluarga tak berada yang menggantungkan hidup dari ladang orang lain.
*_*
Sesuai kesepakatan siang itu, Milly datang ke rumah sakit sembari membawakan beberapa tangkai bunga mawar biru sebagai buah tangan, akan tetapi begitu dia sampai di depan pintu kamar perawatan Randy, langkah wanita berambut pendek tersebut terhenti.
Milly tak langsung membuka atau mengetuk pintu, tangan kanannya meremas pegangan tas jinjing kecil berwarna hitam miliknya kuat-kuat, sementara tangan yang lain memegang buket bunga. Sekuat tenaga dia menahan air yang ada di pelupuk matanya agar tidak jatuh, sebab kedua matanya telah memanas bahkan sebelum dia bisa melihat Randy secara langsung.
TTak bisa dimungkiri, sekalipun hubungan keduanya sudah lama berakhir, bagi Milly tidak ada yang lebih dia cintai selain Randy. Pria itu memang bukan pacar pertamanya tapi Randy jelas pria teristimewa dalam hidupnya.
Selama kebersamaan mereka sudah terlalu banyak kenangan yang tercipta, baik yang indah maupun yang buruk. Namun, bukankah semua hubungan memang begitu? Tidak mungkin manusia hanya menikmati keindahan tanpa pernah melihat kesedihan, begitu juga sebaliknya.
“Kak?” Maria memanggil dari kejauhan, melangkah menghampirinya. “Kenapa malah berdiri di sini? Langsung masuk saja.” Dia menyentuk knop pintu dan mendorongnya, membuat Milly bisa melihat dengan jelas tubuh Randy yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.
Sesuai dugaan, pemandangan menyedihkan itu benar-benar meluruhkan benteng pertahanan yang susah payah Milly bangun. Tak mau suasana menyedihkan menguasai, buru-buru dia menyeka air mata, sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan. Sementara Maria lebih memilih duduk di bangku tunggu, memberikan kesempatan pada Milly dan Randy.
Omong-omong Randy, dia sebenarnya telah berada di ruangan sejak tadi, berdiri di samping jasadnya dengan perasaan harap cemas. Dia berharap Milly lekas datang, tetapi juga cemas karena takut mantan pacarnya itu akan berbuat yang tidak-tidak. Maka, tepat saat dia melihat perempuan itu datang, mata Randy langsung terbuka lebar, dia bahkan spontan berdiri padahal tahu bahwa dirinya tak kasat mata.
Milly berjalan mendekati meja kecil di samping tempat tidur untuk meletakkan bunga yang dia bawa ke sana, lalu menoleh ke arah Randy. “Hai, Ran,” sapanya dengan suara serak menahan tangis. “Apa kabar?”
“Sudah tahu gue sakit, masih tanya.” Randy menggerutu. Namun, semua segera buyar begitu dia menyadari kalau perempuan di hadapannya kini menunduk, menutup muka dengan kedua tangan dan terisak-isak. Pemandangan yang jelas tidak pernah dia bayangkan. Memang, malam sebelumnya Randy tahu kalau Milly juga sudah menumpahkan air mata tapi menurutnya itu sekadar air mata buaya semata. Terlebih malam itu ada Dion, Maria dan Raina di sana. “Mil? Lo kenapa?”
“Kenapa kamu bisa jadi kayak begini sih, Ran?” kata Milly retorik. “Bisa-bisanya kamu kebut-kebutan di jalan? Padahal kan aku sudah bilang dari dulu, jangan kebanyakan minum alkohol! Jangaan nyetir sendiri! Dan jangan,” dia menjeda kalimatnya untuk mengatur napas, “kamu bodoh, Randy. Asal kamu tahu, aku sering ngomel itu bukan apa, aku hanya nggak mau kejadian kayak begini menimpa kamu! Karena aku tahu kalau kamu itu sembrono.
“Kamu harusnya tahu kalau nggak semua orang benar-benar peduli ke kamu, termasuk perempuan itu! Kebanyakan dari mereka cuma mau numpang tenar ke kamu.”
Mendengar cerocosan Milly, Randy bergeming. Bukan karena dia tidak tahu, justru karena dia paham betul apa yang Milly katakan sejak awal.
Nama besar Randy sebagai selebriti adalah daya tarik bagi orang lain, dia juga paham bahwa awal kedekatannya dengan Joana pun dilandasi alasan serupa. Namun, Randy yakin –atau setidaknya sebelum malam itu –kalau Joana sempat mencintainya.
Cinta yang bodoh telah menjebak Randy.
“Ran!” Milly menggenggam telapak tangan kanan Randy yang dingin erat. “Asal kamu tahu, selama ini aku nggak pernah sekalipun nggak memikirkanmu. Aku bahkan nggak peduli kalau harus dianggap gila karena terus-terusan mengganggu hidup kamu. Karena aku tahu persis kalau Joana, perempuan gila itu, nggak cinta sama kamu.
“Andai kamu mau dengerin aku sejak awal, Randy.
“Joana itu ular, Ran! Ular! Kamu bahkan nggak tahu, kan, kalau dia sebenarnya sudah punya pacar? Ya, aku memang ngintilin kalian, tapi aku nggak salah, Randy. Aku nggak melakukan itu hanya karena ..., dengar! Kamu harus sembuh. Jangankan cuma maaf, hidupku pun aku berikan ke kamu kalau memang diperlukan. Asalkan kamu janji kalau akan kembali.” Tangis Milly mereda, dia mencium punggung tangan Randy lembut. “Kamu pun kamu sembuh nanti, nggak harus kok kembali ke aku. Kamu boleh bersama siapa saja, yang penting orang itu sayang beneran ke kamu, melebihi rasa sayang aku ke kamu.”
*_*
“Yang benar saja? Lo menyia-nyiakan perempuan sebaik itu hanya karena salah paham?” Dengan tangan sibuk menggosok-gosokkan alat pel ke lantai di lorong rumah sakit yang sepi, Raina merespons cerita yang baru saja diceritakan oleh Randy. “Memang gila ya? Dasar orang aneh, dikasih cewek-cewek yang cantik, baik dan tulus eh malah disia-siain. Gue benar-benar nggak paham sama orang-orang modelan kayak lo, memang apa sih yang kalian cari? Kenapa sampai nggak bisa setia ke satu orang?”
Randy cemberut. “Gue cerita buat didengarkan, bukan dihakimi.”
Raina menghentikan aktivitasnya, lalu menatap Randy heran. “Di bagian mana dari ucapan gue yang menghakimi? Toh, yang gue katakan benar, kan? Alasan lo suka gonta-ganti pasangan bukan karena ingin dapat yang terbaik, melainkan cuma buat memenuhi nafsu lo doang.”
“Enak saja kalau ngomong.”
“Masih saja membela diri,” gumam Raina. “Lagian yang gue heran, kenapa ya cowok-cowok brengsek malah dapat perempuan baik-baik?”
“Ya mau bagaimana, Rain, semakin badboy seorang cowok, maka makin menarik juga mereka di mata perempuan.”
“Perempuan mana yang bilang begitu? Gue nggak itu.”
“Ya kan perempuan di dunia ini bukan cuma lo. Ada sekitar 4 Milyar perempuan di dunia, dan lo doang jelas nggak cukup buat dijadikan sampel.”
“Alasan! Sudah, minggir! Gue mau lanjut kerja!”
Sebetulnya, apa yang dikatakan Randy ada benarnya. Meskipun mungkin kalimat yang lebih tepat untuk menjelaskan fenomena ini ialah bahwa pria brengsek lebih mudah melayangkan rayuan untuk menipu perempuan. Sebaliknya, pria baik hati tidak terlalu mengobral janji, membuat kebanyakan perempuan mungkin kesulitan untuk melihat kelebihan yang mereka miliki.
“Rain, lo kenapa sih? Kok cemberut.”
“Nggak. Gue biasa saja.”
“Benar?”
Raina melirik Randy tajam. “Sudah deh, mending sekarang lo lihat itu Tabung Kehidupan isinya sudah tambah atau belum.”
“Tabung Kehidupan?” Untuk beberapa detik Randy mencoba mencerna ucapan Raina, sebelum akhirnya dia merogoh apa yang ada di saku celananya. “Ini? Harusnya sih, soalnya Milly kan sudah maafin gue.” Dia menunjukkan sisi yang berwarna merah kepada Raina, lalu membaliknya untuk memastikan. Akan tetapi, alangkah kagetnya Randy saat nilai yang tertera di sana bukan angka dua, melainkan justru tiga.
“Itu pasti maaf dari Fiona,” jelas Milly saat mereka semua berkumpul di kantin rumah sakit pada malam harinya. “Tadi siang aku mencoba menghubungi beberapa mantan Randy dan Fiona adalah salah satunya.”
“Kok lo bisa kenal Fio?” Randy terheran-heran sebab seingatnya kedua mantannya itu tidak pernah berinteraksi sebelumnya.
Fiona alias Fio adalah seorang model dan aktris layar lebar, yang tentu sangat jauh bila dibandingkan dengan dunia Milly.
“Kebetulan dia pernah menjadi dosen tamu untuk universitas tempatku mengajar,” jelas Milly. “Kami beberapa kali ngobrol sehingga akrab sampai sekarang. Dia juga cerita kalau dulu ditinggalin begitu saja oleh Randy.”
“Termasuk kalau dia pernah mencoba bunuh diri?” Ucapan Dion lebih terdengar sebagai konfirmasi alih-alih pertanyaan.
Milly mengangguk lemah, mengasuk segelas jus mangga di gelasnya menggunakan sedotan sebelum menyedotnya. “Kalau untuk urusan bunuh diri, sebetulnya itu nggak sepenuhnya gara-gara Randy. Karena menurut Fio, dorongan bunuh dirinya lebih dilandasi oleh kegagalannya memerankan karakter Putri dalam film Putri Bangsa.”
“Kenapa? Bukannya itu film bagus banget?” sela Raina. “Dulu aku pernah nonton, meskipun nggak di bioskop sih. Soalnya waktu itu aku masih kecil, makanya cuma bisa tunggu keluar di Bioskop Tengah Malam di TV.” Kalimat lanjutan Raina mendapat senyuman dari semua orang yang ada di sana.
“Seleramu bagus, Rain,” jawab Dion. “Tapi sayangnya, nggak semua orang suka. Menurut kebanyakan penonton, Fiona tidak cocok memerankan karakter Putri karena secara fisik dia jauh banget dengan apa yang ada di buku.”
“Hanya karena dia nggak putih?”
Maria mengamini. “Begitulah industri. Kejam. Terutama kalau punya muka lokal.”
“Aneh.”
“Kalau nggak aneh namanya bukan dunia hiburan.” Randy menghela napas panjang, lalu mengingat kembali betapa sulit dirinya meraih posisinya sekarang. Ada begitu banyak keringat dan darah yang harus dikeluarkan, meskipun tak dimungkiri wajah tampannya adalah salah satu modal utama yang dia miliki.
Kalau tampangnya biasa-biasanya saja mana bisa Randy mendapat begitu banyak cinta? Pun sebagaimana yang dikatakan oleh pepatah, jika kau terlahir rupawan, maka otomatis setengah dari masalahmu akan terselesaikan. Dan itu benar. Bahkan Randy mendapat satu bukti lagi beberapa detik berikutnya.
“Pokoknya kalian nggak usah khawatir, sebisa mungkin aku akan membantu. Siapa tahu kalau aku yang minta mereka akan memaafkan, karena bagaimanapun juga aku tahu dan paham betul perasaan mereka.”
“Serius, Kak?”
Milly lagi dan lagi mengangguk. “Oh iya, habis ini kalian mau ke mana?”
“Belum tahu, Kak. Karena memang belum ada yang membalas.”
“Sudah coba cari Lina?”
“Lina –”
“Camelia.”
“Lina Camelia penyanyi Lentera Pujangga?”
“Tepat sekali, Di.”
“Memang dia mantannya Randy?”
Bukannya langsung menjawab, Milly malah menoleh pada Raina, seolah-olah memberi perintah supaya gadis itu menanyakannya kepada pemilik cerita. Namun, Randy justru terdiam kebingungan. Karena menurutnya, cerita singkatnya dengan Lina tidak bisa disebut pasangan.
Malah, sejujurnya hubungan mereka sebatas kisah satu malam saja, tidak kurang dan tidak lebih. Pun kalau urusan lagu, bukankah urusan mereka sudah selesai? Toh, Randy juga sudah membayar apa yang menjadi hak Luna dengan sangat layak.
“Bagus lah kalau memang begitu. Tapi menurutku, kita tetap harus menemukannya karena bagaimanapun juga dia pasti sakit hati banget karena mereka lagunya dicurangi.”
“Curang? Aku bayar lho.”
“Memang, tapi itu kan hanya pendapat pribadiku,” tegas Milly. “Bilangin ke Randy, jangan gampang marah-marah nanti cepat tua.”
“Dia kan memang sudah tua!” celetuk Maria.
“Enak saja. Gue baru 36 ya.”
“Kalau dia tua, terus gue sama Milly apa?” Dion yang berbeda setahun dari Randy merasa tidak terima, lalu menjitak kepala Maria. “Fosil?”
“Bagus, Di! Anak begini memang perlu dikasih pelajaran. Asal banget congornya kalau ngomong.”
Tawa lepas dalam sekejab memenuhi meja, menghilangkan sedikit ketengangan yang sejak tadi menghuni kepala tiap-tiap dari mereka. Namun semua itu tak berlangsung lama, karena berikutnya semua terdiam kembali oleh satu pertanyaaan yang meluncur dari mulut Milly. “Omong-omong, kalian sudah kasih tahu mamanya Randy kalau dia kecelakaan?”
“Sudah, tapi mereka masih di Belanda.”
“Bukan ibu tirinya, tapi ibu kandungnya.”
“Ibu kandung?” Dion dan Maria hampir mengucapkan pertanyaan itu bersamaan, lalu saling beradu pandang. Bingung. Karena hampir belasan tahun bersama tidak sekalipun mereka pernah mendengar pria itu membahas mengenai ibu kandung. Malah, selama ini mereka mengira kalau ibu kandung Randy sudah tiada alias meninggal dunia.